a. Pengertian
Secara bahasa maulud adalah waktu kelahiran. Secara istilah diartikan sebagai: Perayaan sebagai rasa syukur dan gembira atas kelahiran Rasul SAW yang biasanya dilakukan pada bulan rabi’ul awal atau Mulud (Jawa).
b. Dalil-dalil perayaan Maulid Nabi SAW
Dalil Pertama,
Walaupun dalam kenyataannya tata cara perayaan Maulid Nabi SAW berbeda-beda, Namun esensi dari peringatan Maulid Itu sama yaitu Marasa gembira dan bersyukur atas kelhiran Rasululloh SAW yang mana kelahiran Rasululloh SAW adalah sebuah anugerah Alloh kepada kita yang harus disyukuri, sebagaimana firman Alloh SWT:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا(يونس:١٥٨)
“Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Alloh (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.”(QS.Yunus:58)
Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Secara bahasa maulud adalah waktu kelahiran. Secara istilah diartikan sebagai: Perayaan sebagai rasa syukur dan gembira atas kelahiran Rasul SAW yang biasanya dilakukan pada bulan rabi’ul awal atau Mulud (Jawa).
b. Dalil-dalil perayaan Maulid Nabi SAW
Dalil Pertama,
Walaupun dalam kenyataannya tata cara perayaan Maulid Nabi SAW berbeda-beda, Namun esensi dari peringatan Maulid Itu sama yaitu Marasa gembira dan bersyukur atas kelhiran Rasululloh SAW yang mana kelahiran Rasululloh SAW adalah sebuah anugerah Alloh kepada kita yang harus disyukuri, sebagaimana firman Alloh SWT:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا(يونس:١٥٨)
“Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Alloh (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.”(QS.Yunus:58)
Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Didalam Tafsir Ruuhul Ma’aani juz VIII halaman 41, karya Syeikh Al Alusi (wafat tahun 1270 H) :
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ الْفَضْلَ اَلْعِلْمُ وَالرَّحْمَةَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Abusysyeikh mengeluarkan (meriwayatkan) dari shahabat Ibnu Abbas –radhiyallaahu Ta’aalaa ‘anhumaa- :
“Sesungguhnya AL FADHL (karunia Allah) adalah ilmu dan sesungguhnya ARRAHMAH (rahmat Allah) adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Perayaan Maulid Nabi yang mulia adalah sebagai salah satu ungkapan wujud kegembiraan dan kebahagiaan karena diutusnya Beliau. Bukankah berbahagia dan bergembira karena kelahiran Beliau telah memberikan kemanfaatan kepada Abu Lahab yang ekspresi kegembiraannya ketika kelahiran Rosululloh SAW, ia memerdekakan budak perempuannya (Tsuwaybah) dan ia jelas-jelas kafir, sebagaimana Hadits riwayat Imam Bukhory :
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ فَقَالَ أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكِ فَقُلْتُ نَعَمْ لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ قُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي إِنَّهَا لَابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
Maka Akal yang waras tidak akan mempertanyakan dengan pertanyaan : “Mengapa kalian memperingatinya ?”, karena pertanyaan ini sama saja dengan bertanya : Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ?”. Ini adalah pertanyaan yang tidak masuk akal bagi orang beriman.
Dalam Kitab Shahih Bukhari juz VI halaman 125, cetakan Daar Al Fikr tahun 1401 H – 1981 M / juz I halaman 591, maktabah syamilah:
قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خَيْرًا غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
Imam ‘Urwah bekata:
“Tsuwaibah adalah hamba sahaya Abu Lahab. Dia memerdekakan Tsuwaibah, kemudian Tsuwaibah menyusui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Abu Lahab meninggal, salah satu keluarganya bermimpi melihat dia dalam keadaan yang buruk. Sebagian keluarganya tersebut bertanya: “Apa yang engkau temui?”. Ia menjawab, “Setelah meninggalkan kamu, aku tidak menemui kebaikan kecuali aku diberi minuman didalam ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah.”
Dalam Kitab ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif halaman 21, karya al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari (wafat tahun 823 H) :
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ رُؤِيَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي النَّوْمِ ، فَقِيْلَ لَهُ : مَا حَالُكَ ، فَقَالَ فِي النَّارِ ، إِلَّا أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنِّيْ كُلَّ لَيْلَةِ اثْنَيْنِ وَأَمُصُّ مِنْ بَيْنَ أَصْبُعِيْ مَاءً بِقَدْرِ هَذَا – وَأَشَارَ إِلَى نُقْرَةِ إِبْهَامِهِ - وَأَنَّ ذَلِكَ بِإِعْتَاقِيْ لِثُوَيْبَةَ عِنْدَمَا بَشَّرَتْنِيْ بِوِلَادَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِإِرْضَاعِهَا لَهُ
“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Di dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air diantara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.
إِذَا كَانَ أَبُوْ لَهَبٍ اَلْكَافِرُ الَّذِيْ نَزَلَ الْقُرْآنُ بِذَمِّهِ جُوْزِيَ فِي النَّارِ بِفَرْحِهِ لَيْلَةَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَمَا حَالُ الْمُسْلِمِ الْمُوَحِّدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرُّ بِمَوْلِدِهِ وَيَبْذُلُ مَا تَصِلُ إِلَيْهِ قُدْرَتُهُ فِيْ مَحَبَّتِهِ ؛ لَعَمْرِيْ إِنَّمَا يَكُوْنُ جَزَاؤُهُ مِنَ اللهِ الْكَرِيْمِ أَنْ يُدْخِلَهُ بِفَضْلِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ
Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka karena gembiranya pada malam kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
Lalu bagaimana keadaan orang Islam yang bertauhid dari umat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang mana dia gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan memberikan sekedar kemampuannya karena kecintaan kepada beliau
Adapun orang yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab adalah shahabat Abbas –radhiyallaahu ‘anhu-
Dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah juz III halaman 407, karya Al Hafizh Ibnu Katsier (wafat tahun 774 H) dijelaskan:
وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ وَغَيْرُهُ : أَنَّ الرَّائِيَ لَهُ هُوَ أَخُوْهُ اَلْعَبَّاسُ وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ وَفَاةِ أَبِيْ لَهَبٍ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ
Imam Suhaili dan yang lainnya menuturkan bahwa orang yang bermimpi bertemu Abu Lahab adalah saudaranya, shahabat Abbas.
Hal itu terjadi setelah setahun wafatnya Abu Lahab usai perang Badar.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasululloh SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ(رواه مسلم، ١٩٧٧)
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasululloh pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”(HR.Muslim:1977)
Dalil Kedua,
وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.
Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadis “man ‘azhzhama maulidy kuntu syafingan lahu yaum al-qiyamati” seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1,hlm 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.
Dalil ketiga,
Dalam kitab Madarij As-shu’ud Syarah al-Barzanji, hlm 15:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.
Rosululloh bersabda : Siapa menhormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat.
Dalil keeempat,
Dalam Madarif as-Shu’ud, hlm.16
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ.
Umar mengatakan : siapa menghormati hari lahir Rosululloh sama artinya menghidupkan Islam.
Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau menjelaskan:
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi Saw,yaitu manusia berkumpul, membaca al- Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setalah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan,tidak lebih. Semua itu termasuk Bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan darejat Nabi SAW, manampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang mulia.”(Al-Hawi li al-Fatawi,juz1,hal.251-252).
Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) berkata, sebagaimana diterangkan oleh al Hafizh As Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi juz I halaman 282:
وَ قَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى }
Telah zahir bagi saya, mengeluarkan (mendasarkan) amaliyah maulid atas landasan yang kuat, yaitu hadits dalam hadist shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”
Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki:
“Ibnu Taimiyyah berkata,”Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW, akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan ada kalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.”(Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal 399).
Berkata Ibnu Taimiyyah :
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال ( إقتضاء الصراط المستقيم جز 1 ص 297)
Maka mengagungkan Maulid Nabi SAW, dan menjadikannya sebagai musim raya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia dan akan begitu adanya, terdapat pahala yang besar didalamnya karena baiknya tujuan Mauild dan adanya pengagungan pada Rosululloh SAW, sebagaimana yang telah aku sampaikan pada anda.” (Ibnu Taymiyyah dalam Iqtidho’us Shirothil Mustaqim, Juz I hal 297)
Maulid-maulid dalam al-Qur’an
Maulid Nabi Isa
Dalam Al-Quran banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga diangkat ke langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,
إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
“(ingatlah), ketika malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),”
Dalam Surat Al Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi siapa sosok Isa a.s., Allah SWT berfirman,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“(ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”.
Ayat-ayat di atas mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai diangkat ke langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya. Mengacu terminologi maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah saja bila diistilahkan sebagai Maulid Nabi Isa a.s.
Maulid Nabi Yahya
Selain Nabi Isa a.s., Al-Quran juga mencatat “biografi” Nabi Zakaria dan maulid Nabi Yahya Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar, dimulai dengan sebuah doa Nabiyullah Zakariya yang penuh pengharapan.
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Ia Berkata “Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku (pengganti) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, sebagai seorang yang diridhai”.
Kemudian Allah menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat akan lahirnya sang “putra mahkota”, Nabi Yahya a.s.,
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengannya.
Selanjutnya, dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s. dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena, hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.
Maulid Siti Maryam
Tak hanya para nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum shalihin. Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ )35( فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ )36( فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ )37(
“(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami sertakan pada artikel ini karena keterbatasan ruang di website ini.
Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi SAW, yang memuat sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut) bagi Al-Quranul Karim yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin. Sebagai pemimpin para nabi, sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad dibukukan dan dibaca sesering mungkin. Pentingnya mengenang perjalanan hidup Baginda Nabi SAW sangat dirasakan umat Islam pada periode akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim ditawarkan oleh media-media secara gencar.
Hari Istimewa
Perlu diketahui, sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai momen istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) adalah salah satu tengara. Fakta lainnya:
Pertama, perkataan Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah menjadi pembantu Aminah r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang bintang turun dari langit dan mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).
Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
Ketiga, riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa saat Ibunda Nabi SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul Bari juz 6/583).
Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.
Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Fathul Bari 6/583).
Kenapa peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik kelahiran Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya, dan Dia SWT mengagungkan momen itu sebagaimana Dia SWT menebar salam sejahtera di saat kelahiran nabi-nabi sebelumnya.
Hikmah mauled
Allah Menempatkan Raulullah Dalam Posisi Terbaik dan Ideal
Dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) telah disebutkan bahwa ketika perang Badar terjadi umat Islam mengalami kemenangan. Saat itu pula ada seorang paman Rasulullah bernama Sayidina Hamzah bin Abdul Mutallib yang telah banyak membunuh orang-orang kafir. Diantara korban yang terbunuh adalah Abu Sufyan bin Harb seorang suami dari Hindun binti Utbah. Ia merasa ingin membalas dendam atas kematian suaminya dengan membunuh Hamzah. Maka saat perang Uhud, dimana umat Islam kalah, kala itu Hindun menyewa budak bayaran bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah. Ketika perang terjadi, dengan liciknya Wahsyi menghunus tombak kearah Hamzah dari belakang hingga Hamzah pun tersungkur jatuh dan meninggal.
Kekejaman kafir Quraisy saat mengalahkan umat Islam sangat tidak manusiawi. Banyak korban dari Sahabat Rasulullah Saw yang dimutilasi, dipotong-potong anggota tubuhnya, termasuk Sayidina Hamzah. Bahkan kekejaman Hindun sampai mengambil jantung Hamzah. Dan korban meninggal umat Islam dari Muhajirin berjumlah 6 orang dan dari Anshar sebanyak 64 orang. Melihat keadaan demikian Rasulullah dan para sahabat merasa sedih dan marah, maka wajar jika para sahabat mengecam dan memberi ancaman: “Sungguh jika kami mengalahkan mereka, maka kami akan membalas seperti mereka (memutilasi)”. Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah sedih melihat kondisi Hamzah beliau berkata: “Saya akan balaskan untukmu 70 orang dari kafir Quraisy.” Kemudian Allah menurunkan ayat yang artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (an-Nahl: 126), kemudian Rasulullah bersabda: “Kami akan bersabar, dan tidak membalas dendam” (Diriwayatkan oleh Turmudzi, ia menilai hasan, juga oleh an-Nasai, Abdullah bin Ahmad Hanbal dalam Zawaid Musnad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah dan al-Hakim, ia menilainya sahih)
Dalam riwayat ini, ada dua sisi aspek dalam diri Rasulullah. Pertama, sebagai seorang manusia Rasulullah juga memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya, seperti senang, marah, makan minum, menikah, memiliki anak dan sebagainya. Maka kemarahan Rasulullah atas kejadian mengenaskan diatas adalah bagian dari diri Rasulullah sebagai manusia, yang sahabat dan kerabatnya dibunuh secara tragis. Kedua, sebagai utusan Allah, yang memiliki jiwa dan rohani ‘ketuhanan’ yang setiap ucapannya berupa wahyu, dalam hal ini beliau berada di atas rata-rata manusia pada umumnya. Oleh karenanya ketika Allah memberi pilihan kepada beliau berupa “Boleh membalas dendam sesuai yang dilakukan oleh orang-orang kafir” atau opsi “bersabar”, maka dengan tegas dan tanpa ragu Rasulullah memilih opsi ‘bersabar’, karena disisi Allah itu adalah pilihan terbaik.
الدر المنثور - (ج 6 / ص 184)
أخرج الترمذي وحسنه وعبد الله بن أحمد في زوائد المسند ، والنسائي وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن حبان وابن مردويه والحاكم وصححه والبيهقي في الدلائل ، عن أبي بن كعب رضي الله عنه قال : لما كان يوم أحد أصيب من الأنصار أربعة وستون رجلاً ، ومن المهاجرين ستة ، منهم حمزة فمثلوا بهم فقالت الأنصار : لئن أصبنا منهم يوماً مثل هذا لَنُربِيَنَّ عليهم ، فلما كان يوم فتح مكة أنزل الله : { وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين } فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « نصبر ولا نعاقب . . . كفوا عن القوم إلا أربعة » .
الدر المنثور - (ج 6 / ص 184)
وأخرج ابن سعد والبزار وابن المنذر وابن مردويه والحاكم وصححه والبيهقي في الدلائل ، عن أبي هريرة : « أن النبي صلى الله عليه وسلم وقف على حمزة حين استشهد ، فنظر إلى منظر لم يَرَ شيئاً قط كان أوجع لقلبه منه ، ونظر إليه قد مثل به فقال : رحمة الله عليك فإنك كنت ما علمت وصولاً للرحم فعولاً للخيرات ، ولولا حزن من بعدك عليك لسّرني أن أتركك حتى يحشرك الله من أرواح شتى ، أما والله لأمثلن بسبعين منهم مكانك . فنزل جبريل والنبي صلى الله عليه وسلم واقف بخواتيم النحل { وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم . . . } الآية . فكفّر النبي عن يمينه وأمسك عن الذي أراد وصبر »
Dan teramat banyak kisah Rasulullah Saw yang menunjukkan sifat-sifat mulia, sehingga Allah pun memuji beliau yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam: 4)
Karena Rasulullah Saw telah mampu menempatkan posisi yang terbaik dan ideal, maka Allah menilai Rasulullah Saw sebagai panutan, suriteladan, dan memerintahkan umatnya meneladani Rasulullah Saw: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (al-Ahzab: 21)
Mencintai Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah telah menjadi makhluk terbaik dan pujian Allah makin mengokohkannya, maka Rasulullah adalah orang yang layak untuk dicintai. Bahkan Rasulullah Saw menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai kesempurnaan keimanan:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِه
“Laa yu’minu ahadukum hattaa akuuna ahabba ilaihi min waalidihi wa waladihi”. Artinya: “Keimanan diantara kalian tidaklah sempurna, sehingga Aku (Muhammad) lebih ia cintai dibanding orangtua dan anaknya” (HR Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat sahih lainnya disebutkan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasulnya, seseorang dapat merasakan manisnya iman.
Bagaimana menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah? Cinta adalah sebuah ‘rasa’ dalam hati yang selalu ingin mendapatkan yang ia inginkan. Cinta ditimbulkan oleh fakto-faktor diluarnya yang dapat mempengaruhi hati. Artinya, cinta ada yang bersifat watak seperti lelaki pada wanita, dan ada yang bersifat ‘diusahakan’. Misalnya awalnya seseorang membenci kawannya karena tidak mengetahui kepribadiannya, maka ketika kawannya tersebut dermawan dan sering memberi uang kepadanya, maka dengan sendirinya akan timbul rasa cinta kepadanya.
Begitu pula cinta kepada Rasulullah Saw. Umat beliau yang belum meincintainya karena tidak ada dorongan yang bisa mewujudkan rasa cinta kepadanya. Ketika seseorang mengetahui kepribadian Rasulullah, kesempurnaan perangainya, penerima wahyu Allah, sosok makhluk yang diberi hak untuk memberi syafaat nanti di hari kiamat, dan keistimewaan lainnya, maka akan menjadi pendorong dan stimulus untuk mencintai Rasulullah saw (Qadli ‘Iyaadl, asy-Syifaa’ bi Ta’riifi Huquuq al-Mushtafaa 2/29)
Meneladani Rasulullah Saw
Setidaknya ada 3 bahasa dalam al-Quran terkait masalah ini, yaitu “Athi’uu Allah wa Rasuulahu” (Patuhilah Allah dan Rasul-Nya), “Fattabi’uunii” (Maka ikutilah aku) dan “Fi Rasulillahi uswatun hasanatun” (Dalam diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik).
Kendatipun cinta bagian dari perilaku hati, maka wujud nyata dari kecintaan adalah mematuhi mengikuti, dan meneladani. Sementara jika ketiga hal ini tidak dilakukan, maka cintanya adalah dusta. Dan dengan tidak mematuhi Rasulullah, berarti telah secara sadar menolak untuk masuk surga, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى »
Artinya: “Semua ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan (menolak). Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, siapa yang menolak? Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa mematuhiku maka ia masuk surga, dan barangsiapa durhaka kepadaku, maka ia telah menolak masuk surga“ (HR Bukhari No 7280)
Mematuhi, mengikuti dan meneladani mencakup banyak hal, diantaranya kewajiban dalam agama yang diperintah oleh Rasulullah Saw, seperti salat, juga kesunahan-kesunahan seperti salat Dluha, menjauhi hal-hal yang makruh, haram dan hal-hal yang dilarang, sebagaimana firman Allah
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah… “(al-Hasyr: 7)
Berdasarkan ayat ini, yang harus ditinggalkan adalah yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak beliau amalkan. Hal ini diperkuat sabda beliau
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
yang artinya: “Apapun yang aku larang bagi kalian maka jauhilah. Dan apapun yang aku perintahkan maka lakukanlah sesuai kemampuanmu” (HR Bukhari dan Muslim)
Sementara amaliyah yang tidak dijelaskan oleh Rasulullah tentang keharamannya dan yang tak beliau amalkan, maka boleh dilakukan selama tidak mengarah kepada perbuatan haram. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
عن أبي الدرداء قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ هُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيُنْسِىَ شَيْئًا ثُمَّ تلاَ " { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا } " رواه البزار والطبراني في الكبير وإسناده حسن ورجاله موثقون
“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang ia haramkan adalah haram. Sesuatu yang ia diamkan (tidak dijelaskan halal-haramnya) adalah sebuah dispensasi, maka terimalah dispensasi dari Allah: “Tuhanmu tidaklah pelupa” (HR Bazzar dan Thabrani, para perawinya terpercaya)
Dengan demikian, sebuah usaha dan upaya yang menjadi media dalam berbagai tradisi untuk mencapai kecintaan dan keteladanan kepada Rasulullah Saw adalah diperbolehkan, sebagaimana dalam Maulid Nabi dan sebagainya. Hal ini sesuai kaidah “Lil wasaaili hukm al-Makashid” (Media memiliki hukum sesuai tujuannya).
Peringatan maulid nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya: mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam semesta.
Para sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu anhu, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW, sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu surat dalam Al-Quran.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.
Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari kelahirannya.
Nah, sudah saatnyalah mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila perlu, hendaknya bersedia bergabung untuk bersama-sama membaca sirah Rasul SAW. Atau, minimal – sebagai muslim– hendaknya merasakan gembira dengan datangnya bulan Rabiul Awal. Sudah sepantasnya di bulan ini kita sediakan waktu untuk mengkaji lebih dalam sejarah hidup Rasul SAW. Jangan lagi menggugat maulid!
Sumber : Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi, KH. Abdullah 'Afif, M Ma’ruf Khozin, Tim CN & FS
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ الْفَضْلَ اَلْعِلْمُ وَالرَّحْمَةَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Abusysyeikh mengeluarkan (meriwayatkan) dari shahabat Ibnu Abbas –radhiyallaahu Ta’aalaa ‘anhumaa- :
“Sesungguhnya AL FADHL (karunia Allah) adalah ilmu dan sesungguhnya ARRAHMAH (rahmat Allah) adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Perayaan Maulid Nabi yang mulia adalah sebagai salah satu ungkapan wujud kegembiraan dan kebahagiaan karena diutusnya Beliau. Bukankah berbahagia dan bergembira karena kelahiran Beliau telah memberikan kemanfaatan kepada Abu Lahab yang ekspresi kegembiraannya ketika kelahiran Rosululloh SAW, ia memerdekakan budak perempuannya (Tsuwaybah) dan ia jelas-jelas kafir, sebagaimana Hadits riwayat Imam Bukhory :
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ فَقَالَ أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكِ فَقُلْتُ نَعَمْ لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ قُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي إِنَّهَا لَابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
Maka Akal yang waras tidak akan mempertanyakan dengan pertanyaan : “Mengapa kalian memperingatinya ?”, karena pertanyaan ini sama saja dengan bertanya : Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ?”. Ini adalah pertanyaan yang tidak masuk akal bagi orang beriman.
Dalam Kitab Shahih Bukhari juz VI halaman 125, cetakan Daar Al Fikr tahun 1401 H – 1981 M / juz I halaman 591, maktabah syamilah:
قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خَيْرًا غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
Imam ‘Urwah bekata:
“Tsuwaibah adalah hamba sahaya Abu Lahab. Dia memerdekakan Tsuwaibah, kemudian Tsuwaibah menyusui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Abu Lahab meninggal, salah satu keluarganya bermimpi melihat dia dalam keadaan yang buruk. Sebagian keluarganya tersebut bertanya: “Apa yang engkau temui?”. Ia menjawab, “Setelah meninggalkan kamu, aku tidak menemui kebaikan kecuali aku diberi minuman didalam ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah.”
Dalam Kitab ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif halaman 21, karya al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari (wafat tahun 823 H) :
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ رُؤِيَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي النَّوْمِ ، فَقِيْلَ لَهُ : مَا حَالُكَ ، فَقَالَ فِي النَّارِ ، إِلَّا أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنِّيْ كُلَّ لَيْلَةِ اثْنَيْنِ وَأَمُصُّ مِنْ بَيْنَ أَصْبُعِيْ مَاءً بِقَدْرِ هَذَا – وَأَشَارَ إِلَى نُقْرَةِ إِبْهَامِهِ - وَأَنَّ ذَلِكَ بِإِعْتَاقِيْ لِثُوَيْبَةَ عِنْدَمَا بَشَّرَتْنِيْ بِوِلَادَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِإِرْضَاعِهَا لَهُ
“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Di dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air diantara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.
إِذَا كَانَ أَبُوْ لَهَبٍ اَلْكَافِرُ الَّذِيْ نَزَلَ الْقُرْآنُ بِذَمِّهِ جُوْزِيَ فِي النَّارِ بِفَرْحِهِ لَيْلَةَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَمَا حَالُ الْمُسْلِمِ الْمُوَحِّدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرُّ بِمَوْلِدِهِ وَيَبْذُلُ مَا تَصِلُ إِلَيْهِ قُدْرَتُهُ فِيْ مَحَبَّتِهِ ؛ لَعَمْرِيْ إِنَّمَا يَكُوْنُ جَزَاؤُهُ مِنَ اللهِ الْكَرِيْمِ أَنْ يُدْخِلَهُ بِفَضْلِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ
Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka karena gembiranya pada malam kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
Lalu bagaimana keadaan orang Islam yang bertauhid dari umat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang mana dia gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan memberikan sekedar kemampuannya karena kecintaan kepada beliau
Adapun orang yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab adalah shahabat Abbas –radhiyallaahu ‘anhu-
Dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah juz III halaman 407, karya Al Hafizh Ibnu Katsier (wafat tahun 774 H) dijelaskan:
وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ وَغَيْرُهُ : أَنَّ الرَّائِيَ لَهُ هُوَ أَخُوْهُ اَلْعَبَّاسُ وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ سَنَةٍ مِنْ وَفَاةِ أَبِيْ لَهَبٍ بَعْدَ وَقْعَةِ بَدْرٍ
Imam Suhaili dan yang lainnya menuturkan bahwa orang yang bermimpi bertemu Abu Lahab adalah saudaranya, shahabat Abbas.
Hal itu terjadi setelah setahun wafatnya Abu Lahab usai perang Badar.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasululloh SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ(رواه مسلم، ١٩٧٧)
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasululloh pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”(HR.Muslim:1977)
Dalil Kedua,
وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.
Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadis “man ‘azhzhama maulidy kuntu syafingan lahu yaum al-qiyamati” seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1,hlm 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.
Dalil ketiga,
Dalam kitab Madarij As-shu’ud Syarah al-Barzanji, hlm 15:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.
Rosululloh bersabda : Siapa menhormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat.
Dalil keeempat,
Dalam Madarif as-Shu’ud, hlm.16
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ.
Umar mengatakan : siapa menghormati hari lahir Rosululloh sama artinya menghidupkan Islam.
Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau menjelaskan:
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi Saw,yaitu manusia berkumpul, membaca al- Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setalah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan,tidak lebih. Semua itu termasuk Bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan darejat Nabi SAW, manampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang mulia.”(Al-Hawi li al-Fatawi,juz1,hal.251-252).
Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) berkata, sebagaimana diterangkan oleh al Hafizh As Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi juz I halaman 282:
وَ قَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى }
Telah zahir bagi saya, mengeluarkan (mendasarkan) amaliyah maulid atas landasan yang kuat, yaitu hadits dalam hadist shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”
Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki:
“Ibnu Taimiyyah berkata,”Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW, akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan ada kalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.”(Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal 399).
Berkata Ibnu Taimiyyah :
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال ( إقتضاء الصراط المستقيم جز 1 ص 297)
Maka mengagungkan Maulid Nabi SAW, dan menjadikannya sebagai musim raya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia dan akan begitu adanya, terdapat pahala yang besar didalamnya karena baiknya tujuan Mauild dan adanya pengagungan pada Rosululloh SAW, sebagaimana yang telah aku sampaikan pada anda.” (Ibnu Taymiyyah dalam Iqtidho’us Shirothil Mustaqim, Juz I hal 297)
Maulid-maulid dalam al-Qur’an
Maulid Nabi Isa
Dalam Al-Quran banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga diangkat ke langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,
إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ
“(ingatlah), ketika malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),”
Dalam Surat Al Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi siapa sosok Isa a.s., Allah SWT berfirman,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“(ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”.
Ayat-ayat di atas mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai diangkat ke langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya. Mengacu terminologi maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah saja bila diistilahkan sebagai Maulid Nabi Isa a.s.
Maulid Nabi Yahya
Selain Nabi Isa a.s., Al-Quran juga mencatat “biografi” Nabi Zakaria dan maulid Nabi Yahya Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar, dimulai dengan sebuah doa Nabiyullah Zakariya yang penuh pengharapan.
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Ia Berkata “Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku (pengganti) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, sebagai seorang yang diridhai”.
Kemudian Allah menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat akan lahirnya sang “putra mahkota”, Nabi Yahya a.s.,
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengannya.
Selanjutnya, dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s. dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena, hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.
Maulid Siti Maryam
Tak hanya para nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum shalihin. Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ )35( فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ )36( فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ )37(
“(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami sertakan pada artikel ini karena keterbatasan ruang di website ini.
Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi SAW, yang memuat sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut) bagi Al-Quranul Karim yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin. Sebagai pemimpin para nabi, sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad dibukukan dan dibaca sesering mungkin. Pentingnya mengenang perjalanan hidup Baginda Nabi SAW sangat dirasakan umat Islam pada periode akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim ditawarkan oleh media-media secara gencar.
Hari Istimewa
Perlu diketahui, sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai momen istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) adalah salah satu tengara. Fakta lainnya:
Pertama, perkataan Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah menjadi pembantu Aminah r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang bintang turun dari langit dan mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).
Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).
Ketiga, riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa saat Ibunda Nabi SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul Bari juz 6/583).
Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.
Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Fathul Bari 6/583).
Kenapa peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik kelahiran Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya, dan Dia SWT mengagungkan momen itu sebagaimana Dia SWT menebar salam sejahtera di saat kelahiran nabi-nabi sebelumnya.
Hikmah mauled
Allah Menempatkan Raulullah Dalam Posisi Terbaik dan Ideal
Dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) telah disebutkan bahwa ketika perang Badar terjadi umat Islam mengalami kemenangan. Saat itu pula ada seorang paman Rasulullah bernama Sayidina Hamzah bin Abdul Mutallib yang telah banyak membunuh orang-orang kafir. Diantara korban yang terbunuh adalah Abu Sufyan bin Harb seorang suami dari Hindun binti Utbah. Ia merasa ingin membalas dendam atas kematian suaminya dengan membunuh Hamzah. Maka saat perang Uhud, dimana umat Islam kalah, kala itu Hindun menyewa budak bayaran bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah. Ketika perang terjadi, dengan liciknya Wahsyi menghunus tombak kearah Hamzah dari belakang hingga Hamzah pun tersungkur jatuh dan meninggal.
Kekejaman kafir Quraisy saat mengalahkan umat Islam sangat tidak manusiawi. Banyak korban dari Sahabat Rasulullah Saw yang dimutilasi, dipotong-potong anggota tubuhnya, termasuk Sayidina Hamzah. Bahkan kekejaman Hindun sampai mengambil jantung Hamzah. Dan korban meninggal umat Islam dari Muhajirin berjumlah 6 orang dan dari Anshar sebanyak 64 orang. Melihat keadaan demikian Rasulullah dan para sahabat merasa sedih dan marah, maka wajar jika para sahabat mengecam dan memberi ancaman: “Sungguh jika kami mengalahkan mereka, maka kami akan membalas seperti mereka (memutilasi)”. Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah sedih melihat kondisi Hamzah beliau berkata: “Saya akan balaskan untukmu 70 orang dari kafir Quraisy.” Kemudian Allah menurunkan ayat yang artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (an-Nahl: 126), kemudian Rasulullah bersabda: “Kami akan bersabar, dan tidak membalas dendam” (Diriwayatkan oleh Turmudzi, ia menilai hasan, juga oleh an-Nasai, Abdullah bin Ahmad Hanbal dalam Zawaid Musnad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah dan al-Hakim, ia menilainya sahih)
Dalam riwayat ini, ada dua sisi aspek dalam diri Rasulullah. Pertama, sebagai seorang manusia Rasulullah juga memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya, seperti senang, marah, makan minum, menikah, memiliki anak dan sebagainya. Maka kemarahan Rasulullah atas kejadian mengenaskan diatas adalah bagian dari diri Rasulullah sebagai manusia, yang sahabat dan kerabatnya dibunuh secara tragis. Kedua, sebagai utusan Allah, yang memiliki jiwa dan rohani ‘ketuhanan’ yang setiap ucapannya berupa wahyu, dalam hal ini beliau berada di atas rata-rata manusia pada umumnya. Oleh karenanya ketika Allah memberi pilihan kepada beliau berupa “Boleh membalas dendam sesuai yang dilakukan oleh orang-orang kafir” atau opsi “bersabar”, maka dengan tegas dan tanpa ragu Rasulullah memilih opsi ‘bersabar’, karena disisi Allah itu adalah pilihan terbaik.
الدر المنثور - (ج 6 / ص 184)
أخرج الترمذي وحسنه وعبد الله بن أحمد في زوائد المسند ، والنسائي وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن حبان وابن مردويه والحاكم وصححه والبيهقي في الدلائل ، عن أبي بن كعب رضي الله عنه قال : لما كان يوم أحد أصيب من الأنصار أربعة وستون رجلاً ، ومن المهاجرين ستة ، منهم حمزة فمثلوا بهم فقالت الأنصار : لئن أصبنا منهم يوماً مثل هذا لَنُربِيَنَّ عليهم ، فلما كان يوم فتح مكة أنزل الله : { وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين } فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « نصبر ولا نعاقب . . . كفوا عن القوم إلا أربعة » .
الدر المنثور - (ج 6 / ص 184)
وأخرج ابن سعد والبزار وابن المنذر وابن مردويه والحاكم وصححه والبيهقي في الدلائل ، عن أبي هريرة : « أن النبي صلى الله عليه وسلم وقف على حمزة حين استشهد ، فنظر إلى منظر لم يَرَ شيئاً قط كان أوجع لقلبه منه ، ونظر إليه قد مثل به فقال : رحمة الله عليك فإنك كنت ما علمت وصولاً للرحم فعولاً للخيرات ، ولولا حزن من بعدك عليك لسّرني أن أتركك حتى يحشرك الله من أرواح شتى ، أما والله لأمثلن بسبعين منهم مكانك . فنزل جبريل والنبي صلى الله عليه وسلم واقف بخواتيم النحل { وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم . . . } الآية . فكفّر النبي عن يمينه وأمسك عن الذي أراد وصبر »
Dan teramat banyak kisah Rasulullah Saw yang menunjukkan sifat-sifat mulia, sehingga Allah pun memuji beliau yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam: 4)
Karena Rasulullah Saw telah mampu menempatkan posisi yang terbaik dan ideal, maka Allah menilai Rasulullah Saw sebagai panutan, suriteladan, dan memerintahkan umatnya meneladani Rasulullah Saw: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (al-Ahzab: 21)
Mencintai Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah telah menjadi makhluk terbaik dan pujian Allah makin mengokohkannya, maka Rasulullah adalah orang yang layak untuk dicintai. Bahkan Rasulullah Saw menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai kesempurnaan keimanan:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِه
“Laa yu’minu ahadukum hattaa akuuna ahabba ilaihi min waalidihi wa waladihi”. Artinya: “Keimanan diantara kalian tidaklah sempurna, sehingga Aku (Muhammad) lebih ia cintai dibanding orangtua dan anaknya” (HR Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat sahih lainnya disebutkan bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasulnya, seseorang dapat merasakan manisnya iman.
Bagaimana menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah? Cinta adalah sebuah ‘rasa’ dalam hati yang selalu ingin mendapatkan yang ia inginkan. Cinta ditimbulkan oleh fakto-faktor diluarnya yang dapat mempengaruhi hati. Artinya, cinta ada yang bersifat watak seperti lelaki pada wanita, dan ada yang bersifat ‘diusahakan’. Misalnya awalnya seseorang membenci kawannya karena tidak mengetahui kepribadiannya, maka ketika kawannya tersebut dermawan dan sering memberi uang kepadanya, maka dengan sendirinya akan timbul rasa cinta kepadanya.
Begitu pula cinta kepada Rasulullah Saw. Umat beliau yang belum meincintainya karena tidak ada dorongan yang bisa mewujudkan rasa cinta kepadanya. Ketika seseorang mengetahui kepribadian Rasulullah, kesempurnaan perangainya, penerima wahyu Allah, sosok makhluk yang diberi hak untuk memberi syafaat nanti di hari kiamat, dan keistimewaan lainnya, maka akan menjadi pendorong dan stimulus untuk mencintai Rasulullah saw (Qadli ‘Iyaadl, asy-Syifaa’ bi Ta’riifi Huquuq al-Mushtafaa 2/29)
Meneladani Rasulullah Saw
Setidaknya ada 3 bahasa dalam al-Quran terkait masalah ini, yaitu “Athi’uu Allah wa Rasuulahu” (Patuhilah Allah dan Rasul-Nya), “Fattabi’uunii” (Maka ikutilah aku) dan “Fi Rasulillahi uswatun hasanatun” (Dalam diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik).
Kendatipun cinta bagian dari perilaku hati, maka wujud nyata dari kecintaan adalah mematuhi mengikuti, dan meneladani. Sementara jika ketiga hal ini tidak dilakukan, maka cintanya adalah dusta. Dan dengan tidak mematuhi Rasulullah, berarti telah secara sadar menolak untuk masuk surga, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى »
Artinya: “Semua ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan (menolak). Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, siapa yang menolak? Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa mematuhiku maka ia masuk surga, dan barangsiapa durhaka kepadaku, maka ia telah menolak masuk surga“ (HR Bukhari No 7280)
Mematuhi, mengikuti dan meneladani mencakup banyak hal, diantaranya kewajiban dalam agama yang diperintah oleh Rasulullah Saw, seperti salat, juga kesunahan-kesunahan seperti salat Dluha, menjauhi hal-hal yang makruh, haram dan hal-hal yang dilarang, sebagaimana firman Allah
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah… “(al-Hasyr: 7)
Berdasarkan ayat ini, yang harus ditinggalkan adalah yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak beliau amalkan. Hal ini diperkuat sabda beliau
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
yang artinya: “Apapun yang aku larang bagi kalian maka jauhilah. Dan apapun yang aku perintahkan maka lakukanlah sesuai kemampuanmu” (HR Bukhari dan Muslim)
Sementara amaliyah yang tidak dijelaskan oleh Rasulullah tentang keharamannya dan yang tak beliau amalkan, maka boleh dilakukan selama tidak mengarah kepada perbuatan haram. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
عن أبي الدرداء قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ هُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيُنْسِىَ شَيْئًا ثُمَّ تلاَ " { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا } " رواه البزار والطبراني في الكبير وإسناده حسن ورجاله موثقون
“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang ia haramkan adalah haram. Sesuatu yang ia diamkan (tidak dijelaskan halal-haramnya) adalah sebuah dispensasi, maka terimalah dispensasi dari Allah: “Tuhanmu tidaklah pelupa” (HR Bazzar dan Thabrani, para perawinya terpercaya)
Dengan demikian, sebuah usaha dan upaya yang menjadi media dalam berbagai tradisi untuk mencapai kecintaan dan keteladanan kepada Rasulullah Saw adalah diperbolehkan, sebagaimana dalam Maulid Nabi dan sebagainya. Hal ini sesuai kaidah “Lil wasaaili hukm al-Makashid” (Media memiliki hukum sesuai tujuannya).
Peringatan maulid nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya: mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam semesta.
Para sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu anhu, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW, sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu surat dalam Al-Quran.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.
Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari kelahirannya.
Nah, sudah saatnyalah mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila perlu, hendaknya bersedia bergabung untuk bersama-sama membaca sirah Rasul SAW. Atau, minimal – sebagai muslim– hendaknya merasakan gembira dengan datangnya bulan Rabiul Awal. Sudah sepantasnya di bulan ini kita sediakan waktu untuk mengkaji lebih dalam sejarah hidup Rasul SAW. Jangan lagi menggugat maulid!
Sumber : Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi, KH. Abdullah 'Afif, M Ma’ruf Khozin, Tim CN & FS