Oleh : H As’ad Said Ali
Boleh dikatakan, awal mula masuknya gagasan Hizbut Tahrir dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.
Tujuannya semata untuk membantu pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam mulai dikaji serius.
Para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.
Satu dekade kemudian, tepatnya pada dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat umum dengan cara door to door. Tahap pertama, penyampaian dakwah pada orang tua mahasiswa. Kedua, seiring dengan waktu lulusnya para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade 2000-an.
Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi. Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat, sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah (Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad Al-Khaththath (Indonesia).
Boleh dikatakan, awal mula masuknya gagasan Hizbut Tahrir dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.
Tujuannya semata untuk membantu pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian halaqah-halaqah (pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam mulai dikaji serius.
Para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.
Satu dekade kemudian, tepatnya pada dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat umum dengan cara door to door. Tahap pertama, penyampaian dakwah pada orang tua mahasiswa. Kedua, seiring dengan waktu lulusnya para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade 2000-an.
Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi. Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat, sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah (Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad Al-Khaththath (Indonesia).