Penjelasan Lengkap tentang Bid'ah
diposkan Kamis, 04 Juli 2013 by admin 88
Pengertian Bid’ah
( Edisi Rangkuman dari berbagai sumber, dirangkum dan disusun oleh tim KMNU ITB )
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi” atau “mubdi“
[ “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh).” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i. [ Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata : Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram. [ Tafsir al-Manar, IX: 60]
Menurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzudin bin ‘Abdissalam, bid’ah adalah
“ Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW “. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 172)
Ibnu Abdil Barr berkata;
“ Bid’ah itu menurut ucapan orang-orang arab adalah mengada-adakan dan mengawali sesuatu yang belum ada. Maka perkara yang diada-adakan dalam agama yang menyalahi sunnah yang telah diamalkan, maka itulah bid’ah yang tidak ada kebaikan dan wajib mencelanya, mencegah pelaksanaannya, memerintahkan untuk menjauhinya dan mengusir pelakunya apabila telah nyata baginya kejelekan dari jalan yang ditempuhnya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi sumber syari’at dan sunnah, maka itulah sebaik-baiknya bid’ah, sebagaimana yang dikatakan Umar RadhiAllahu ‘Anhu karena asal dari yang beliau lakukan itu adalah sunnah.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ [Shohih Muslim VII hal. 61]. Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah ra.
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “Adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?”
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “Ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Apakah bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Macam-Macam Bid’ah
Imam Syafi’i RA berkata, riwayat Abu Nu’aim:
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”
[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
‘‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’’. [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XVII hal. 10, Dar al-Fikr, Beirut]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi mengatakan bahwa
“Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka ia pun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka ia pun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318]
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Al-Hadidi dalam Syarah Nahjul Balagah, beliau berkata;
“Lafadz bid’ah dipakai untuk dua pengertian; (1) sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah seperti puasa Hari Raya Nahar dan pada Hari Tasyriq. Perbuatan tersebut walaupun berbentuk puasa tetapi terlarang dilakukan. (2) sesuatu yang tidak ada keterangan nash padanya melainkan didiamkan oleh syara’ lalu dilakukan oleh kaum muslimin sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa, “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat ada dalam neraka” adalah dimaksudkan untuk bid’ah sesuai pengertiannya yang pertama. sedangkan perkataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu “sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah dia” dimaksudkan untuk bid’ah berdasarkan pengertiannya yang kedua”.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Ajiri, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al-'Athsya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Junaed, telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya sambil berkata: Aku telah mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata: Bid'ah itu ada 2, yaitu 1. Bid'ah Mahmudah (Terpuji) dan 2. Bid'ah Madzmumah (Tercela). Maka apabila sesuatu yang sesuai dengan Sunnah Nabi saw, maka dinamakan Bid'ah Mahmudah (Terpuji). Sedangkan, apabila sesuatu yang menyelisihi / bertentangan dengan Sunnah Nabi saw, maka dinamakan Bid'ah Madzmumah (Tercela). [Hilyatul Awliya' wa Thabaqhaatul Ashfiya karya Al-Hafidz Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfiya' jilid 9 hal. 133]
Di dalam kitab "Hasyiah Raddul Mukhtar (حاشية رد المختار) karya Syeikh Muhammad Amin / Ibnu Abidin jilid 1 hal. 590 cetakan kedua "Dar el-Fikr" tahun 1386 H / 1966 M disebutkan bahwa bid'ah terbagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid'ah Haram (contoh: meyakinkan bahwa Allah swt berbentuk jisim seperti jisim-jisim yang terdapat pada makhluk).
2. Bid'ah Wajib. Contoh: menegakkan dalil-dalil untuk membantah golongan-golongan yang sesat, belajar ilmu nahwu supaya dapat memahami Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw.
3. Bid'ah Sunnah. Contoh: memperbaharui upamanya pesantren, madrasah, dan setiap kebagusan yang tidak ada di zaman permulaan Islam.
4. Bid'ah Makruh. Contoh: menghiasi mesjid.
5. Bid'ah Mubah. Contoh: membuat makanan & minuman yang enak, dan mengenakan pakaian yang bagus. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173]
Al-Khatabi berkata ;
“Sabda Nabi “setiap yang baru itu bid’ah” adalah khusus pada sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. Bid’ah itu sendiri adalah segala sesuatu yang diada-adakan dengan tanpa sumber dari agama dan juga tanpa timbangan dan qiyas darinya. Adapun sebagian perkara baru yang didasarkan kepada kaidah-kaidah ushul dan dapat dikembalikan kepadanya, maka tidaklah dia termasuk bid’ah (secaya syar’i) dan tidaklah pula sesat.” [Ma’aalimus Sunan IV/301]
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari berkata:
“Bid’ah adalah mengada-adakan atau memperbaharui suatu pekerjaan yang tidak ada dalam agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam. Sama halnya apakah pekerjaan itu berupa i’tiqad atau perbuatan, maka perkerjaan yang diada-adakan itu tidak akan memberi maslahat kepada agama, ada kalanya Haram, Makruh serta Mubah, dan ada kalanya memberi maslahat sehingga Wajib atau Sunnat hukumnya.” [Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat Al-Mu’minin wa ma Yufsidu min Riddatul Murtadin, Cetakan 1408H, Hal. 77-80]
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’I seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Menurut Syeikh Abu Syakur Salami Qaddasallahu Sirrahu, dalam kitab Tahmid, bid’ah itu terbagi dalam lima perkara:
1. Bid’ah mengenai Dzat Allah
2. Bid’ah mengenai Sifat Allah
3. Bid’ah mengenai Kalam Allah
4. Bid’ah mengenai segala perbuatan hamba
5. Bid’ah mengenai Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun bid’ah mengenai Dzat Allah, Af’al, Kalam Allah, serta Sifat-sifatNya yang tidak sepantasnya, sudah jelas hukumnya kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama dalam menetapkan kekafirannya.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah, bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah, mengusap-usap mimbar Nabi SAW di dalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua-nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah di kitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata;
“Hadits Nabi ‘setiap bid’ah itu sesat’ adalah hadits yang yang ‘am makhshush (umum tapi dikhususkan). Yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid’ah. Para ahli bahasa berkata; bid’ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang mendahuluinya. para ulama berkata; bid’ah itu ada lima macam, wajib, mandhub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adala menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid’ah yang mandhub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun mandrasah dan tempat-tempat pengajian serta yang selainnya. Termasuk bid’ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan yang lainnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas. Masalah ini telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab ‘tahziibul asma’ was-shifat’. Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadits Nabi itu termasuk hadits yang ‘am makhshush dan begitu juga hadits-hadits yang serupa dengannya. Apa yang kami katakan ini diperkuat oleh pernyataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu dalam hal slhalat tarawih, ‘dia adalah sebaik-baik bid’ah’. Dan keadaan hadits itu sebagai hadits yang ‘am makhshush tidak lah tercegah oleh sabda Nabi ‘kullu bid’atin’ yang diperkuat dengan kata ‘kullu’ melainkan tetap dia itu dimasuki oleh takhshish walaupun bersama ‘kullu’ seperti halnya firman Allah, ‘tudammiru kulla syai’in (angin taufan itu menghancurkan sedala sesuatu)’, padahal ayat ini walaupun ada kullu yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki oleh takhshish karena yang dihancurkan oleh angin taufan itu memang bukan segala sesuatu. terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak ikut hancur.”
[Syarah Muslim Jilid VI/154 ]
Oleh karena itu bid’ah terbagi kepada lima bagian sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Syeikh ‘Izzudin Ibnu Abdis Salam, beliau berkata bahwa bid’ah itu terbagi kepada lima perkara yaitu:
1. Bid’ah yang Wajib, seperti menafsirkan al-Qur’an, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya, mensyarahkan Hadits, mengarang ilmu-ilmu alat, menguraikan Bahasa Arab; Ilmu-ilmu bahasa, Nahwu dan Sharf, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, Ilmu ‘Arudl, Ilmu Fara’id, menulis Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin serta menulis kitab yang menerangkan Hadits Shahih, hasan dan Maudlu’ atau Hadits Palsu.
2. Bid’ah yang Sunnat, seperti Shalat Tarawih sebulan penuh, memperbaiki jalan dengan membangun jembatan, mengarang kitab, pengajian rutin, mendirikan pesantren, membangun madrasah dan menguraikan secara jelas masalah-masalah tasawwuf yang Sunni/Aswaja.
3. Bid’ah yang Mubah seperti berjabat tangan sesudah shalat subuh dan ashar, memakan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus, menempati rumah yang bagus atau mewah, membuat ayakan tepung, memakai celana panjang, dan melonggarkan lengan baju. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173 ]
Adapun mengenai berjabat tangan dikala bertemu bukanlah pekerjaan bid’ah karena warid dengan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(BUKHARI - 5792) : Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Ashim telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dia berkata; aku bertanya kepada Anas; "Apakah diantara para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sering berjabat tangan?" dia menjawab; "Ya."
4. Bid’ah yang Makruh, seperti menghiasi masjid, mengkhususkan hari Jum’ah untuk berpuasa, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan , menghiasi mushhaf al-Qur’an.
5. Bid’ah yang Haram, seperti Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, mendahulukan orang-orang bodoh atas ulama, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa), masalah Jabariyyah, Qadariyyah, Murji’ah, Mujassimah, Wujudiyyah, dan lain sebagainya dari i’tiqad dan perbuatan bid’ah.
Syekh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut
“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini (bid’ah) kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan kitab Allah SWT dan sunnah Rosulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah inimasuk dalam bingkai sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”. Dan juga berdasarkan hadits shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh sesama muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk oleh orang-orang islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Haditsini dishahihkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Amali.
(al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Di dalam kitab Zaadul Muslim fiimat Tafaqa ‘alaihil Bukhori wa Muslim
“Bekal Muslim di dalam Masalah Menerangkan tentang Hadits-hadits Nabi saw yang Sudah Menjadi Kesepakatan atau Konsensus antara Imam Bukhori dan Imam Muslim) karya Sayyid Muhammad Habibullah pada jilid 3 halaman 46-56, cetakan "Darul Fikr", Beirut Libanon, diterangkan mengenai masalah bid’ ah secara panjang lebar sampai sebelas halaman.
Contoh-ontoh Bid’ah yang dilakukan Ulama Salaf yang sesuai dengan Syari’at
(TIRMIDZI - 2600) : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa'd dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham." Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih, Tsaur bin Yazid telah meriwayatkannya dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin 'Amru as sulami dari Al 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas ini. Dan telah menceritakan kepada kami seperti itu Al Hasan bin Ali al Khallal dan tidak tidak hanya satu orang saja, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin 'Amru as sulami dari Al 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas. Dan Al 'Irbadh bin Sariyah mempunyai kunyah Abu Najih. Dan telah diriwayatkan hadits ini dari Hujr bin Hujr dari 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits diatas.
(ABUDAUD - 3991) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: '(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat."
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulama, bukan kaum awam, yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Langsung saja kita masuk ke contoh-contoh bid’ah yang dilakukan Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Ulama-ulama Salaf. Apakah yang mereka lakukan adalah bid’ah dholalah, sesat dan pasti masuk neraka ?
Perhatikan hadits riwayat Imam Bukhori berikut :
أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:" كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟"
فقال له عمر:" هو والله خير." فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:" فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن." قال زيد:" كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم." قال:" هو والله خير" فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .
“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ketika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” Maka Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tidak melakukannya ?” maka Abu Bakar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu Bakar terus mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “. [Shahih Bukhori juz 4 hal. 243]
(BUKHARI - 4601) : Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah menceritakan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri Dan Telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik ia berkata; Utsman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Sa'id bin Al 'Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam untuk menyalin Al Qur`an ke dalam Mushaf (pembukuan Alquran). Dan Utsman berkata pada mereka, "Jika kalian berselisih dengan Zaid dalam masalah bahasa Arab Al Qur`an, maka tulislah berdasarkan lisannya bangsa Quraisy, sebab Al Qur`an dengan bahasa mereka." Maka mereka pun melakukannya.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah SAW sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya juz II halaman 284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath juz II halaman 287 mengatakan: ”Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya”.
Imam Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim juz 1halaman 419).
Imam Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “.
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau SAW meridhainya’.
Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8 hal. 313).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111 hal. 276).
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat.
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa?. Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
(IBNUMAJAH - 3539) : Telah menceritakan kepada kami Harun bin Hayyan telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah memberitakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Abdurrahman bin Abu Laila dari ayahnya Abu Laila dia berkata, "Ketika aku sedang duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang Arab Badui seraya berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara yang menderita sakit." Beliau bertanya: "Apa sakit yang meninmpa saudaramu?" Dia menjawab, "Dia terserang ayan." Beliau bersabda: "Pergi dan bawalah dia kesini." Maka dia pergi dan kembali (kepada beliau) bersama saudaranya dan mendudukkannya di depan beliau, maka aku mendengar beliau memberikan perlindungan kepadanya dengan Al Fatihah, empat ayat dari permulaan surat Al Baqarah, dua ayat dari tengahnya dan (ayat) WA ILAAHUKUM ILAAHUWWAAHID (dan tuhan kalian adalah tuhan yang satu), ayat kursi, tiga ayat dari penghujung surat Al Baqarah, dan satu ayat dari surat Ali 'Imran. Aku yakin beliau mengucapkan: "SYAHIDALLAHU ANNAHU LAA ILAAHA ILLA HUWA (Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia) '. Beliau juga membaca satu ayat dari surat Al A'raaf: INNA RABBAKUMULLAHULLADZI KHALAQ (sesungguhnya Rabb kalian adalah yang menciptakan) ', satu ayat dari surat Al Mu’minun: WA MAN YADA'U MA'ALLAHI ILAAHNA AAKHAR LAA BURHAANA LAHU BIHI '(Dan barang siapa yang menyeru bersama dengan Allah yaitu ilah yang lain, maka tidak ada petunjuk baginya), satu ayat dari surat Al Jin: WA ANNAHU TA'ALA JADDU RABBINAA MATTAKHADZA SHAAHIBATAN WA LAA WALADA (Dan bahwasannya Maha Tinggi kebesaran Rabb kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak) '. Sepuluh ayat dari surat Ash Shaffaat, tiga ayat dari akhir surat Al Hasyr, dan QULHUWALLAHU AHAD, dan dua mu'awidzatain. Kemudian orang Arab Badui itu bangun dan sembuh seakan-akan tidak menderita sakit."
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda :
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau SAW dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah SAW.
Berikut ini adalah bid’ah yang dilakukan oleh para ahli hadits
Imam al-Bukhari (15126 rakaat)
وقال الفربري قال لي البخاري: ما وضعت في كتابي الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين
(طبقات الحفاظ - ج 1 / ص 48 وسير أعلام النبلاء 12 / 402 وطبقات الحنابلة 1 / 274، وتاريخ بغداد 2 / 9، وتهذيب الاسماء واللغات 1 / 74 ووفيات الاعيان 4 / 190، وتهذيب الكمال 1169، وطبقات السبكي 2 / 220، ومقدمة الفتح 490 وتهذيب التهذيب 9 / 42)
“al-Farbari berkata bahwa al-Bukhari berkata: Saya tidak meletakkan 1 hadis pun dalam kitab Sahih saya, kecuali saya mandi terlebih dahulu dan saya salat 2 rakaat”
(Diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, diantaranya dalam Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi 1/48, Siyar A’lam an-Nubala’, al-Hafidz adz-Dzahabi 12/402, Thabaqat al-Hanabilah 1/274, Tarikh Baghdad 2/9, Tahdzib al-Asma, Imam an-Nawawi 1/74, Wafayat al-A’yan 4/190, Tahdzib al-Kamal, al-Hafidz al-Mizzi 1169, Thabaqat as-Subki 2/220, dan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Muqaddimah al-Fath 490 dan at-Tahdzib 9/42)
Sedangkan hadis yang tertera dalam Sahih al-Bukhari berjumlah 7563 hadis. Maka salat yang beliau lakukan juga sesuai jumlah hadis tersebut atau 15126 (lima belas ribu seratus dua puluh enam) rakaat.
وروينا عن عبد القدوس بن همام، قال: سمعت عدة من المشايخ يقولون: حول البخارى تراجم جامعه بين قبر النبى - صلى الله عليه وسلم - ومنبره، وكان يصلى لكل ترجمة ركعتين (تهذيب الأسماء - (1 / 101)
“Kami meriwayatkan dari Abdul Quddus bin Hammam, bahwa ia mendengar dari para guru yang berkata seputar al-Bukhari ketika menulis bab-bab salam kitab Sahihnya diantara makam Nabi dan mimbarnya, dan al-Bukhari salat 2 rakaat dalam tiap-tiap bab” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/101)
Imam Malik bin Anas (800 rakaat)
حدثنا أبو مصعب و أحمد بن إسماعيل قالا مكث مالك بن أنس ستين سنة يصوم يوماً ويفطر يوماً وكان يصلي في كل يوم ثمانمائة ركعة (طبقات الحنابلة 1 / 61)
“Abu Mush’ab dan Ahmad bin Ismail berkata: Malik bin Anas berpuasa sehari dan berbuka sehari selama 60 tahun dan ia salat setiap hari 800 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/61)
Imam Ahmad Bin Hanbal (300 rakaat)
- قال ابو يحي وسمعت بدر بن مجاهد يقول سمعت أحمد بن الليث يقول سمعت أحمد بن حنبل يقول إنى لأدعو الله للشافعى فى صلاتى منذ أربعين سنة يقول اللهم اغفر لى ولوالدى ولمحمد بن إدريس الشافعى (طبقات الشافعية الكبرى للسبكي ج 3 / ص 194 ومناقب الشافعي للبيهقي 2-254)
“Sungguh saya berdoa kepada Allah untuk Syafii dalam salat saya sejak 40 tahun. Doanya: Ya Allah ampuni saya, kedua orang tua saya dan Muhammad bin Idris asy-Sfafii” (Thabaqat al-Syafiiyah al-Kubra, as-Subki, 3/194 dan Manaqib asy-Syafii, al-Baihaqi, 2/254)
- قال عبد الله بن أحمد: كان أبي يصلي في كل يوم وليلة ثلاث مئة ركعة. فلما مرض من تلك الأسواط أضعفته، فكان يصلي في كل يوم وليلة مئة وخمسين ركعة، وقد كان قرب من الثمانين (مختصر تاريخ دمشق لابن رجب الحنبلي ج 1 / ص 399)
“Abdullah bin Ahmad berkata: Bapak saya (Ahmad bin Hanbal) melakukan salat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika beliau sakit liver, maka kondisinya melemah, beliau salat dalam sehari semalam sebanyak 150 rakaat, dan usianya mendekati 80 tahun” (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399)
جعفر بن محمد بن معبد المؤدب قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي بعد الجمعة ست ركعات ويفصل في كل ركعتين (طبقات الحنابلة 1 / 123)
“Jakfar bin Muhammad bin Ma’bad berkata: Saya melihat Ahmad bin Hanbal salat 6 rakaat setelah Jumat, masing-masing 2 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/123)
Imam Basyar bin Mufadlal (400 rakaat)
بشر بن المفضل بن لاحق البصري الرقاشي أبو إسماعيل. قال أحمد: إليه المنتهى في التثبت بالبصرة وكان يصلى كل يوم أربعمائة ركعة ويصوم يوماً ويفطر يوماً وكان ثقة كثير الحديث مات سنة ست وثمانين ومائة (طبقات الحفاظ 1 / 24)
“Imam Ahmad berkata tentang Basyar bin Mufadzal al-Raqqasyi: Kepadanyalah puncak kesahihan di Bashrah. Ia salat setiap hari sebanyak 400 rakaat, ia puasa sehari dan berbuka sehari. Ia terpercaya dan memiliki banyak hadis, wafat 180 H” (Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/24)
Cucu Sayidina Ali (1000 rakaat)
ذو الثفنات علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب زين العابدين سمي بذلك لأنه كان يصلى كل يوم ألف ركعة فصار في ركبتيه مثل ثفنات البعير (تهذيب الكمال - 35 / 41)
“Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, hiasan ahli ibadah, disebut demikian karena ia salat dalam sehari sebanyak 1000 rakaat, sehingga di lututnya terdapat benjolan seperti unta” (Tahdzib al-Asma’, al-Hafidz al-Mizzi, 35/41)
وقال مالك بلغني أنه (علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب) كان يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة إلى أن مات (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 60)
“Malik berkata: Telah sampai kepada saya bahwa Ali bin Husain salat dalam sehari semalam 1000 rakaat sampai wafat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/60)
Maimun bin Mahran (17000 rakaat)
ويروى ان ميمون بن مهران صلى في سبعة عشر يوما سبعة عشر الف ركعة (تذكرة الحفاظ 1 / 99)
“Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran salat dalam 17 hari sebanyak 17000 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/99)
Basyar bin Manshur (500 rakaat)
قال ابن مهدى ما رأيت أحدا أخوف لله منه وكان يصلي كل يوم خمسمائة ركعة وكان ورده ثلث القرآن (تهذيب التهذيب 1 / 403)
“Ibnu Mahdi berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling takut kepada Allah selain Basyar bin Manshur. Ia salat dalam sehari 500 rakaat, wiridannya adalah 1/3 al-Quran” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 1/403)
al-Harits bin Yazid (600 rakaat)
الحارث بن يزيد قال احمد ثقة من الثقات وقال العجلي والنسائي ثقة وقال الليث كان يصلي كل يوم ستمائة ركعة (تهذيب التهذيب 2 / 142)
“Ahmad berkata: Terpercaya diantara orang-orang terpercaya. Laits berkata: al-Harits salat dalam sehari 600 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/142)
Ibnu Qudamah (100 rakaat)
ولا يسمع ذكر صلاة إلا صلاها، ولا يسمع حديثاً إلا عمل به. وكان يصلَّي بالناس في نصف شعبان مائة ركعة، وهو شيخ كبير (ذيل طبقات الحنابلة ابن رجب 1 / 203)
“Ibnu Qudamah tidak mendengar tentang salat kecuali ia lakukan. Ia tidak mendengar 1 hadis kecuali ia amalkan. Ia salat bersama dengan orang lain di malam Nishfu Sya’ban 100 rakaat, padahal ia sudah tua” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/203)
وكان يصلِّي بين المغرب والعشاء أربع ركعات، يقرأ فيهن السَّجدة، ويس، وتبارك والدخان. ويصلَّي كل ليلة جمعة بين العشاءين صلاة التسبيح ويطيلها، ويصلَّي يوم الجمعة ركعتين بمائة " قل هو الله أحد " الإخلاص، وكان يصلي في كل يوم وليلة اثنتين وسبعين ركعة نافلة، وله أوراد كثيرة. وكارْ يزور القبور كل جمعة بعد العصر (ذيل طبقات الحنابلة - 1 / 204)
“Ibnu Qudamah salat antara Maghrib dan Isya’ sebanyak 4 rakaat, dengan membaca surat Sajdah, Yasin Tabaraka dan ad-Dukhan. Beliau salat Tasbih setiap malam Jumat antara Maghrib dan Isya’ dan memanjangkannya. Di hari Jumat ia salat 2 rakaat dengan membaca al-Ikhlas 100 kali. ia salat sunah sehari semalam sebanyak 72 rakaat. ia memiliki banyak wiridan. Ia melakukan ziarah kubur setiap Jumat setelah Ashar” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/204)
Umair bin Hani’ (1000 sujud)
كان عمير بن هانئ يصلي كل يوم الف سجدة ويسبح مائة الف تسبيحة (تهذيب التهذيب 8 / 134)
“Umair bin Hani’ salat dalam sehari sebanyak 1000 sujud dan membaca tasbih sebanyak 100.000” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 8/134)
Murrah bin Syarahil (600 rakaat)
قلت: هو قول ابن حبان في الثقات زاد وكان يصلي كل يوم ستمائة ركعة وقال العجلي تابعي ثقة وكان يصلي في اليوم والليلة خمسمائة ركعة (تهذيب التهذيب 10 / 80)
“Ibnu Hibban menambahkan bahwa Marrah bin Syarahil salat dalam sehari 600 rakaat. al-Ajali berkata, ia tabii yang tsiqah, ia salat dalam sehari 500 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 10/80)
Abdul Ghani (300)
وسمعت يوسف بن خليل بحلب يقول عن عبد الغني: كان ثقة، ثبتاً، ديناً مأموناً، حسن التصنيف، دائم الصيام، كثير الإيثار. كان يصلي كل يوم وليلة ثلاثمائة ركعة (ذيل طبقات الحنابلة 1 / 185)
“Abdul Ghani, ia terpercaya, kokoh, agamis yang dipercaya, banyak karangannya, selalu puasa, selalu mendahulukan ibadah. Ia salat dalam sehari semalam 300 rakaat” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/185)
Abu Ishaq asy-Syairazi (Tiap bab dalam kitab)
وقال أبو بكر بن الخاضبة سمعت بعض أصحاب أبي إسحاق ببغداد يقول كان الشيخ يصلي ركعتين عند فراغ كل فصل من المهذب (طبقات الشافعية الكبرى 4 / 217)
“Abu Bakar abin Khadhibah berkata: Saya mendengar dari sebagian santri Abu Ishaq di Baghdad bahwa Syaikh (Abu Ishaq) salat 2 rakaat setiap selesai menulis setiap Fasal dalam Muhadzab” (Thabaqat asy-Syafiiyat al-Kubra, as-Subki, 4/217)
Qadli Abu Yusuf (200 rakaat)
وقال ابن سماعة كان أبو يوسف يصلي بعد ما ولي القضاء في كل يوم مائتي ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 214)
“Ibnu Sama’ah berkata: Setelah Abu Yusuf menjadi Qadli, ia salat dalam sehari sebanyak 200 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 1/214)
Ali bin Abdillah (1000 rakaat)
وقال أبو سنان: كان على بن عبد الله يصلى كل يوم ألف ركعة (تهذيب الأسماء 1 / 492)
“Abu Sanan berkata: Ali bin Abdillah salat dalam sehari 1000 rakaat” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/492)
al-Hafidz ar-Raqqasyi (400 rakaat)
الرقاشي الإمام الثبت الحافظ أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن محمد بن عبد الملك البصري: أبو حاتم وقال: ثقة رضا وقال العجلي: ثقة من عباد الله الصالحين وقال يعقوب السدوسي: ثقة ثبت قال العجلي: يقال: إنه كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي – 2 / 37)
“ar-Raqqasyi, terpercaya, ia salat dalam sehari semalam 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/73)
Abu Qilabah (400 rakaat)
وقال أحمد بن كامل القاضي: حكي أن أبا قلابة كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 2 / 120)
“Qadli Ahmad bin Kamil berkata: Diceritakan bahwa Abu Qilabah salat dalam sehari semalam sebanyak 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/120)
Cucu Abdullah bin Zubair (1000 rakaat)
مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير وكان مصعب يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة ويصوم الدهر (صفة الصفوة 2 / 197- والإصابة في تمييز الصحابة 2 / 326)
“Mush’ab bin Tsabit bin Abdillah bin Zubair, ia salat dala sehari semalam 1000 rakaat” (Shifat ash-Shafwah, Ibnu Jauzi, 2/197 dan al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/326)
Malik Bin Dinar (1000 rakaat)
وروى بن أبي الدنيا من طرق انه كان فرض على نفسه كل يوم ألف ركعة (الإصابة في تمييز الصحابة 5 / 77)
“Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari beberapa jalur bahwa Malik bin Dinar mewajibkan pada dirinya sendiri untuk salat 1000 rakaat dalam setiap hari” (al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 5/77)
Bilal Bin Sa’d (1000 rakaat)
وقال الاوزاعي كان بلال بن سعد من العبادة على شئ لم يسمع باحد من الامة قوى عليه كان له في كل يوم وليلة الف ركعة (تهذيب التهذيب 1 / 441)
“Auzai berkata: dalam masalah ibadah tidak didengar 1 orang yang lebih kuat daripada Bilal bin Sa’d, ia salat 1000 rakaat setiap hari” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/441)
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah ra :
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[ Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut]
Penjelasan Hadist dan Contoh-Contoh Bid’ah Dholalah
Dalil Pertama
(MUSLIM - 1435) : Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Abdul Wahhab bin Abdul Majid dari Ja'far bin Muhammad dari bapaknya dari Jabir bin Abdullah ia berkata, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan khutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando kepada bala tentaranya. Beliau bersabda: "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)." Kemudian beliau melanjutkan bersabda: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." Kemudian beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah miliki keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku." Dan telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Ja'far bin Muhammad dari bapaknya ia berkata; Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Isi khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada hari Jum'at adalah, beliau memuji Allah, dan membaca puji-pujian atas-Nya, kemudian berliau menyampaikan khutbah dengan suara yang lantang. Kemudian ia pun menyebutkan hadits. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Ja'far dari Bapaknya dari Jabir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berkhotbah, beliau memuji Allah dan bersyukur kepadaNya kemudian beliau melanjutkan dengan kata; "Barangsiapa yang Allah memberinya petunjuk, niscaya tidak ada yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa yang sesat, niscaya tidak ada yang menunjukinya, dan sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, " kemudian hadits sebagaimana hadits Ats Tsaqafi.
(IBNUMAJAH - 44) : Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa'id dan Ahmad bin Tsabit Al Jahdari keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafiy dari Ja'far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila berkhutbah matanya menjadi merah, suaranya tinggi dan emosinya menggebu-gebu, seakan-akan ia adalah seorang pemberi peringatan pada pasukan, beliau berseru: "Waspadalah, musuh akan datang di pagi hari, musuh akan datang di sore hari! " Dan beliau berseru: "Aku diutus dengan datangnya hari kiamat seperti (kedua jari) ini, " beliau menggandengkan antara dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah. Beliau lalu bersabda: "'Amma ba'du; sesungguhnya sebaik-baik perkara adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dan beliau selalu bersabda: "Barangsiapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya. Dan barang siapa meninggalkan hutang atau amanah maka akulah yang menanggungnya."
(IBNUMAJAH - 45) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin Maimun Al Madani Abu Ubaid berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ja'far bin Abu Katsir dari Musa bin 'Uqbah dari Abu Ishaq dari Abul Ahwash dari Abdullah bin Mas'ud berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Keduanya merupakan perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jangan kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat. Ketahuilah, janganlah kalian terlalu panjang dalam berangan-angan, hingga menjadikan hati kalian keras. Ketahuilah, segala sesuatu yang akan datang itu adalah dekat, dan bahwasanya yang jauh itu sesuatu yang tidak datang. Ketahuilah, bahwasanya orang yang sengsara itu adalah orang yang sengsara di perut ibunya, dan orang yang berbahagia adalah orang yang diberi nasehat dengan selainnya. Ketahuilah, sesungguhnya membunuh seorang muslim adalah kekafiran, dan mencercanya adalah kefasikan. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak mengajak bicara saudaranya di atas tiga hari. Ketahuilah, jauhilah oleh kalian berkata dusta, sesungguhnya dusta itu tidak dibenarkan baik dilakukan dengan serius maupun main-main. Janganlah seseorang berjanji kepada anak kecilnya kemudian dia tidak menepatinya. Sesungguhnya dusta akan menggiring kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya perbuatan dosa akan menggiring ke dalam neraka. Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Dan akan dikatakan kepada orang yang jujur; ia telah berlaku jujur dan berbuat baik. Sementara kepada pendusta dikatakan; ia telah berlaku dusta dan dosa. Seorang hamba yang selalu berdusta, akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (Sunan Ibnu Majah no. 45)
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”. [ An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.” (QS. Al-Hujarat : 2)
Ada golongan menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya. Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali.
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
4. Allah Berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. Al-Anbiya : 30)
Walaupun ayat ini menggunakan kata “kullu”, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya firman Allah SWT
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“ Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.” ( QS. Ar-Rohman :15)
5. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml : 23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Dalil Kedua
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, kami sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”. [ KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah]
Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalaha isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.
Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syariat kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “
Dalil Ketiga
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesia pun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya).” (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Jika mereka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.
Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnya bertaqarrub kepada Allah dengan mendengarkan lagu dangdutan.
Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa terkecuali walaupun orang-orang mengangapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :
بدعة ونعمت البدعة
“ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “
Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :
عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:" بدعة ونعمت البدعة
“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173 ]
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafidz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin Melakukan shalat karena adanya bulan purnama, Adzan dan Iqamat ketika akan mandi atau makan, Shalat dengan mengangkat kaki sebelah, Shalat dengan berbahasa selain Bahasa Arab. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Menurut Imam Syafi’i, segala pekerjaan yang menyalahi al-Qur’an, Hadits, serta perkataan Sahabat atau Ijma’, maka termasuk bid’ah dhalalah.
Kesimpulan
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut [lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut], kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Mengenai bid’ah dalam perbuatan hamba atau para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila bersalahan dengan firman Allah yang jelas, Hadits yang ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, maka hukumnya tetap saja kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama. Sedang apabila bid’ah itu menyalahi Qiyas dan Hadits yang tidak ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, termasuk Hadits yang dita’wil, yang menjadikan syubhat, maka tidaklah menjadi kafir tetapi merupakan bid’ah sayyi’ah saja (termasuk perbuatan maksiat yang amat keji, yang wajib taubat atas perbuatan tersebut).
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
(BUKHARI - 1) : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah SAW dalam menghadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya, tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan menyesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; “Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”.
Kami semua berlindung pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
Sekian rangkuman tulisan mengenai arti Bid’ah dari berbagai sumber ulama, ustad dan santri. Semoga beliau-beliau yang menulis tulisan ini mendapat rahmat dan pahala dari Allah SWT. Aamiin.
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Institut Teknologi Bandung
diposkan Kamis, 04 Juli 2013 by admin 88
Pengertian Bid’ah
( Edisi Rangkuman dari berbagai sumber, dirangkum dan disusun oleh tim KMNU ITB )
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi” atau “mubdi“
[ “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh).” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i. [ Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata : Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram. [ Tafsir al-Manar, IX: 60]
Menurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzudin bin ‘Abdissalam, bid’ah adalah
“ Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW “. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 172)
Ibnu Abdil Barr berkata;
“ Bid’ah itu menurut ucapan orang-orang arab adalah mengada-adakan dan mengawali sesuatu yang belum ada. Maka perkara yang diada-adakan dalam agama yang menyalahi sunnah yang telah diamalkan, maka itulah bid’ah yang tidak ada kebaikan dan wajib mencelanya, mencegah pelaksanaannya, memerintahkan untuk menjauhinya dan mengusir pelakunya apabila telah nyata baginya kejelekan dari jalan yang ditempuhnya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi sumber syari’at dan sunnah, maka itulah sebaik-baiknya bid’ah, sebagaimana yang dikatakan Umar RadhiAllahu ‘Anhu karena asal dari yang beliau lakukan itu adalah sunnah.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ [Shohih Muslim VII hal. 61]. Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah ra.
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “Adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?”
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “Ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Apakah bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Macam-Macam Bid’ah
Imam Syafi’i RA berkata, riwayat Abu Nu’aim:
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”
[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
‘‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’’. [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XVII hal. 10, Dar al-Fikr, Beirut]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi mengatakan bahwa
“Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka ia pun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka ia pun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318]
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Al-Hadidi dalam Syarah Nahjul Balagah, beliau berkata;
“Lafadz bid’ah dipakai untuk dua pengertian; (1) sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah seperti puasa Hari Raya Nahar dan pada Hari Tasyriq. Perbuatan tersebut walaupun berbentuk puasa tetapi terlarang dilakukan. (2) sesuatu yang tidak ada keterangan nash padanya melainkan didiamkan oleh syara’ lalu dilakukan oleh kaum muslimin sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa, “tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat ada dalam neraka” adalah dimaksudkan untuk bid’ah sesuai pengertiannya yang pertama. sedangkan perkataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu “sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah adalah dia” dimaksudkan untuk bid’ah berdasarkan pengertiannya yang kedua”.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Ajiri, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al-'Athsya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Junaed, telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya sambil berkata: Aku telah mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata: Bid'ah itu ada 2, yaitu 1. Bid'ah Mahmudah (Terpuji) dan 2. Bid'ah Madzmumah (Tercela). Maka apabila sesuatu yang sesuai dengan Sunnah Nabi saw, maka dinamakan Bid'ah Mahmudah (Terpuji). Sedangkan, apabila sesuatu yang menyelisihi / bertentangan dengan Sunnah Nabi saw, maka dinamakan Bid'ah Madzmumah (Tercela). [Hilyatul Awliya' wa Thabaqhaatul Ashfiya karya Al-Hafidz Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfiya' jilid 9 hal. 133]
Di dalam kitab "Hasyiah Raddul Mukhtar (حاشية رد المختار) karya Syeikh Muhammad Amin / Ibnu Abidin jilid 1 hal. 590 cetakan kedua "Dar el-Fikr" tahun 1386 H / 1966 M disebutkan bahwa bid'ah terbagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid'ah Haram (contoh: meyakinkan bahwa Allah swt berbentuk jisim seperti jisim-jisim yang terdapat pada makhluk).
2. Bid'ah Wajib. Contoh: menegakkan dalil-dalil untuk membantah golongan-golongan yang sesat, belajar ilmu nahwu supaya dapat memahami Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw.
3. Bid'ah Sunnah. Contoh: memperbaharui upamanya pesantren, madrasah, dan setiap kebagusan yang tidak ada di zaman permulaan Islam.
4. Bid'ah Makruh. Contoh: menghiasi mesjid.
5. Bid'ah Mubah. Contoh: membuat makanan & minuman yang enak, dan mengenakan pakaian yang bagus. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173]
Al-Khatabi berkata ;
“Sabda Nabi “setiap yang baru itu bid’ah” adalah khusus pada sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. Bid’ah itu sendiri adalah segala sesuatu yang diada-adakan dengan tanpa sumber dari agama dan juga tanpa timbangan dan qiyas darinya. Adapun sebagian perkara baru yang didasarkan kepada kaidah-kaidah ushul dan dapat dikembalikan kepadanya, maka tidaklah dia termasuk bid’ah (secaya syar’i) dan tidaklah pula sesat.” [Ma’aalimus Sunan IV/301]
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari berkata:
“Bid’ah adalah mengada-adakan atau memperbaharui suatu pekerjaan yang tidak ada dalam agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Islam. Sama halnya apakah pekerjaan itu berupa i’tiqad atau perbuatan, maka perkerjaan yang diada-adakan itu tidak akan memberi maslahat kepada agama, ada kalanya Haram, Makruh serta Mubah, dan ada kalanya memberi maslahat sehingga Wajib atau Sunnat hukumnya.” [Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat Al-Mu’minin wa ma Yufsidu min Riddatul Murtadin, Cetakan 1408H, Hal. 77-80]
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’I seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Menurut Syeikh Abu Syakur Salami Qaddasallahu Sirrahu, dalam kitab Tahmid, bid’ah itu terbagi dalam lima perkara:
1. Bid’ah mengenai Dzat Allah
2. Bid’ah mengenai Sifat Allah
3. Bid’ah mengenai Kalam Allah
4. Bid’ah mengenai segala perbuatan hamba
5. Bid’ah mengenai Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun bid’ah mengenai Dzat Allah, Af’al, Kalam Allah, serta Sifat-sifatNya yang tidak sepantasnya, sudah jelas hukumnya kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama dalam menetapkan kekafirannya.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah, bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah, mengusap-usap mimbar Nabi SAW di dalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua-nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah di kitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata;
“Hadits Nabi ‘setiap bid’ah itu sesat’ adalah hadits yang yang ‘am makhshush (umum tapi dikhususkan). Yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid’ah. Para ahli bahasa berkata; bid’ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang mendahuluinya. para ulama berkata; bid’ah itu ada lima macam, wajib, mandhub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid’ah yang wajib adala menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan aqidah dan para pelaku bid’ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid’ah yang mandhub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun mandrasah dan tempat-tempat pengajian serta yang selainnya. Termasuk bid’ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan yang lainnya. Sedangkan bid’ah yang haram dan makruh sudah jelas. Masalah ini telah aku jelaskan dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab ‘tahziibul asma’ was-shifat’. Apabila dimengerti apa yang telah aku sebutkan itu niscaya diketahuilah bahwa hadits Nabi itu termasuk hadits yang ‘am makhshush dan begitu juga hadits-hadits yang serupa dengannya. Apa yang kami katakan ini diperkuat oleh pernyataan Umar RadhiAllahu ‘Anhu dalam hal slhalat tarawih, ‘dia adalah sebaik-baik bid’ah’. Dan keadaan hadits itu sebagai hadits yang ‘am makhshush tidak lah tercegah oleh sabda Nabi ‘kullu bid’atin’ yang diperkuat dengan kata ‘kullu’ melainkan tetap dia itu dimasuki oleh takhshish walaupun bersama ‘kullu’ seperti halnya firman Allah, ‘tudammiru kulla syai’in (angin taufan itu menghancurkan sedala sesuatu)’, padahal ayat ini walaupun ada kullu yang menunjuk makna umum tapi tetap dimasuki oleh takhshish karena yang dihancurkan oleh angin taufan itu memang bukan segala sesuatu. terbukti langit, bumi dan gunung-gunung tidak ikut hancur.”
[Syarah Muslim Jilid VI/154 ]
Oleh karena itu bid’ah terbagi kepada lima bagian sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Syeikh ‘Izzudin Ibnu Abdis Salam, beliau berkata bahwa bid’ah itu terbagi kepada lima perkara yaitu:
1. Bid’ah yang Wajib, seperti menafsirkan al-Qur’an, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya, mensyarahkan Hadits, mengarang ilmu-ilmu alat, menguraikan Bahasa Arab; Ilmu-ilmu bahasa, Nahwu dan Sharf, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, Ilmu ‘Arudl, Ilmu Fara’id, menulis Ilmu Fiqih, Ilmu Ushuluddin serta menulis kitab yang menerangkan Hadits Shahih, hasan dan Maudlu’ atau Hadits Palsu.
2. Bid’ah yang Sunnat, seperti Shalat Tarawih sebulan penuh, memperbaiki jalan dengan membangun jembatan, mengarang kitab, pengajian rutin, mendirikan pesantren, membangun madrasah dan menguraikan secara jelas masalah-masalah tasawwuf yang Sunni/Aswaja.
3. Bid’ah yang Mubah seperti berjabat tangan sesudah shalat subuh dan ashar, memakan makanan yang lezat, memakai pakaian yang bagus, menempati rumah yang bagus atau mewah, membuat ayakan tepung, memakai celana panjang, dan melonggarkan lengan baju. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173 ]
Adapun mengenai berjabat tangan dikala bertemu bukanlah pekerjaan bid’ah karena warid dengan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(BUKHARI - 5792) : Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Ashim telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dia berkata; aku bertanya kepada Anas; "Apakah diantara para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sering berjabat tangan?" dia menjawab; "Ya."
4. Bid’ah yang Makruh, seperti menghiasi masjid, mengkhususkan hari Jum’ah untuk berpuasa, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan , menghiasi mushhaf al-Qur’an.
5. Bid’ah yang Haram, seperti Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, mendahulukan orang-orang bodoh atas ulama, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa), masalah Jabariyyah, Qadariyyah, Murji’ah, Mujassimah, Wujudiyyah, dan lain sebagainya dari i’tiqad dan perbuatan bid’ah.
Syekh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut
“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini (bid’ah) kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan kitab Allah SWT dan sunnah Rosulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah inimasuk dalam bingkai sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”. Dan juga berdasarkan hadits shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh sesama muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk oleh orang-orang islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Haditsini dishahihkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam al-Amali.
(al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Di dalam kitab Zaadul Muslim fiimat Tafaqa ‘alaihil Bukhori wa Muslim
“Bekal Muslim di dalam Masalah Menerangkan tentang Hadits-hadits Nabi saw yang Sudah Menjadi Kesepakatan atau Konsensus antara Imam Bukhori dan Imam Muslim) karya Sayyid Muhammad Habibullah pada jilid 3 halaman 46-56, cetakan "Darul Fikr", Beirut Libanon, diterangkan mengenai masalah bid’ ah secara panjang lebar sampai sebelas halaman.
Contoh-ontoh Bid’ah yang dilakukan Ulama Salaf yang sesuai dengan Syari’at
(TIRMIDZI - 2600) : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin al Walid dari Bahir bin Sa'd dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin Amru as Sulami dari al 'Irbadh bin Sariyah dia berkata; suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi wejangan kepada kami setelah shalat subuh wejangan yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata mengalir dan hati menjadi gemetar. Maka seorang sahabat berkata; 'seakan-akan ini merupakan wejangan perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami ya Rasulullah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta'at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham." Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan shahih, Tsaur bin Yazid telah meriwayatkannya dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin 'Amru as sulami dari Al 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas ini. Dan telah menceritakan kepada kami seperti itu Al Hasan bin Ali al Khallal dan tidak tidak hanya satu orang saja, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdurrahman bin 'Amru as sulami dari Al 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits diatas. Dan Al 'Irbadh bin Sariyah mempunyai kunyah Abu Najih. Dan telah diriwayatkan hadits ini dari Hujr bin Hujr dari 'Irbadh bin Sariyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits diatas.
(ABUDAUD - 3991) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: '(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat."
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “.
Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulama, bukan kaum awam, yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Langsung saja kita masuk ke contoh-contoh bid’ah yang dilakukan Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan Ulama-ulama Salaf. Apakah yang mereka lakukan adalah bid’ah dholalah, sesat dan pasti masuk neraka ?
Perhatikan hadits riwayat Imam Bukhori berikut :
أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:" كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟"
فقال له عمر:" هو والله خير." فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:" فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن." قال زيد:" كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم." قال:" هو والله خير" فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .
“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ketika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” Maka Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tidak melakukannya ?” maka Abu Bakar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu Bakar terus mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “. [Shahih Bukhori juz 4 hal. 243]
(BUKHARI - 4601) : Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah menceritakan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri Dan Telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik ia berkata; Utsman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, Sa'id bin Al 'Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam untuk menyalin Al Qur`an ke dalam Mushaf (pembukuan Alquran). Dan Utsman berkata pada mereka, "Jika kalian berselisih dengan Zaid dalam masalah bahasa Arab Al Qur`an, maka tulislah berdasarkan lisannya bangsa Quraisy, sebab Al Qur`an dengan bahasa mereka." Maka mereka pun melakukannya.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulullah SAW sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya juz II halaman 284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath juz II halaman 287 mengatakan: ”Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya”.
Imam Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim juz 1halaman 419).
Imam Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “.
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau SAW meridhainya’.
Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8 hal. 313).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah SWT.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111 hal. 276).
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat.
Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa?. Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
(IBNUMAJAH - 3539) : Telah menceritakan kepada kami Harun bin Hayyan telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah memberitakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Abdurrahman bin Abu Laila dari ayahnya Abu Laila dia berkata, "Ketika aku sedang duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang Arab Badui seraya berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara yang menderita sakit." Beliau bertanya: "Apa sakit yang meninmpa saudaramu?" Dia menjawab, "Dia terserang ayan." Beliau bersabda: "Pergi dan bawalah dia kesini." Maka dia pergi dan kembali (kepada beliau) bersama saudaranya dan mendudukkannya di depan beliau, maka aku mendengar beliau memberikan perlindungan kepadanya dengan Al Fatihah, empat ayat dari permulaan surat Al Baqarah, dua ayat dari tengahnya dan (ayat) WA ILAAHUKUM ILAAHUWWAAHID (dan tuhan kalian adalah tuhan yang satu), ayat kursi, tiga ayat dari penghujung surat Al Baqarah, dan satu ayat dari surat Ali 'Imran. Aku yakin beliau mengucapkan: "SYAHIDALLAHU ANNAHU LAA ILAAHA ILLA HUWA (Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia) '. Beliau juga membaca satu ayat dari surat Al A'raaf: INNA RABBAKUMULLAHULLADZI KHALAQ (sesungguhnya Rabb kalian adalah yang menciptakan) ', satu ayat dari surat Al Mu’minun: WA MAN YADA'U MA'ALLAHI ILAAHNA AAKHAR LAA BURHAANA LAHU BIHI '(Dan barang siapa yang menyeru bersama dengan Allah yaitu ilah yang lain, maka tidak ada petunjuk baginya), satu ayat dari surat Al Jin: WA ANNAHU TA'ALA JADDU RABBINAA MATTAKHADZA SHAAHIBATAN WA LAA WALADA (Dan bahwasannya Maha Tinggi kebesaran Rabb kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak) '. Sepuluh ayat dari surat Ash Shaffaat, tiga ayat dari akhir surat Al Hasyr, dan QULHUWALLAHU AHAD, dan dua mu'awidzatain. Kemudian orang Arab Badui itu bangun dan sembuh seakan-akan tidak menderita sakit."
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. telah bersabda :
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau SAW dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah SAW.
Berikut ini adalah bid’ah yang dilakukan oleh para ahli hadits
Imam al-Bukhari (15126 rakaat)
وقال الفربري قال لي البخاري: ما وضعت في كتابي الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين
(طبقات الحفاظ - ج 1 / ص 48 وسير أعلام النبلاء 12 / 402 وطبقات الحنابلة 1 / 274، وتاريخ بغداد 2 / 9، وتهذيب الاسماء واللغات 1 / 74 ووفيات الاعيان 4 / 190، وتهذيب الكمال 1169، وطبقات السبكي 2 / 220، ومقدمة الفتح 490 وتهذيب التهذيب 9 / 42)
“al-Farbari berkata bahwa al-Bukhari berkata: Saya tidak meletakkan 1 hadis pun dalam kitab Sahih saya, kecuali saya mandi terlebih dahulu dan saya salat 2 rakaat”
(Diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, diantaranya dalam Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi 1/48, Siyar A’lam an-Nubala’, al-Hafidz adz-Dzahabi 12/402, Thabaqat al-Hanabilah 1/274, Tarikh Baghdad 2/9, Tahdzib al-Asma, Imam an-Nawawi 1/74, Wafayat al-A’yan 4/190, Tahdzib al-Kamal, al-Hafidz al-Mizzi 1169, Thabaqat as-Subki 2/220, dan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Muqaddimah al-Fath 490 dan at-Tahdzib 9/42)
Sedangkan hadis yang tertera dalam Sahih al-Bukhari berjumlah 7563 hadis. Maka salat yang beliau lakukan juga sesuai jumlah hadis tersebut atau 15126 (lima belas ribu seratus dua puluh enam) rakaat.
وروينا عن عبد القدوس بن همام، قال: سمعت عدة من المشايخ يقولون: حول البخارى تراجم جامعه بين قبر النبى - صلى الله عليه وسلم - ومنبره، وكان يصلى لكل ترجمة ركعتين (تهذيب الأسماء - (1 / 101)
“Kami meriwayatkan dari Abdul Quddus bin Hammam, bahwa ia mendengar dari para guru yang berkata seputar al-Bukhari ketika menulis bab-bab salam kitab Sahihnya diantara makam Nabi dan mimbarnya, dan al-Bukhari salat 2 rakaat dalam tiap-tiap bab” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/101)
Imam Malik bin Anas (800 rakaat)
حدثنا أبو مصعب و أحمد بن إسماعيل قالا مكث مالك بن أنس ستين سنة يصوم يوماً ويفطر يوماً وكان يصلي في كل يوم ثمانمائة ركعة (طبقات الحنابلة 1 / 61)
“Abu Mush’ab dan Ahmad bin Ismail berkata: Malik bin Anas berpuasa sehari dan berbuka sehari selama 60 tahun dan ia salat setiap hari 800 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la 1/61)
Imam Ahmad Bin Hanbal (300 rakaat)
- قال ابو يحي وسمعت بدر بن مجاهد يقول سمعت أحمد بن الليث يقول سمعت أحمد بن حنبل يقول إنى لأدعو الله للشافعى فى صلاتى منذ أربعين سنة يقول اللهم اغفر لى ولوالدى ولمحمد بن إدريس الشافعى (طبقات الشافعية الكبرى للسبكي ج 3 / ص 194 ومناقب الشافعي للبيهقي 2-254)
“Sungguh saya berdoa kepada Allah untuk Syafii dalam salat saya sejak 40 tahun. Doanya: Ya Allah ampuni saya, kedua orang tua saya dan Muhammad bin Idris asy-Sfafii” (Thabaqat al-Syafiiyah al-Kubra, as-Subki, 3/194 dan Manaqib asy-Syafii, al-Baihaqi, 2/254)
- قال عبد الله بن أحمد: كان أبي يصلي في كل يوم وليلة ثلاث مئة ركعة. فلما مرض من تلك الأسواط أضعفته، فكان يصلي في كل يوم وليلة مئة وخمسين ركعة، وقد كان قرب من الثمانين (مختصر تاريخ دمشق لابن رجب الحنبلي ج 1 / ص 399)
“Abdullah bin Ahmad berkata: Bapak saya (Ahmad bin Hanbal) melakukan salat dalam sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Ketika beliau sakit liver, maka kondisinya melemah, beliau salat dalam sehari semalam sebanyak 150 rakaat, dan usianya mendekati 80 tahun” (Mukhtashar Tarikh Dimasyqa, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/399)
جعفر بن محمد بن معبد المؤدب قال: رأيت أحمد بن حنبل يصلي بعد الجمعة ست ركعات ويفصل في كل ركعتين (طبقات الحنابلة 1 / 123)
“Jakfar bin Muhammad bin Ma’bad berkata: Saya melihat Ahmad bin Hanbal salat 6 rakaat setelah Jumat, masing-masing 2 rakaat” (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, 1/123)
Imam Basyar bin Mufadlal (400 rakaat)
بشر بن المفضل بن لاحق البصري الرقاشي أبو إسماعيل. قال أحمد: إليه المنتهى في التثبت بالبصرة وكان يصلى كل يوم أربعمائة ركعة ويصوم يوماً ويفطر يوماً وكان ثقة كثير الحديث مات سنة ست وثمانين ومائة (طبقات الحفاظ 1 / 24)
“Imam Ahmad berkata tentang Basyar bin Mufadzal al-Raqqasyi: Kepadanyalah puncak kesahihan di Bashrah. Ia salat setiap hari sebanyak 400 rakaat, ia puasa sehari dan berbuka sehari. Ia terpercaya dan memiliki banyak hadis, wafat 180 H” (Thabaqat al-Huffadz, al-Hafidz as-Suyuthi,1/24)
Cucu Sayidina Ali (1000 rakaat)
ذو الثفنات علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب زين العابدين سمي بذلك لأنه كان يصلى كل يوم ألف ركعة فصار في ركبتيه مثل ثفنات البعير (تهذيب الكمال - 35 / 41)
“Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, hiasan ahli ibadah, disebut demikian karena ia salat dalam sehari sebanyak 1000 rakaat, sehingga di lututnya terdapat benjolan seperti unta” (Tahdzib al-Asma’, al-Hafidz al-Mizzi, 35/41)
وقال مالك بلغني أنه (علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب) كان يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة إلى أن مات (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 60)
“Malik berkata: Telah sampai kepada saya bahwa Ali bin Husain salat dalam sehari semalam 1000 rakaat sampai wafat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/60)
Maimun bin Mahran (17000 rakaat)
ويروى ان ميمون بن مهران صلى في سبعة عشر يوما سبعة عشر الف ركعة (تذكرة الحفاظ 1 / 99)
“Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran salat dalam 17 hari sebanyak 17000 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dahabi, 1/99)
Basyar bin Manshur (500 rakaat)
قال ابن مهدى ما رأيت أحدا أخوف لله منه وكان يصلي كل يوم خمسمائة ركعة وكان ورده ثلث القرآن (تهذيب التهذيب 1 / 403)
“Ibnu Mahdi berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling takut kepada Allah selain Basyar bin Manshur. Ia salat dalam sehari 500 rakaat, wiridannya adalah 1/3 al-Quran” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 1/403)
al-Harits bin Yazid (600 rakaat)
الحارث بن يزيد قال احمد ثقة من الثقات وقال العجلي والنسائي ثقة وقال الليث كان يصلي كل يوم ستمائة ركعة (تهذيب التهذيب 2 / 142)
“Ahmad berkata: Terpercaya diantara orang-orang terpercaya. Laits berkata: al-Harits salat dalam sehari 600 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/142)
Ibnu Qudamah (100 rakaat)
ولا يسمع ذكر صلاة إلا صلاها، ولا يسمع حديثاً إلا عمل به. وكان يصلَّي بالناس في نصف شعبان مائة ركعة، وهو شيخ كبير (ذيل طبقات الحنابلة ابن رجب 1 / 203)
“Ibnu Qudamah tidak mendengar tentang salat kecuali ia lakukan. Ia tidak mendengar 1 hadis kecuali ia amalkan. Ia salat bersama dengan orang lain di malam Nishfu Sya’ban 100 rakaat, padahal ia sudah tua” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/203)
وكان يصلِّي بين المغرب والعشاء أربع ركعات، يقرأ فيهن السَّجدة، ويس، وتبارك والدخان. ويصلَّي كل ليلة جمعة بين العشاءين صلاة التسبيح ويطيلها، ويصلَّي يوم الجمعة ركعتين بمائة " قل هو الله أحد " الإخلاص، وكان يصلي في كل يوم وليلة اثنتين وسبعين ركعة نافلة، وله أوراد كثيرة. وكارْ يزور القبور كل جمعة بعد العصر (ذيل طبقات الحنابلة - 1 / 204)
“Ibnu Qudamah salat antara Maghrib dan Isya’ sebanyak 4 rakaat, dengan membaca surat Sajdah, Yasin Tabaraka dan ad-Dukhan. Beliau salat Tasbih setiap malam Jumat antara Maghrib dan Isya’ dan memanjangkannya. Di hari Jumat ia salat 2 rakaat dengan membaca al-Ikhlas 100 kali. ia salat sunah sehari semalam sebanyak 72 rakaat. ia memiliki banyak wiridan. Ia melakukan ziarah kubur setiap Jumat setelah Ashar” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/204)
Umair bin Hani’ (1000 sujud)
كان عمير بن هانئ يصلي كل يوم الف سجدة ويسبح مائة الف تسبيحة (تهذيب التهذيب 8 / 134)
“Umair bin Hani’ salat dalam sehari sebanyak 1000 sujud dan membaca tasbih sebanyak 100.000” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 8/134)
Murrah bin Syarahil (600 rakaat)
قلت: هو قول ابن حبان في الثقات زاد وكان يصلي كل يوم ستمائة ركعة وقال العجلي تابعي ثقة وكان يصلي في اليوم والليلة خمسمائة ركعة (تهذيب التهذيب 10 / 80)
“Ibnu Hibban menambahkan bahwa Marrah bin Syarahil salat dalam sehari 600 rakaat. al-Ajali berkata, ia tabii yang tsiqah, ia salat dalam sehari 500 rakaat” (Tahdzib at-Tahdzib, al-Hafidz Ibnu Hajar, 10/80)
Abdul Ghani (300)
وسمعت يوسف بن خليل بحلب يقول عن عبد الغني: كان ثقة، ثبتاً، ديناً مأموناً، حسن التصنيف، دائم الصيام، كثير الإيثار. كان يصلي كل يوم وليلة ثلاثمائة ركعة (ذيل طبقات الحنابلة 1 / 185)
“Abdul Ghani, ia terpercaya, kokoh, agamis yang dipercaya, banyak karangannya, selalu puasa, selalu mendahulukan ibadah. Ia salat dalam sehari semalam 300 rakaat” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/185)
Abu Ishaq asy-Syairazi (Tiap bab dalam kitab)
وقال أبو بكر بن الخاضبة سمعت بعض أصحاب أبي إسحاق ببغداد يقول كان الشيخ يصلي ركعتين عند فراغ كل فصل من المهذب (طبقات الشافعية الكبرى 4 / 217)
“Abu Bakar abin Khadhibah berkata: Saya mendengar dari sebagian santri Abu Ishaq di Baghdad bahwa Syaikh (Abu Ishaq) salat 2 rakaat setiap selesai menulis setiap Fasal dalam Muhadzab” (Thabaqat asy-Syafiiyat al-Kubra, as-Subki, 4/217)
Qadli Abu Yusuf (200 rakaat)
وقال ابن سماعة كان أبو يوسف يصلي بعد ما ولي القضاء في كل يوم مائتي ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 1 / 214)
“Ibnu Sama’ah berkata: Setelah Abu Yusuf menjadi Qadli, ia salat dalam sehari sebanyak 200 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 1/214)
Ali bin Abdillah (1000 rakaat)
وقال أبو سنان: كان على بن عبد الله يصلى كل يوم ألف ركعة (تهذيب الأسماء 1 / 492)
“Abu Sanan berkata: Ali bin Abdillah salat dalam sehari 1000 rakaat” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/492)
al-Hafidz ar-Raqqasyi (400 rakaat)
الرقاشي الإمام الثبت الحافظ أبو عبد الله محمد بن عبد الله بن محمد بن عبد الملك البصري: أبو حاتم وقال: ثقة رضا وقال العجلي: ثقة من عباد الله الصالحين وقال يعقوب السدوسي: ثقة ثبت قال العجلي: يقال: إنه كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي – 2 / 37)
“ar-Raqqasyi, terpercaya, ia salat dalam sehari semalam 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/73)
Abu Qilabah (400 rakaat)
وقال أحمد بن كامل القاضي: حكي أن أبا قلابة كان يصلي في اليوم والليلة أربعمائة ركعة (تذكرة الحفاظ للذهبي 2 / 120)
“Qadli Ahmad bin Kamil berkata: Diceritakan bahwa Abu Qilabah salat dalam sehari semalam sebanyak 400 rakaat” (Tadzkirah al-Huffadz, al-Hafidz adz-Dzahabi, 2/120)
Cucu Abdullah bin Zubair (1000 rakaat)
مصعب بن ثابت بن عبد الله بن الزبير وكان مصعب يصلي في اليوم والليلة ألف ركعة ويصوم الدهر (صفة الصفوة 2 / 197- والإصابة في تمييز الصحابة 2 / 326)
“Mush’ab bin Tsabit bin Abdillah bin Zubair, ia salat dala sehari semalam 1000 rakaat” (Shifat ash-Shafwah, Ibnu Jauzi, 2/197 dan al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 2/326)
Malik Bin Dinar (1000 rakaat)
وروى بن أبي الدنيا من طرق انه كان فرض على نفسه كل يوم ألف ركعة (الإصابة في تمييز الصحابة 5 / 77)
“Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari beberapa jalur bahwa Malik bin Dinar mewajibkan pada dirinya sendiri untuk salat 1000 rakaat dalam setiap hari” (al-Ishabah, al-Hafidz Ibnu Hajar, 5/77)
Bilal Bin Sa’d (1000 rakaat)
وقال الاوزاعي كان بلال بن سعد من العبادة على شئ لم يسمع باحد من الامة قوى عليه كان له في كل يوم وليلة الف ركعة (تهذيب التهذيب 1 / 441)
“Auzai berkata: dalam masalah ibadah tidak didengar 1 orang yang lebih kuat daripada Bilal bin Sa’d, ia salat 1000 rakaat setiap hari” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/441)
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah ra :
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[ Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut]
Penjelasan Hadist dan Contoh-Contoh Bid’ah Dholalah
Dalil Pertama
(MUSLIM - 1435) : Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Abdul Wahhab bin Abdul Majid dari Ja'far bin Muhammad dari bapaknya dari Jabir bin Abdullah ia berkata, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan khutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando kepada bala tentaranya. Beliau bersabda: "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah)." Kemudian beliau melanjutkan bersabda: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." Kemudian beliau bersabda: "Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah miliki keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku." Dan telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Ja'far bin Muhammad dari bapaknya ia berkata; Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Isi khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada hari Jum'at adalah, beliau memuji Allah, dan membaca puji-pujian atas-Nya, kemudian berliau menyampaikan khutbah dengan suara yang lantang. Kemudian ia pun menyebutkan hadits. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Ja'far dari Bapaknya dari Jabir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berkhotbah, beliau memuji Allah dan bersyukur kepadaNya kemudian beliau melanjutkan dengan kata; "Barangsiapa yang Allah memberinya petunjuk, niscaya tidak ada yang akan menyesatkannya, dan barangsiapa yang sesat, niscaya tidak ada yang menunjukinya, dan sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, " kemudian hadits sebagaimana hadits Ats Tsaqafi.
(IBNUMAJAH - 44) : Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa'id dan Ahmad bin Tsabit Al Jahdari keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafiy dari Ja'far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila berkhutbah matanya menjadi merah, suaranya tinggi dan emosinya menggebu-gebu, seakan-akan ia adalah seorang pemberi peringatan pada pasukan, beliau berseru: "Waspadalah, musuh akan datang di pagi hari, musuh akan datang di sore hari! " Dan beliau berseru: "Aku diutus dengan datangnya hari kiamat seperti (kedua jari) ini, " beliau menggandengkan antara dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah. Beliau lalu bersabda: "'Amma ba'du; sesungguhnya sebaik-baik perkara adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dan beliau selalu bersabda: "Barangsiapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya. Dan barang siapa meninggalkan hutang atau amanah maka akulah yang menanggungnya."
(IBNUMAJAH - 45) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid bin Maimun Al Madani Abu Ubaid berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Ja'far bin Abu Katsir dari Musa bin 'Uqbah dari Abu Ishaq dari Abul Ahwash dari Abdullah bin Mas'ud berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Keduanya merupakan perkataan dan petunjuk. Maka sebaik-baik perkataan adalah kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jangan kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat. Ketahuilah, janganlah kalian terlalu panjang dalam berangan-angan, hingga menjadikan hati kalian keras. Ketahuilah, segala sesuatu yang akan datang itu adalah dekat, dan bahwasanya yang jauh itu sesuatu yang tidak datang. Ketahuilah, bahwasanya orang yang sengsara itu adalah orang yang sengsara di perut ibunya, dan orang yang berbahagia adalah orang yang diberi nasehat dengan selainnya. Ketahuilah, sesungguhnya membunuh seorang muslim adalah kekafiran, dan mencercanya adalah kefasikan. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak mengajak bicara saudaranya di atas tiga hari. Ketahuilah, jauhilah oleh kalian berkata dusta, sesungguhnya dusta itu tidak dibenarkan baik dilakukan dengan serius maupun main-main. Janganlah seseorang berjanji kepada anak kecilnya kemudian dia tidak menepatinya. Sesungguhnya dusta akan menggiring kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya perbuatan dosa akan menggiring ke dalam neraka. Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Dan akan dikatakan kepada orang yang jujur; ia telah berlaku jujur dan berbuat baik. Sementara kepada pendusta dikatakan; ia telah berlaku dusta dan dosa. Seorang hamba yang selalu berdusta, akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (Sunan Ibnu Majah no. 45)
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”. [ An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.” (QS. Al-Hujarat : 2)
Ada golongan menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya. Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali.
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
4. Allah Berfirman :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. Al-Anbiya : 30)
Walaupun ayat ini menggunakan kata “kullu”, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya firman Allah SWT
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“ Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.” ( QS. Ar-Rohman :15)
5. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml : 23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Dalil Kedua
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, kami sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”. [ KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah]
Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalaha isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.
Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syariat kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “
Dalil Ketiga
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesia pun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya).” (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Jika mereka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.
Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnya bertaqarrub kepada Allah dengan mendengarkan lagu dangdutan.
Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa terkecuali walaupun orang-orang mengangapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :
بدعة ونعمت البدعة
“ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “
Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :
عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:" بدعة ونعمت البدعة
“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya. [Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hal. 173 ]
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafidz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin Melakukan shalat karena adanya bulan purnama, Adzan dan Iqamat ketika akan mandi atau makan, Shalat dengan mengangkat kaki sebelah, Shalat dengan berbahasa selain Bahasa Arab. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Menurut Imam Syafi’i, segala pekerjaan yang menyalahi al-Qur’an, Hadits, serta perkataan Sahabat atau Ijma’, maka termasuk bid’ah dhalalah.
Kesimpulan
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut [lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut], kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Mengenai bid’ah dalam perbuatan hamba atau para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila bersalahan dengan firman Allah yang jelas, Hadits yang ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, maka hukumnya tetap saja kafir tanpa ada ikhtilaf di kalangan para ‘ulama. Sedang apabila bid’ah itu menyalahi Qiyas dan Hadits yang tidak ittifaq seluruh ‘ulama mengenai keshahihannya, termasuk Hadits yang dita’wil, yang menjadikan syubhat, maka tidaklah menjadi kafir tetapi merupakan bid’ah sayyi’ah saja (termasuk perbuatan maksiat yang amat keji, yang wajib taubat atas perbuatan tersebut).
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:
(BUKHARI - 1) : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah SAW dalam menghadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya, tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan menyesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; “Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”.
Kami semua berlindung pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
Sekian rangkuman tulisan mengenai arti Bid’ah dari berbagai sumber ulama, ustad dan santri. Semoga beliau-beliau yang menulis tulisan ini mendapat rahmat dan pahala dari Allah SWT. Aamiin.
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Institut Teknologi Bandung