Dalam Buku Agenda Muktamar IX Jam'iyah Ahli Al Thariqah Al Mu'tabaroh An-Nahdliyah disebutkan bahwa Thariqah ialah Ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan sifat-sifatnya, mana yang tercela kumudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan.
Sedang dalam kitab Jami'ul Llshul fil Auliya' karya Syaikh Ahmad Al Kamisykhonawi An-Naqsyabandi disebutkan: 'Ath-Thari'qah hiya As-sirah al-mukhtashshah bis-salikin ilallah min qoth'il-manazil wat-taraqqi fil-maqamat. " (Thariqah adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqom-maqom/tempat-tempat mulia).
Sedang dalam kitab Jami'ul Llshul fil Auliya' karya Syaikh Ahmad Al Kamisykhonawi An-Naqsyabandi disebutkan: 'Ath-Thari'qah hiya As-sirah al-mukhtashshah bis-salikin ilallah min qoth'il-manazil wat-taraqqi fil-maqamat. " (Thariqah adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqom-maqom/tempat-tempat mulia).
Menurut Rais 'Am Jam'iyah Ahlit-Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, Al-Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya, dalam suatu keterangannya di hari Ahad, 27 Rajab 1425 H atau 12 September 2004, menyatakan:
"Thariqah itu terbagi menjadi dua bagian; Thariqah Syari'ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syari'ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan fiqh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha' yang mu'tabar(diakui) keimaman mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang mereka semua adalah para Mujtahid Mutlak. Dan juga para fuqaha' dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar-Romli, Al-'Asqalani, As-Subki, Al-Haitami, Ar-Rofi'i dan sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsr'n danmufassirr'n, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, As-Suyuthi, Al-Mahalli, Al-Baidlowi, Ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para alim yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian serta keimaman mereka di Dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari'at, akhlaq, tafsir, hadits dan lain sebagainya."
Sedangkan Thariqah Wushul adalah natijah (hasil) dari Thariqah Syari'ah dan terbagi menjadi dua kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah SWT).
Yang pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al-Mushthafa Muhammad SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqah wushul. Dan seyogianya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta kaifiah atau tata caranya. Dan hendaknya berittiba' (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqoh (menganggap benar) dan menghindarkan su'udh-dhon (buruk sangka) dengan keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyah (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya (menganggapnya nyeleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqul 'adah (hal-hal yang keluar dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-perilaku yang mulia ?"
Adapun Thariqah Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijah (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan dirinya dengan syari'at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya. Dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan relung-relungnya, sehingga yang tampak dalam perilaku dan ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng-red) dari Syari'atul-Gharra' (Syari'ah yang cemerlang) untuk meraih Thoriqotul-Baidlo' (Thariqah yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqah disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allah dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mukmin -setelah mengetahui 'aqidatul 'awam (50 sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Para RasulNya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang disyari'atkan Allah SWT, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji- untuk rneningkatkan diri dan memasuki thariqah dzikir dengan cara khusus/tertentu.
Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran clan kelalaian. Pembersihan dari hal tersebut adalah wajib, maka memasuki thariqah, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekedar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi kalau benar masuk thariqah itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati itu akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagungan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kebersihan hatinya tergantung pada kadar kejujurannya. Tingkatan kejujurannya tergantung pada kadar keikhlasannya. Dan tingkatan keikhlasannya tergantung pada kadar keridloannya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya." Demikian keterangan Ra'is 'Am tentang thariqah.
Sekilas Kemunculan
Thariqah adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenamya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thariqah dari generasi ke generasi sampai kita sekarang ini.
Lihat saja misalnya hadits yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakrnuran, Sahabat Umar bin Khotthob RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanyalah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah griba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudlu'. Keharuan muncul di hati Umar, yang kemudian tanpa disadarinya air matanya berlinang. Maka kemudian Rasulullah SAW pun menegumya: "Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai Sahabatku?", Umar pun menjawab: Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah?, hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja clan sebuah griba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat, dan kemakmuran telah melimpah." Lalu beliau menjawab:"Wahai Umar, aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kaisar dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrowri."
Suatu hari Malaikat Jibril AS datang kepada Nabi SAW. Setelah menyampaikan salam dari Allah, dia bertanya:"Ya Muhammad, manakah yang Engkau sukai, menjadi nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi nabi yang papa seperti Ayyub AS ?" Beliau menjawab: "Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Di saat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah clan di saat lapar, aku bisa bersabar dengan ujian dari Nya."
Bahkan suatu hari Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya: "Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?" Di antara sahabat ada yang segera menjawab:"Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah!" Tetapi beliau segera menukas, "Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu dimakan anai-anai!" Para sahabat penasaran, lalu bertanya: "Mengapa bisa begitu, ya Rasulullah?" Lalu Nabi SAW pun menjawab: "Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut kepada duniawi (materi) dan takut menghadapi kematian." Di kesempatan lain, beliau juga menegaskan: "Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!."
Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughoyyabat (pemberitaan tentang sesuatu yang masih ghaib) yang mengandung indzar(peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Dan lebih hebat lagi di zaman Daulat Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhimya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, golongan Syi'ah dan golongan Zuhhad(orang-orang yang berperilaku zuhud).
Hanya saja ada perbedaan di antara mereka. Kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir memberontak untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaannya yang sangat luas, yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhirnya mengalami kehancuran. Pengalarnan dan nasib yang sama juga dialami oleh Pemerintahan Daulat Bani Abbasiyah. Meskipun saat itu umat muslim sangat banyak dan kekuasaan rnereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anak-anak, sebagaimana dinyatakan Nabi SAW diatas. Semua itu disebabkan oleh faktorhubbud-dunya (cinta dunia) dan karihiyatul-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriah/duniawi, sementara kehidupan bathiniyah/rohani mereka mengalami kegersangan. Inilah yang menjadi motivasi gerakan golongan Zuhhad.
Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan buku ini, karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Gerakan yang muncul di akhir abad pertama hijriyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk menggapai ridhlo Allah SWT, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan "Zuhhad" (orang-orang yang berperilaku zuhud), "Nussak'' (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau "Ubbad" (orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah).
Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu kehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah (laku-latihan prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir penghalang antara diri mereka dengan Allah) dan akhirnya musya-hadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai dengan "takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu "tahalli" yaitu menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji dan akhirnya "tajalli" yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah. Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masyarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan "Ilmu Tashawuf".
Sejak munculnya Tasawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan Golongan Zuhhad, muncullah istilah "Thariqah" yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada sesuatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi. Pada saat itu sebutan "Thariqah Shufiyah” (metode orang-orang shufi) menjadi pengimbang terhadap sebutan "Tharriqah Arbabil-aql wal-fikr" (metode orang-orang yang mengandalkan akal fikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Istilah "thariqah" terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengar kata "thariqah".
Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan di antara para tokoh shufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah dan ridhlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah yaitu Nafsu Ammarah, ke tingkat Nafsu Lawamah, terus ke tingkat Nafsu Muthmainnah, lalu ke tingkat Nafsu Mulhamah, kemudian ke tingkat Nafsu Radhliyah, selanjutnya ke tingkat Nafsu Mardhliyah dan akhirnya sampai pada Nafsu Kamaliyah. Ada pula yang menggunakan metode takhalli, lalu tahalli dan akhirnya tajalli: Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara Mulazamatudz-dzikr, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thariqah yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran-aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa'iyah, Syadzaliyah, Ahmadiyah, Dasuqiyah/Barahamiyah, Zainiyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah dan sebagainya.
Thariqah Jalan Menuju Husnul Khatimah
Arti Thariqah menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui "cara" melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thariqah adalah mencari kebenaran, maka cara melintasinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.
Sekitar abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah lahirlah kelompok-kelompok dengan metoda latihan berintikan ajaran "Dzikrullah". Sumber ajarannya tidak terlepas dari ajaran Rasulullah SAW. Kelompok-kelompok ini kemudian menamakan dirinya dengan nama "Thariqah", yang berpredikat/bernama sesuai dengan pembawa ajaran itu. Maka terdapatlah beberapa nama antara lain :
a. Thariqah Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).
b. Thariqah Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.
c. Thariqah Naqsabandiyah : pembawa ajarannya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.
d. Thariqah Rifa'iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa' i q.s.
dan masih banyak lagi nama-nama Thariqah yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :
Artinya :
"Jika mereka benar-benar istiqomah - (tetap pendirian/terus-menerus diatas Thariqah (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah-limpah.
(Q.S. Al-Jin : 16)
Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thariqah berpendapat dari jumlah Thariqah yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thariqah yang Mu'tabaroh (diakui) dan ada pula Thariqah Ghairu Mu'tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya).
Seseorang yang menganut/mengikuti Thariqah tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (Thariqah) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".
Maka cukup jelaslah bahwa Thariqah itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.
Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS Ar-Ra’d ayat 28)
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.
Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :
Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan Tuhan.
Kedua : Thariqah sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Kedudukan Guru Thariqah diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad). Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thariqah digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thariqah adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thariqah yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.
Jalan menuju wushul ilallah
a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur'an tentang Muraqabah/pendekatan diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain :
186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).
Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an S. Al-Ahzab (33) : 52.
52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.
Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.
16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
Demikian juga petunjuk dari Al-Qur'an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihatnya. Apabila engkau tak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.
(HR. Bukhari-Muslim).
Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.
Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.
Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : "Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).
Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
Memiliki rasa malu yang positif.
Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabulkan
Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur'an S. Yusuf (12) : 24.
24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.
b. Melalui Muhasabah
Muhasabah berarti orang selalu memikirkan, memperhatikan dan memperhitungkan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.
18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :
1. Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mahmudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
2. Orang yang bermuhasabah, pasti mempunyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.
3. Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, sebelum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.
4. Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.
c. Melalui Dzikir
Dzikir berarti ingat, mengingat, merenung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur'an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (mentauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi 'aliylil 'adziem) dan lain sebagainya.
Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa'i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/tersendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara' menurut ketentuan Thariqah yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.
Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.
Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma'sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur'an.
Petunjuk Al-Qur'an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :
Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)
41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(Q.S. Ali-Imran : 191).
205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.
(S. Al-A'rof (7) : 205).
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(S. Ar-Ra'du (13) : 28).
Hadis-hadis Nabi :
Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).
Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, kemudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).
Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).
Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)
Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi'i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).
Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia Thariqah, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian Thariqah itu sendiri sesuai petunjuk Mursyidnya.
Ulama Thariqah membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
a. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mulamula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
b. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.
Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati memberitahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
c. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasanya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya'rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.
Adapun juga ulama ahl-Tharigoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.
Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thariqah dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.
Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thariqah sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.
Syarat ber-Thariqah Syarat Ber-Thariqah
Muhyiddin Ibnul Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makkiyah menjelaskan tentang syarat_syarat orang yang memasuki Thariqah adalah sebagai berikut:
*
Qashdun Shakhihun; tujuan yang benar. Orang yang berthariqah itu harus bertujuan yang benar, yaitu bermaksud melakukan sifat ubudiyah; penghambaan diri kepada Allah yang Haq dan menunaikan haqqur rububiyyah. Bukan tujuan menghasilkan keramat atau pangkat, dan juga tidak mengharapkan pembagian-pembagian yang bersifat nafsu, seperti dipuji dan sebagainya.
*
Sidqun Shariihun; yaitu kesungguhan yang jelas. Artinya, murid harus membenarkan ataumempunyai kepercayaan bahwa sang guru itu mempunyai sirrul khususiah yang bisa menyampaikan sang murid kehadhirat ilahiyah.
*
Adabun Mardhiyyah; yaitu tatakrama yang diridhai, artinya orang yang masuk Thariqah itu harus melakukan tatakrama yang diridhai syara` seperti menghormati orang sederajat dan orang yang diatasnya, belas kasih kepada orang yang di bawah, serta insaf, adil, tegas terhadap diri sendiri dan tidak mementingkan diri sendiri.
*
Ahwaalun Zakiyyatun; tingkah laku yang bagus. Artinya, orang memasuki thariqah itu tingkah lakunya serta ucapannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
*
Hifdzul Hurmati; menjaga kehormatan, kemulyaan. Artinya, orang memasuki thariqah itu harus mengagungkan sang guru baik ketika hadir maupun ghaaib, ketika sang guru masih hidup atau sesudah wafatnya dan juga memulyakan ahlul Islam, berusaha membuat mereka tahan akan penderitaan, menyabarkan hati keras mereka, mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih orang yang di bawahnya.
*
Husnul Hidmat; pelayanan yang baik. Artinya, orang yang masuk thariqah itu harus membaikkan pelayanannya terhadap sang guru dan saudara se-Islam, dan juga membaikkan diri dalam berhidmat kepada Allah swt., melakukan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan teragung dalam thariqat
*
Rof`ul Himmah; meluhurkan kemauan. Artinya, orang yang masuk thariqat bukan karena mengharap dunia dan akherat, tetapi menginginkan marifat khususiyah pada Allah swt.
*
Nufuudzul Azimah; kelestarian maksud atau niat. Artinya, orang masuk thariqat itu haruslah melestarikan maksudnya dalam melakukan tariqat, sebab hal itu akan menghasilkan ma`rifat khassah akan Allah swt.
Adapun maksud melakukan Thariqah itu adalah melakukan tatakrama lahir dan bathin. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan: “Ada 4 hal yang menjadi tatakrama ahli Thariqah . Karena itu apabila seorang ahli Thariqah tidak memenuhi empat macam tatakrama ini, jangan dianggap sebagai ahli thariqat.
Adapun empat hal tersebut adalah :
1.Menjauhi orang-orang yang ahli aniaya
2 Memulyakan ahli akherat
3.Menolong orang yang dalam kemelaratan/kesulitan
4.Melakukan shalat 5 waktu berjama`ah
Sumber : Kitab : Ad-Durorul Muntatsirah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy`ari
"Thariqah itu terbagi menjadi dua bagian; Thariqah Syari'ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syari'ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan fiqh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha' yang mu'tabar(diakui) keimaman mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang mereka semua adalah para Mujtahid Mutlak. Dan juga para fuqaha' dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar-Romli, Al-'Asqalani, As-Subki, Al-Haitami, Ar-Rofi'i dan sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsr'n danmufassirr'n, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa'i, Abu Dawud, Ibnu Majah, As-Suyuthi, Al-Mahalli, Al-Baidlowi, Ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para alim yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian serta keimaman mereka di Dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari'at, akhlaq, tafsir, hadits dan lain sebagainya."
Sedangkan Thariqah Wushul adalah natijah (hasil) dari Thariqah Syari'ah dan terbagi menjadi dua kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah SWT).
Yang pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al-Mushthafa Muhammad SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqah wushul. Dan seyogianya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta kaifiah atau tata caranya. Dan hendaknya berittiba' (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqoh (menganggap benar) dan menghindarkan su'udh-dhon (buruk sangka) dengan keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyah (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya (menganggapnya nyeleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqul 'adah (hal-hal yang keluar dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-perilaku yang mulia ?"
Adapun Thariqah Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijah (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan dirinya dengan syari'at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya. Dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan relung-relungnya, sehingga yang tampak dalam perilaku dan ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng-red) dari Syari'atul-Gharra' (Syari'ah yang cemerlang) untuk meraih Thoriqotul-Baidlo' (Thariqah yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqah disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allah dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mukmin -setelah mengetahui 'aqidatul 'awam (50 sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan Para RasulNya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang disyari'atkan Allah SWT, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji- untuk rneningkatkan diri dan memasuki thariqah dzikir dengan cara khusus/tertentu.
Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran clan kelalaian. Pembersihan dari hal tersebut adalah wajib, maka memasuki thariqah, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekedar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Tetapi kalau benar masuk thariqah itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati itu akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagungan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kebersihan hatinya tergantung pada kadar kejujurannya. Tingkatan kejujurannya tergantung pada kadar keikhlasannya. Dan tingkatan keikhlasannya tergantung pada kadar keridloannya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya." Demikian keterangan Ra'is 'Am tentang thariqah.
Sekilas Kemunculan
Thariqah adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenamya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thariqah dari generasi ke generasi sampai kita sekarang ini.
Lihat saja misalnya hadits yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum muslimin telah memperoleh kemakrnuran, Sahabat Umar bin Khotthob RA berkunjung ke rumah Rasulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanyalah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah griba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudlu'. Keharuan muncul di hati Umar, yang kemudian tanpa disadarinya air matanya berlinang. Maka kemudian Rasulullah SAW pun menegumya: "Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai Sahabatku?", Umar pun menjawab: Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah?, hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja clan sebuah griba, padahal di tangan Tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat, dan kemakmuran telah melimpah." Lalu beliau menjawab:"Wahai Umar, aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kaisar dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrowri."
Suatu hari Malaikat Jibril AS datang kepada Nabi SAW. Setelah menyampaikan salam dari Allah, dia bertanya:"Ya Muhammad, manakah yang Engkau sukai, menjadi nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi nabi yang papa seperti Ayyub AS ?" Beliau menjawab: "Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari. Di saat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah clan di saat lapar, aku bisa bersabar dengan ujian dari Nya."
Bahkan suatu hari Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabatnya: "Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?" Di antara sahabat ada yang segera menjawab:"Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah!" Tetapi beliau segera menukas, "Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu dimakan anai-anai!" Para sahabat penasaran, lalu bertanya: "Mengapa bisa begitu, ya Rasulullah?" Lalu Nabi SAW pun menjawab: "Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut kepada duniawi (materi) dan takut menghadapi kematian." Di kesempatan lain, beliau juga menegaskan: "Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!."
Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughoyyabat (pemberitaan tentang sesuatu yang masih ghaib) yang mengandung indzar(peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Dan lebih hebat lagi di zaman Daulat Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhimya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, golongan Syi'ah dan golongan Zuhhad(orang-orang yang berperilaku zuhud).
Hanya saja ada perbedaan di antara mereka. Kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir memberontak untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaannya yang sangat luas, yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhirnya mengalami kehancuran. Pengalarnan dan nasib yang sama juga dialami oleh Pemerintahan Daulat Bani Abbasiyah. Meskipun saat itu umat muslim sangat banyak dan kekuasaan rnereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anak-anak, sebagaimana dinyatakan Nabi SAW diatas. Semua itu disebabkan oleh faktorhubbud-dunya (cinta dunia) dan karihiyatul-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriah/duniawi, sementara kehidupan bathiniyah/rohani mereka mengalami kegersangan. Inilah yang menjadi motivasi gerakan golongan Zuhhad.
Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan buku ini, karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla.
Gerakan yang muncul di akhir abad pertama hijriyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk menggapai ridhlo Allah SWT, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan "Zuhhad" (orang-orang yang berperilaku zuhud), "Nussak'' (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau "Ubbad" (orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah).
Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu kehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah (laku-latihan prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir penghalang antara diri mereka dengan Allah) dan akhirnya musya-hadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai dengan "takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu "tahalli" yaitu menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji dan akhirnya "tajalli" yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah. Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masyarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan "Ilmu Tashawuf".
Sejak munculnya Tasawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan Golongan Zuhhad, muncullah istilah "Thariqah" yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada sesuatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi. Pada saat itu sebutan "Thariqah Shufiyah” (metode orang-orang shufi) menjadi pengimbang terhadap sebutan "Tharriqah Arbabil-aql wal-fikr" (metode orang-orang yang mengandalkan akal fikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Istilah "thariqah" terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengar kata "thariqah".
Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan di antara para tokoh shufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah dan ridhlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah yaitu Nafsu Ammarah, ke tingkat Nafsu Lawamah, terus ke tingkat Nafsu Muthmainnah, lalu ke tingkat Nafsu Mulhamah, kemudian ke tingkat Nafsu Radhliyah, selanjutnya ke tingkat Nafsu Mardhliyah dan akhirnya sampai pada Nafsu Kamaliyah. Ada pula yang menggunakan metode takhalli, lalu tahalli dan akhirnya tajalli: Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara Mulazamatudz-dzikr, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thariqah yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran-aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa'iyah, Syadzaliyah, Ahmadiyah, Dasuqiyah/Barahamiyah, Zainiyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah dan sebagainya.
Thariqah Jalan Menuju Husnul Khatimah
Arti Thariqah menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui "cara" melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thariqah adalah mencari kebenaran, maka cara melintasinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.
Sekitar abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah lahirlah kelompok-kelompok dengan metoda latihan berintikan ajaran "Dzikrullah". Sumber ajarannya tidak terlepas dari ajaran Rasulullah SAW. Kelompok-kelompok ini kemudian menamakan dirinya dengan nama "Thariqah", yang berpredikat/bernama sesuai dengan pembawa ajaran itu. Maka terdapatlah beberapa nama antara lain :
a. Thariqah Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).
b. Thariqah Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.
c. Thariqah Naqsabandiyah : pembawa ajarannya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.
d. Thariqah Rifa'iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa' i q.s.
dan masih banyak lagi nama-nama Thariqah yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :
Artinya :
"Jika mereka benar-benar istiqomah - (tetap pendirian/terus-menerus diatas Thariqah (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah-limpah.
(Q.S. Al-Jin : 16)
Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thariqah berpendapat dari jumlah Thariqah yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thariqah yang Mu'tabaroh (diakui) dan ada pula Thariqah Ghairu Mu'tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya).
Seseorang yang menganut/mengikuti Thariqah tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Dalam menempuh jalan (Thariqah) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".
Maka cukup jelaslah bahwa Thariqah itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.
Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS Ar-Ra’d ayat 28)
Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.
Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :
Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan Tuhan.
Kedua : Thariqah sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Kedudukan Guru Thariqah diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad). Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thariqah digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thariqah adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thariqah yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.
Jalan menuju wushul ilallah
a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur'an tentang Muraqabah/pendekatan diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain :
186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).
Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an S. Al-Ahzab (33) : 52.
52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.
Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.
16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
Demikian juga petunjuk dari Al-Qur'an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihatnya. Apabila engkau tak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwasanya Allah melihatmu.
(HR. Bukhari-Muslim).
Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.
Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.
Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : "Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).
Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
Memiliki rasa malu yang positif.
Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabulkan
Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur'an S. Yusuf (12) : 24.
24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.
b. Melalui Muhasabah
Muhasabah berarti orang selalu memikirkan, memperhatikan dan memperhitungkan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.
18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :
1. Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mahmudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari-hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
2. Orang yang bermuhasabah, pasti mempunyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.
3. Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, sebelum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.
4. Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.
c. Melalui Dzikir
Dzikir berarti ingat, mengingat, merenung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur'an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (mentauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi 'aliylil 'adziem) dan lain sebagainya.
Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa'i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/tersendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara' menurut ketentuan Thariqah yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.
Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.
Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma'sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur'an.
Petunjuk Al-Qur'an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :
Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)
41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(Q.S. Ali-Imran : 191).
205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.
(S. Al-A'rof (7) : 205).
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(S. Ar-Ra'du (13) : 28).
Hadis-hadis Nabi :
Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).
Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, kemudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).
Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).
Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)
Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi'i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).
Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia Thariqah, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian Thariqah itu sendiri sesuai petunjuk Mursyidnya.
Ulama Thariqah membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
a. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mulamula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
b. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.
Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati memberitahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
c. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasanya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya'rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.
Adapun juga ulama ahl-Tharigoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.
Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thariqah dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.
Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thariqah sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.
Syarat ber-Thariqah Syarat Ber-Thariqah
Muhyiddin Ibnul Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makkiyah menjelaskan tentang syarat_syarat orang yang memasuki Thariqah adalah sebagai berikut:
*
Qashdun Shakhihun; tujuan yang benar. Orang yang berthariqah itu harus bertujuan yang benar, yaitu bermaksud melakukan sifat ubudiyah; penghambaan diri kepada Allah yang Haq dan menunaikan haqqur rububiyyah. Bukan tujuan menghasilkan keramat atau pangkat, dan juga tidak mengharapkan pembagian-pembagian yang bersifat nafsu, seperti dipuji dan sebagainya.
*
Sidqun Shariihun; yaitu kesungguhan yang jelas. Artinya, murid harus membenarkan ataumempunyai kepercayaan bahwa sang guru itu mempunyai sirrul khususiah yang bisa menyampaikan sang murid kehadhirat ilahiyah.
*
Adabun Mardhiyyah; yaitu tatakrama yang diridhai, artinya orang yang masuk Thariqah itu harus melakukan tatakrama yang diridhai syara` seperti menghormati orang sederajat dan orang yang diatasnya, belas kasih kepada orang yang di bawah, serta insaf, adil, tegas terhadap diri sendiri dan tidak mementingkan diri sendiri.
*
Ahwaalun Zakiyyatun; tingkah laku yang bagus. Artinya, orang memasuki thariqah itu tingkah lakunya serta ucapannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
*
Hifdzul Hurmati; menjaga kehormatan, kemulyaan. Artinya, orang memasuki thariqah itu harus mengagungkan sang guru baik ketika hadir maupun ghaaib, ketika sang guru masih hidup atau sesudah wafatnya dan juga memulyakan ahlul Islam, berusaha membuat mereka tahan akan penderitaan, menyabarkan hati keras mereka, mengagungkan orang yang di atasnya dan belas kasih orang yang di bawahnya.
*
Husnul Hidmat; pelayanan yang baik. Artinya, orang yang masuk thariqah itu harus membaikkan pelayanannya terhadap sang guru dan saudara se-Islam, dan juga membaikkan diri dalam berhidmat kepada Allah swt., melakukan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah tujuan teragung dalam thariqat
*
Rof`ul Himmah; meluhurkan kemauan. Artinya, orang yang masuk thariqat bukan karena mengharap dunia dan akherat, tetapi menginginkan marifat khususiyah pada Allah swt.
*
Nufuudzul Azimah; kelestarian maksud atau niat. Artinya, orang masuk thariqat itu haruslah melestarikan maksudnya dalam melakukan tariqat, sebab hal itu akan menghasilkan ma`rifat khassah akan Allah swt.
Adapun maksud melakukan Thariqah itu adalah melakukan tatakrama lahir dan bathin. Imam Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan: “Ada 4 hal yang menjadi tatakrama ahli Thariqah . Karena itu apabila seorang ahli Thariqah tidak memenuhi empat macam tatakrama ini, jangan dianggap sebagai ahli thariqat.
Adapun empat hal tersebut adalah :
1.Menjauhi orang-orang yang ahli aniaya
2 Memulyakan ahli akherat
3.Menolong orang yang dalam kemelaratan/kesulitan
4.Melakukan shalat 5 waktu berjama`ah
Sumber : Kitab : Ad-Durorul Muntatsirah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy`ari