Seseorang yang bepergian jauh (musafir) yang telah memenuhi persyaratan, berhak mendapatkan dispensasi qosor (meringkas shalat) dari empat roka'at menjadi dua roka'at. Tendensi diperbolehkannya qosor shalat adalah firman Allah surat An Nisa : 101 :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dan berdasarkn hadits yang diriwayatkan Abu Daud :
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka'at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dan berdasarkn hadits yang diriwayatkan Abu Daud :
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka'at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
Dispensasi qosor (meringkas shalat) dari empat roka'at menjadi dua roka'at merupakan khususiyah (ketertentuan) Nabi Muhammad dan umatnya yang boleh di lakukan ketika telah memenuhi beberapa syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh salahsatu dari madzhab empat yang populer dengan sebutan "Madzhib Al Arba'ah".
Berdasarkan literatur Madzhib Al Arba'ah, dispensasi qosor hanya diberikan pada musafir perjalanan jauh dan telah melewati batas wilayah tempat tinggalnya, karena mereka bertendensi pada firman Allah surat An Nisa : 101 :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dari makna yang tersirat dari redaksi di atas menunjukkan bahwa shalat qosor boleh dilakukan oleh orang yang menyandang predikat musafir, sedangkan seseorang bisa disebut sebagai musafir bila perjalannya telah melewati batas daerah tempat tinggalnya.
Di kalangan para ulama terjadi kontradisi pada masalah batasan jarak jauh, dari mereka ada yang mengatakan dua marhalah (81 Km), dan ada yang mengatakan tiga marhalah (243 Km). Penyebab munculnya kontradiksi ini karena tidak adanya dalil nash yang menerangkan batasan jarak jauh, sehingga para ulama menggunakan hasil ijtihad mereka masing-masing dalam membatasinya.
Syarat di perbolehkan shalat qosor
Syarat Qosor Versi Imam Hanafi :
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka,at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
Berdasarkan keterangan redaksi diatas, imam Hanafi memberikan kesimpulan apabila seorang musafir dengan tujuan yang mencapai jarak 3 marhalah (243 Km) diwajibkan qosor, sehingga kalau dia tidak mengqosor, maka ada beberapa perincian hukum, yaitu :
§ Shalatnya (yang empat roka'at) tidak sah, apabila setelah dua roka'at tidak melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk tasyahud;
§ Sah shalatnya (yang empat roka'at) meskipun makruh, apabila setelah dua roka'at melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk tasyahud, karena dua roka'at yang awal dihukumi shalat fardlu dan dua roka'at yang kedua menjadi shalat sunah.
Di dalam ruang lingkup niat qosor, konsep imam Hanafi berbeda dengan imam lain, Beliau menyatakan bahwa niat qosor tidak harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihrom, bahkan qosor tidak wajib diniati, hal ini disebabkan karena musafir wajib menyengaja pada tujuan tertentu, maka ketika tujuannya mencapai jarak kira-kira 3 marhalah (243 Km), secara otomatis shalat yang hendak ia kerjakan wajib diqosor, bukan itmam (shalat sempurna).
Prinsip imam Hanafi yang kontra dengan imam lainnya :
§ Status musafir akan lepas dengan bermukim (menempat) selama lima belas hari, selain hari masuk dan keluar daerah yang di tempati;
§ Niat iqamah (menempat) yang kurang dari 15 hari tidak berdampak pada hilangnya status musafir, namun jika niat berdomisilinya selama 15 hari atau lebih, status musafir dianggap putus;
§ Musafir yang berdomisili di suatu tempat dengan tanpa diniati iqamah (menempat) selama 15 hari dan tidak menentukan waktu melanjutkan perjalanan, tetap diperbolehkan melakukan dispensasi qosor sampai kapan saja, karena hukum musafir masih melekat pada dirinya;
§ Seseorang yang meninggalkan shalat ketika masih dalam status musafir, qodlo shalatnya wajib di qosor walaupun perjalanannya telah usai, sedangkan bila yang meninggalkan shalat adalah orang yang mukim (bukan musafir), maka qodlo shalatnya harus itmam (shalat sempurna) walaupun qodlo shalat dilakukan ketika bepergian. Alasan Beliau ketika kewajiban shalat sudah tetap dalam suatu bentuk, maka tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya waktu atau tempat;
§ Hak dispensasi Qosor tidak bisa dipengaruhi oleh unsur yang baru datang ('aridli) seperti maksiat, artinya walaupun perjalanannya terdapat unsur maksiat, tetap berhak mendapatkan dispensasi qosor, karena imam Hanafi berpijak pada keumuman redaksi Al Qur'an dan hadits didalam memberi kelonggaran qosor, serta dzatiyah bepergian bukanlah maksiat.
Syarat Qosor Versi imam Maliki:
عن ابن عمر قال صحبت النبيّ صلّى الله عليه وسلم فى السفر فلم يزد على ركعتين حتّى قبضه الله تعالى صحبت أبا بكر رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى صحبت عمر رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى صحبت عثمان رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Ibnu Umar, Ia berkata : "Saya pernah menemani perjalanannya Nabi Muhammad SAW, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Abu Bakar, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Umar bin Khotob, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Ustman bin Affan, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat". (HR. Abu Daud)
Menurut imam Maliki, niat qosor hanya diwajibkan pada shalat pertama di dalam satu rangkaian perjalanan, untuk selain shalat pertama tidak wajib diniati qosor, karena disamakan dengan niat puasa Ramadlan yang menurut prinsip Beliau, kewajiban niat puasa Ramadlan hanya pada malam pertamanya, tidak pada setiap malam.
Imam Maliki juga berpendapat bahwa hak dispensasi qosor tidak bisa dipengaruhi maksiat, artinya walaupun perjalanannya terdapat unsur maksiat tetap berhak mendapatkan dispensasi qosor, karena dzatiyah bepergian bukanlah maksiat, sedangkan maksiat merupakan unsur lain ('aridli).
Syarat Qosor Versi imam Syafi'i:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dari redaksi di atas, terlintas suatu kejelasan maksud bahwa hukum mengqosor shalat adalah mubah (boleh) dengan menitik beratkan pentela'ahan pada kalimat yang berbunyi :
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
Artinya: "... maka tidak ada dosabagimu..."
Karena kata-kata "maka tidak ada dosabagimu" sama dengan ungkapan " kalau kamu ingin qosor silakan, dan kalau kamu ingin itmam silakan".
Musafir yang berdomisili di suatu tempat dan tidak niat mukim selama empat hari empat malam, tetap diperbolehkan qosor shalat selama empat hari empat malam, sedangkan bagi musafir yang berdomisili di suatu tempat dengan tanpa niat iqamah (menempat) selama empat hari dan tidak menentukan waktu melanjutkan perjalanan (besok atau besok lusa) dan dia masih terus berharap tercapainya tujuan perjalanannya, tetap diperbolehkan melakukan dispensasi qosor selama 18 hari 18 malam. Referensi yang Beliau jadikan adalah hadits-hadits yang berbunyi:
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka'at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
إن النبي صلى الله عليه وسلم أقامها بمكّة عام الفتح لحرب هوازن يقصر الصلاة ( رواة الترمذى ) روى أنه صلى الله عليه وسلم أقام سبعة عشر
Artinya: Sesungguhnya Nabi pernah mukim di Mekah ketika "Fath al Makkah" (di bukanya kota makah) untuk memerangi kaum Hawazin dan Beliau mengqosor shalat. Diriwayatkan Nabi mukim selama 17 hari (HR. Tirmidzi)
ان النبي صلى الله عليه وسلم أقام في بعض أسفاره تسع عشر يقصر الصلاة (رواه البخاري) وأقام بتابوك عشربن يوما يقصر( رواه أحمد )
Artinya: Nabi mukim selama 19 hari dalam bepergian-Nya, dan Beliau mengqosor shalat. (HR. Bukhori). Dan Nabi mukim 20 hari ketika perang tabuk dan Beliau mengqosor shalat. (HR. Ahmad)
Terdapat beberapa versi yang meriwayatkan perbedaan jumlah hari Nabi bermukim di Mekah ketika terjadinya perang Hawazin, yaitu 17 hari, 19 hari dan 20 hari, namun kesimpulan dari semua versi adalah 18 hari. Hal ini disebabkan karena versi yang meriwayatkan 20 hari belum menghitung 2 hari untuk masuk dan keluar Mekah, dan versi yang meriwayatkan 17 hari, Rowi (orang yang meriwayatkan hadits) baru mengetahui mukimnya Nabi setelah sehari, sedangkan versi yang meriwayatkan 19 hari, belum menghitung satu hari untuk masuk atau untuk keluar Mekah.
Menurut imam Syafi’i, bepergian maksiat merupakan penyebab tidak dibolehkan qosor shalat, karena Beliau berpedoman pada kaidah fiqh yang berbunyi :
الرخص لاتناط بالمعاصى
Artinya : "Ruhshah (dispensasi) tidak bisa diperoleh dengan adanya maksiat"
Karena qosor shalat termasuk Ruhshah (dispensasi), maka tidak diperbolehkan bagi orang yang bepergian maksiat.
Syarat Qosor Versi imam Hambali:
Berdasarkan literatur Madzhib Al Arba'ah, dispensasi qosor hanya diberikan pada musafir perjalanan jauh dan telah melewati batas wilayah tempat tinggalnya, karena mereka bertendensi pada firman Allah surat An Nisa : 101 :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dari makna yang tersirat dari redaksi di atas menunjukkan bahwa shalat qosor boleh dilakukan oleh orang yang menyandang predikat musafir, sedangkan seseorang bisa disebut sebagai musafir bila perjalannya telah melewati batas daerah tempat tinggalnya.
Di kalangan para ulama terjadi kontradisi pada masalah batasan jarak jauh, dari mereka ada yang mengatakan dua marhalah (81 Km), dan ada yang mengatakan tiga marhalah (243 Km). Penyebab munculnya kontradiksi ini karena tidak adanya dalil nash yang menerangkan batasan jarak jauh, sehingga para ulama menggunakan hasil ijtihad mereka masing-masing dalam membatasinya.
Syarat di perbolehkan shalat qosor
Syarat Qosor Versi Imam Hanafi :
- Pergi ke tempat tujuan tertentu;
- Jarak tempat tujuan mencapai kira-kira 243 Km (3 marhalah)
- Qosor di lakukan setelah melewati batas wilayah tempat tinggalnya;
- Tidak ma’mum pada orang yang shalat sempurna (tidak qosor).
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka,at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
Berdasarkan keterangan redaksi diatas, imam Hanafi memberikan kesimpulan apabila seorang musafir dengan tujuan yang mencapai jarak 3 marhalah (243 Km) diwajibkan qosor, sehingga kalau dia tidak mengqosor, maka ada beberapa perincian hukum, yaitu :
§ Shalatnya (yang empat roka'at) tidak sah, apabila setelah dua roka'at tidak melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk tasyahud;
§ Sah shalatnya (yang empat roka'at) meskipun makruh, apabila setelah dua roka'at melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk tasyahud, karena dua roka'at yang awal dihukumi shalat fardlu dan dua roka'at yang kedua menjadi shalat sunah.
Di dalam ruang lingkup niat qosor, konsep imam Hanafi berbeda dengan imam lain, Beliau menyatakan bahwa niat qosor tidak harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihrom, bahkan qosor tidak wajib diniati, hal ini disebabkan karena musafir wajib menyengaja pada tujuan tertentu, maka ketika tujuannya mencapai jarak kira-kira 3 marhalah (243 Km), secara otomatis shalat yang hendak ia kerjakan wajib diqosor, bukan itmam (shalat sempurna).
Prinsip imam Hanafi yang kontra dengan imam lainnya :
§ Status musafir akan lepas dengan bermukim (menempat) selama lima belas hari, selain hari masuk dan keluar daerah yang di tempati;
§ Niat iqamah (menempat) yang kurang dari 15 hari tidak berdampak pada hilangnya status musafir, namun jika niat berdomisilinya selama 15 hari atau lebih, status musafir dianggap putus;
§ Musafir yang berdomisili di suatu tempat dengan tanpa diniati iqamah (menempat) selama 15 hari dan tidak menentukan waktu melanjutkan perjalanan, tetap diperbolehkan melakukan dispensasi qosor sampai kapan saja, karena hukum musafir masih melekat pada dirinya;
§ Seseorang yang meninggalkan shalat ketika masih dalam status musafir, qodlo shalatnya wajib di qosor walaupun perjalanannya telah usai, sedangkan bila yang meninggalkan shalat adalah orang yang mukim (bukan musafir), maka qodlo shalatnya harus itmam (shalat sempurna) walaupun qodlo shalat dilakukan ketika bepergian. Alasan Beliau ketika kewajiban shalat sudah tetap dalam suatu bentuk, maka tidak bisa berubah dengan sebab berubahnya waktu atau tempat;
§ Hak dispensasi Qosor tidak bisa dipengaruhi oleh unsur yang baru datang ('aridli) seperti maksiat, artinya walaupun perjalanannya terdapat unsur maksiat, tetap berhak mendapatkan dispensasi qosor, karena imam Hanafi berpijak pada keumuman redaksi Al Qur'an dan hadits didalam memberi kelonggaran qosor, serta dzatiyah bepergian bukanlah maksiat.
Syarat Qosor Versi imam Maliki:
- Pergi ke tempat tujuan tertentu;
- Jarak tempat tujuan mencapai kira-kira 81 Km (2 marhalah)
- Qosor di lakukan setelah melewati batas wilayah tempat tinggalnya;
- Tidak ma’mum pada orang yang shalat sempurna (tidak qosor).
عن ابن عمر قال صحبت النبيّ صلّى الله عليه وسلم فى السفر فلم يزد على ركعتين حتّى قبضه الله تعالى صحبت أبا بكر رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى صحبت عمر رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى صحبت عثمان رضي الله عنه فلم يزد على ركعتين حتى قبضه الله تعالى ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Ibnu Umar, Ia berkata : "Saya pernah menemani perjalanannya Nabi Muhammad SAW, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Abu Bakar, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Umar bin Khotob, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat, dan saya pernah menemani perjalanannya Ustman bin Affan, Beliau tidak pernah shalat melebihi dua roka'at hingga Beliau wafat". (HR. Abu Daud)
Menurut imam Maliki, niat qosor hanya diwajibkan pada shalat pertama di dalam satu rangkaian perjalanan, untuk selain shalat pertama tidak wajib diniati qosor, karena disamakan dengan niat puasa Ramadlan yang menurut prinsip Beliau, kewajiban niat puasa Ramadlan hanya pada malam pertamanya, tidak pada setiap malam.
Imam Maliki juga berpendapat bahwa hak dispensasi qosor tidak bisa dipengaruhi maksiat, artinya walaupun perjalanannya terdapat unsur maksiat tetap berhak mendapatkan dispensasi qosor, karena dzatiyah bepergian bukanlah maksiat, sedangkan maksiat merupakan unsur lain ('aridli).
Syarat Qosor Versi imam Syafi'i:
- Pergi ke tempat tujuan tertentu;
- Jarak tempat tujuan mencapai kira-kira 81 Km (2 marhalah)
- Qosor di lakukan setelah melewati batas wilayah tempat tinggalnya;
- Tidak ma’mum pada orang yang shalat sempurna (tidak qosor).
- Perginya bukan karena unsur maksiat;
- Niat qosor bersamaan dengan takbirotul ihrom pada setiap shalat;
- Masih bersetatus musafir sampai selelai shalat;
- Orang yang mengqosor harus mengetahui diperbolehkannya shalat qosor bagi musafir.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ( النساء : 101 )
Artinya: "Ketika kalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqosor shalat". (An Nisa : 101)
Dari redaksi di atas, terlintas suatu kejelasan maksud bahwa hukum mengqosor shalat adalah mubah (boleh) dengan menitik beratkan pentela'ahan pada kalimat yang berbunyi :
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
Artinya: "... maka tidak ada dosabagimu..."
Karena kata-kata "maka tidak ada dosabagimu" sama dengan ungkapan " kalau kamu ingin qosor silakan, dan kalau kamu ingin itmam silakan".
Musafir yang berdomisili di suatu tempat dan tidak niat mukim selama empat hari empat malam, tetap diperbolehkan qosor shalat selama empat hari empat malam, sedangkan bagi musafir yang berdomisili di suatu tempat dengan tanpa niat iqamah (menempat) selama empat hari dan tidak menentukan waktu melanjutkan perjalanan (besok atau besok lusa) dan dia masih terus berharap tercapainya tujuan perjalanannya, tetap diperbolehkan melakukan dispensasi qosor selama 18 hari 18 malam. Referensi yang Beliau jadikan adalah hadits-hadits yang berbunyi:
روى عمران بن حصبن قال شهدت الفتح مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لايصلّى الا ركعتين ثم يقول لأهل البلد صلّوا أربعا فأنا سفر ( رواه أبو داود )
Artinya: Dari Imron bin Husen: Saya ikut menghadiri "Fath al Makkah" bersama Nabi dan Beliau tidak pernah shalat kecuali dua roka'at, kemudian Beliau bersabda pada para penduduk: "Shalatlah kalian empat roka'at, sesungguhnya saya musafir". (HR. Abu Daud)
إن النبي صلى الله عليه وسلم أقامها بمكّة عام الفتح لحرب هوازن يقصر الصلاة ( رواة الترمذى ) روى أنه صلى الله عليه وسلم أقام سبعة عشر
Artinya: Sesungguhnya Nabi pernah mukim di Mekah ketika "Fath al Makkah" (di bukanya kota makah) untuk memerangi kaum Hawazin dan Beliau mengqosor shalat. Diriwayatkan Nabi mukim selama 17 hari (HR. Tirmidzi)
ان النبي صلى الله عليه وسلم أقام في بعض أسفاره تسع عشر يقصر الصلاة (رواه البخاري) وأقام بتابوك عشربن يوما يقصر( رواه أحمد )
Artinya: Nabi mukim selama 19 hari dalam bepergian-Nya, dan Beliau mengqosor shalat. (HR. Bukhori). Dan Nabi mukim 20 hari ketika perang tabuk dan Beliau mengqosor shalat. (HR. Ahmad)
Terdapat beberapa versi yang meriwayatkan perbedaan jumlah hari Nabi bermukim di Mekah ketika terjadinya perang Hawazin, yaitu 17 hari, 19 hari dan 20 hari, namun kesimpulan dari semua versi adalah 18 hari. Hal ini disebabkan karena versi yang meriwayatkan 20 hari belum menghitung 2 hari untuk masuk dan keluar Mekah, dan versi yang meriwayatkan 17 hari, Rowi (orang yang meriwayatkan hadits) baru mengetahui mukimnya Nabi setelah sehari, sedangkan versi yang meriwayatkan 19 hari, belum menghitung satu hari untuk masuk atau untuk keluar Mekah.
Menurut imam Syafi’i, bepergian maksiat merupakan penyebab tidak dibolehkan qosor shalat, karena Beliau berpedoman pada kaidah fiqh yang berbunyi :
الرخص لاتناط بالمعاصى
Artinya : "Ruhshah (dispensasi) tidak bisa diperoleh dengan adanya maksiat"
Karena qosor shalat termasuk Ruhshah (dispensasi), maka tidak diperbolehkan bagi orang yang bepergian maksiat.
Syarat Qosor Versi imam Hambali:
- Bepergian jauh, kira-kira 81 Km (2 marhalah);
- Perginya bukan karena unsur maksiat;
- Qosor di lakukan setelah melewati batas wilayah tempat tinggalnya;
- Niat qosor bersamaan dengan takbirotul ihrom pada setiap shalat;
- Shalat yang diqosor harus shalat adla’;
- Tidak ma’mum pada orang yang shalat sempurna (tidak qosor).