Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, sementara masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.
Berikut ini kita tampilkan hadis dan atsar dalam masalah ini:
جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللُّحَى خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ (أخرجه مسلم رقم 260 عن أبى هريرة)
“Cukurlah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian. Berbedalah dengan Majusi” (HR Muslim No 26o dari Abu Hurairah)
أَعْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى (أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)
“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ (رواه البخاري رقم 5892 ومسلم رقم 259)
“
Berbedalah kalian semua dengan Musyrikin. rawatlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian” (HR Bukhari No 5892 dan Muslim No 259 dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ (رواه البخاري رقم 5892)
“Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi (genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892)
al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:
وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه " (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)
“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)
Dalam riwayat berbeda dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ (ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)
Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata:
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك (عون المعبود ج 9 / ص 246)
“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)
Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.
Imam an-Nawawi berkata:
( وَفِّرُوا اللِّحَى ) فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ، وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن (شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)
“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)
Dengan demikian, dapat disimpulkan:
«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ (الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)
“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapat yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)
Sayidina Umar Berkumis
عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضَبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ. (رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح خلا عبد الله بن أحمد وهو ثقة مأمون إلا أن عامر بن عبد الله بن الزبير لم يدرك عمر اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 200)
“Diriwayatkan dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya dan meniup” (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih, selain Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah bin Zubair tidak menjumpai Umar)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَقَدْ رَوَى مَالِك عَنْ زَيْد بْن أَسْلَمَ " أَنَّ عُمَر كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبه " فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرهُ . وَحَكَى اِبْن دَقِيق الْعِيد عَنْ بَعْض الْحَنَفِيَّة أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْس بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِب فِي الْحَرْب إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ وَزَيَّفَهُ (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 479)
“Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan bahwa Umar memanjangkan kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti musuh” (Fath al-Baarii 16/479)
Membantah Dalil yang Diajukan Wahabi
1. Dalil Pertama yang mereka ajukan
Ibnu Hazm azh-Zhohiri -rohimahulloh-:
اتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا يجوز
Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’ 157)
Jawaban
Mencukur habis jenggot itu hukumnya dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh dan yang mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sendiri adalah makruh, bukan haram. Alasan bahwa menggundul jenggot itu makruh bukan karena tindakan mutslah, tetapi karena agar mukholafah / berbeda dengan kaum Majusi. Sedangkan alasan mutslah itu pendapat Ibnu Hazm sendiri. Dalam hadits-hadits shahih diterangkan, bahwa alasan melarang menggundul jenggot itu karena agar mukholafah dengan kaum Majusi. Karena itu, memberikan ‘illat mutslah dalam masalah ini sangatlah tidak tepat, karena sdh ada nash dari Syari’ dalam hadits-hadits shahih.
2. Dalil Kedua yang mereka ajukan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-:
يحرم حلق اللحية للأحاديث الصحيحة ولم يبحه أحد
Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih (tentang itu), dan tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Ushulul Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19).
Jawaban
Informasi dari Syaikh Ibnu Taimiyah masih perlu dikaji. Beliau pengikut madzhab Hanbali. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, masih memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan.
Dalam hal ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:
فَأَمَّا حَفُّ الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنِ الْحَفِّ فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.
“Adapun menghilangkan rambut dari wajah, maka Muhannad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang menghilangkan rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak ada-apa bagi kaum wanita dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 1 hal. 105).
Dari kutipan di atas, sepertinya Syaikh Ibnu Taimiyah lupa atau memang tidak tahu terhadap hukum menggundul jenggot menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Karenanya, ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang membolehkan atau tidak mengharamkan. Padahal Imam Ahmad sendiri dan Ibnu Qudamah memakruhkan.
3. Dalil Ketiga yang mereka ajukan
Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki -rohimahulloh-:
واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز
Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ 2/3953)
Jawaban
Pernyataan tersebut sepertinya mengutip dari Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’. Dan kesepakatan di sini masih kontroversi, mengingat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan makruh dalam riwayat di atas.
4. Dalil Keempat yang mereka ajukan
Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:
ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا
“Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)
Jawaban
Tidak ada pengikut madzhab Syafi’i yang berbuat apa pun kepada mayat seperti menggundul rambut kepalanya, apalagi jenggotnya. Bahkan pengikut madzhab Syafi’i sangat taat terhadap Imam Syafi’i yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan.
Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, dan tokoh kedua kaum Wahabi, berkata dalam al-Ruh:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga menyampaikan beberapa riwayat dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).
Dalam kutipan di atas jelas sekali, anjuran membaca al-Qur’an di kuburan dari kaum Salaf, Imam al-Syafi’i, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Tetapi kaum Wahabi justru membid’ahkan dan mensyirikkan.
5. Dalil Kelima yang mereka ajukan
Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :
والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة
“Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203).
Para ulama syafi'iyah telah memahami bahwa perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menggunduli janggut. Diantara para ulama tersebut adalah :
(1) Ibnu Rif'ah :
قال ابن رفعة: إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية
Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376).
Jawaban
Sebagian ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat yang mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.
6. Dalil Keenam yang mereka ajukan
Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan :
لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر
"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah).
Jawaban
Sepertinya mereka tidak membaca Kitab al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin secara langsung, tetapi hanya hasil copas dari karya atau tulisan orang lain. Karena tulisan di atas tidak mengutip pernyataan kitab al-I’lam secara utuh, yang akhirnya menyimpulkan makruh menurut madzhab al-Syafi’i. Selengkapnya Ibnul Mulaqqin berkata demikian:
وقال الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق سباله، لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق اللحية حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.
"Al-Halimi berkata dalam Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan". Apa yang disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus, meskipun yang diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”
Coba Anda perhatikan, ternyata Ibnul Mulaqqin, mengomentari pernyataan al-Halimi memberikan penjelasan, bahwa hukum menggundul jenggot menurut madzhab Syafi’i yang populer adalah makruh, bukan haram. Komentar tersebut ternyata tidak disampaikan oleh si Wahabi
7. Dalil Ketujuh yang mereka ajukan
Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H), beliau berkata :
وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال
"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)
Akan tetapi al-Gozali memberi keringanan jika jenggot yang panjangnya lebih dari satu genggam boleh untuk dipotong, dengan syarat tidak sampai mencukur gundul jenggot tersebut. Beliau rahimahullah berkata :
والأمر في هذا قريب إن لم ينته إلى تقصيص اللحية
"Perkaranya dalam masalah ini adalah mendekati, jika tidak sampai mencukur habis jenggot" (Ihyaa Uluumiddin 1/277).
Jawaban
Kalau kutipan di atas adalah murni kutipan dari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjatul Islam al-Ghazali, alangkah tercelanya mereka. Mengutip pernyataan Imam al-Ghazali hanya sepotong. Tapi kalau mereka mengutip dari gurunya, maka alangkah tercelanya sang guru yang tidak jujur tersebut. Karena kutipan sepotong di atas bersifat khusus, yaitu ketika mencukur jenggot karena bertujuan menyerupai murdi/amrad, dan hukumnya makruh bukan haram. Sedangkan al-Ghazali sendiri, sebelumnya telah menegaskan begini:
وَفِي اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً مِنْ بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ وَنَتْفُهَا وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا
“Mengenai jenggot terdapat sepuluh perkara yang makruh, sebagian lebih kuat kemakruhannya dari pada yang lain. Yaitu menyemirnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutnya, mencabut ubannya saja dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1 hal, 277).
8. Dalil Kedelapan yang mereka ajukan
Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :
وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ
"Dan diharamkan menggungul jenggot"
(Fathul Mu'iin Bi Syarh Qurrotil 'Ain Bi Muhimmaatid diin, hal 305, terbitan Daar Ibnu Hazm).
Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama madzhab Syafi'iyah memandang mencukur habis jenggot hanyalah makruh dan tidak haram. Akan tetapi meskipun makruh namun ia merupakan perkara yang dibenci dan hendaknya ditinggalkan.
Jawaban
Menggundul Jenggot menurut pendapat mu’tamad dan populer madzhab al-Syafi’i adalah makruh. Perkara makruh memang dibenci, tetapi masih lebih dibenci sikap sebagian Wahabi yang curang dalam mengutip pendapat ulama. Curang dalam mengutip pendapat ulama itu termasuk kebohongan yang jelas-jelas tidak terpuji dan termasuk dosa besar.
Sumber : Muhammad Makruf Khozin, Muhammad Idrus Ramli