Bab Pertama: pengenalan ilmu tashowuf
Pengertian Tashowuf
Al-Qodi syekh islam zakaria al-Anshori rohimahullah berkata: “Tashowuf adalah ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan kesucian diri, pemurnian akhlak dan memenuhi dzohir dan batin (untuk beribadah kepada-Nya) untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi[1]”.
Syekh Ahmad zarwaq rohimahullah berkata: “tashowuf adalah ilmu yang digunakan untuk membenahi hati, dan mengesakannya hanya kepada Allah taala dari yang lainnya, dan fiqih adalah ilmu yang digunakan untuk membenahi perbuatan, menjaga peraturan, dan menampakan hikmah dengan hukum-hukum, dan usul (ilmu tauhid) adalah ilmu yang digunakan untuk memperkuat permulaan-permulaan (keimanan) dengan dalil-dalil, adapun seperti ilmu kedokteran digunakan untuk kesehatan badan, dan adapun seperti ilmu nahwu digunakan untuk membenahi lisan dan lain sebagainya”[2].
Sayid thoifatain imam Junaid rohimahullah berkata: “tashowuf adalah: menggunakan semua akhlak nabi, dan meninggalkan semua akhlak yang rendah”[3].
Abul Hasan as-Syadzili rohimahullah berpendapat: tashowuf itu melatih diri untuk beribadah, dan membawanya kepada hukum-hukum ketuhanan”[4].
Pengertian Tashowuf
Al-Qodi syekh islam zakaria al-Anshori rohimahullah berkata: “Tashowuf adalah ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan kesucian diri, pemurnian akhlak dan memenuhi dzohir dan batin (untuk beribadah kepada-Nya) untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi[1]”.
Syekh Ahmad zarwaq rohimahullah berkata: “tashowuf adalah ilmu yang digunakan untuk membenahi hati, dan mengesakannya hanya kepada Allah taala dari yang lainnya, dan fiqih adalah ilmu yang digunakan untuk membenahi perbuatan, menjaga peraturan, dan menampakan hikmah dengan hukum-hukum, dan usul (ilmu tauhid) adalah ilmu yang digunakan untuk memperkuat permulaan-permulaan (keimanan) dengan dalil-dalil, adapun seperti ilmu kedokteran digunakan untuk kesehatan badan, dan adapun seperti ilmu nahwu digunakan untuk membenahi lisan dan lain sebagainya”[2].
Sayid thoifatain imam Junaid rohimahullah berkata: “tashowuf adalah: menggunakan semua akhlak nabi, dan meninggalkan semua akhlak yang rendah”[3].
Abul Hasan as-Syadzili rohimahullah berpendapat: tashowuf itu melatih diri untuk beribadah, dan membawanya kepada hukum-hukum ketuhanan”[4].
Mustaqnya (terpecahnya) kata tashowuf
Kata tashowuf itu mustaq dari shufah ( الصُوْفَة ) karena kemurnian bersama Allah seperti kemurnian yang terbuang, karena penyerahan dirinya hanya semata-mata untuk Allah.
Sebagian berpendapat: mustaq dari shifah ( الصِّفَة ), karena keseluruhannya membahas sifat-sifat kebaikan dan meninggalkan sifat-sifat tercela.
Sebagian berpendapat yaitu yang dipilih abul Fatah al-Basti: mustaq dari shofa ( الصفاء ).
Sebagian derpendapat: mustaq dari shuffah ( الصُفّة ) karena pelakunya mengikuti ahli shuffah.
Imam al-Qusairi berpendapat: mustaq dari shofwah ( الصّفْوة ).
Ada yang berpendapat: mustaq dari shof ( الصَّف ) seakan-akan mereka berada dibarisan pertama, karena kehadiran hati mereka bersama Allah SWT, dan mereka selalu paling awal dari semua ketaatan.
Ada yang berpendapat: mustaq dari tasowuf ( التَصَوُف ), penisbatan kepada pemakaian baju dari bulu domba yang tebal, karena ketika itu para sufi mengenakan pakaian yang rendah untuk hidup sengsara dan tidak bermewah-mewahan.
Dan pengingkaran sebagian orang dengan mengatakan bahwa kata atau istilah tashowuf itu belum ada pada zaman kenabian merupakan pengingkaran yang batil, karena sangat banyak istilah-istilah yang muncul setelah masa kenabian kemudian tidak diingkari seperti nahwu, mantiq, dan fiqih.
Dan kita tidak terlalu mempentingkan istilah-istilah diatas, dan yang terpenting ilmu tashowuf itu membahas tentang tazkiah nufus, pemurnian hati, pembenahan akhlak, dan penyampaian kepada martabat yang baik, kemudian kami beri nama ilmu tashowuf. Dan jika mereka ingin memberi nama dengan nama selain tashowuf, maka tidak masalah bagi kami, tetapi ulama umat dari turun temurun telah menamakannya ilmu tashowuf.
Perkembangan ilmu tashowuf
Dokter Ahmad alwasy berkata: banyak manusia bertanya-tanya: kenapa dakwah tashowuf tidak berkembang pada permulaan islam, dan tidak nampaknya dakwah ini pada masa sahabat dan tabiin. Untuk menjawab pertanyaan ini: bahwasannya dakwah tashowuf pada kala itu terasa belum dibutuhkan, karena ahli pada zaman itu tergolong ahli taqwa, wara’, para mujahadah, dan menerima perkara ibadah berdasarkan tabiat mereka dan dikarenakan pula hubungan mereka yang dekat dengan Rasulullah SAW. Mereka selalu berlomba-lomba untuk berpanutan kepada nabi disetiap perbuatannya. Maka dakwah tashowuf terasa belum dibutuhkan, sepertihalnya bahasa arab, mereka sehari-harinya selalu bercakap-cakap dengan bahasa arab yang fashih, bahkan sebagian mereka berbicara dengan gaya bahasa dengan penuh balaghoh yang tinggi, hal itu mereka dapatkan berdasarkan warisan dari bapak-bapaknya tanpa belajar ilmu nahwu, shorof, balghoh dll. Tetapi ilmu nahwu dan bahasa terasa dibutuhkan ketika rusaknya gaya bahasa arab yang murni dan lemahnya mengungkapkan atau orang-orang ajam ingin mempelajarinya, atau ilmu ini terasa penting dibukukan. Begitu juga ilmu-ilmu yang lain seperti tafsir, hadist, fiqih dan tashowuf, ketika terasa dan penting dibukukan, maka ulama-ulama yang ahli dibidangnya sibuk membukukan ilmu tersebut.
Begitu juga pada tiga masa ini, mereka tergolong paling sucinya umat islam dan paling baiknya masa, maka dari itu nabi SAW bersabda: “sebaik-baiknya masa adalah masaku ini, kemudian setelahnya, dan setelahnya”. H.R Bukhori
Ketika wilayah islam semakin luas, semakin banyak umat islam, semakin luas pula wilayah keilmuan, maka orang-orang yang memiliki keahlian mulai membagi-bagi untuk membukukan berbagai bidang study. Munculah pembukuan ilmu fiqih pada masa pertama, kemudian tauhid, hadist, usuluddin, tafsir, mantiq, mustholah hadis, ilmu usul, faroid dll.
Kemudian muncul setelah itu kelamahan rohaniah mereka sedikit demi sedikit, dan kebanyakan orang lalai untuk menyambut dalam beribadah kepada Allah, sehingga orang-orang yang selalu riyadoh dan penuh kejuhudan merasa terpanggil untuk membukukan ilmu tashowuf, dan menetapkan kemulyaan, keagungan ilmu tashowuf dibanding ilmu yang lain. Bahkan mereka menyempurnakan kelemahan-kelemahan itu sehingga terjadilah saling membantu dalam memperoleh kebaikan dan ketakwaan.
Sayid Muhammad Siddiq al-Ghimari berkata: “..ketahuilah bahwa Thoriqoh itu asasnya merupakan wahyu samawi, yang terkumpul didalam asas agama, yaitu tidak diragukaan lagi bahwa thoriqoh itu merupakan ihsan, salah satu arkan ad-din (tiang-tiang agama) yang tiga, yang nabi menjadikannya din (agama) setelah menjelaskan satu persatu, dengan sabdanya: “ini adalah jibril yang datang kepada kalian mengajari perkara agama kalian”. Islam merupakan ketaatan dan ibadah, dan iman merupakan cahaya dan aqidah, sedangkan ihsan merupakan maqom muroqobah (perhatian) dan musyahadah (persaksian): “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, walaupun engkau tidak meihat-Nya tetapi Dia melihatmu”.[5]
Ibnu kholdun berkata: “ilmu ini (pen: tashowuf) termasuk ilmu yang baru didalam islam, dan asalnya, bahwa thoriqoh (cara/jalan) mereka itu masih seperti orang salaf dan pembesar-pembesar sahabat dan tabiin, dan setelahnya merupakan thoriqoh yang hak dan berpetunjuk...dan ketika meluasnya kecintaan manusia pada dunia ketika abad ke 2h dan setelahnya, dan manusia dipermudah untuk bercampur dengan keduniaan, maka orang-orang yang cinta kepada ibadah mengkhususkan diri dengan nama sufiah.[6]
Abu Abdullah Muhammad al-ghimari berkata: “dan pendapat yang mendukung pendapatnya ibnu kkholdun mengenai munculnya nama tashowuf adalah, apa yang al-kindah (hidup pada abad ke 4h) sebutkan dikitabnya wulatumisri: “kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun ke 200h: bahwasannya telah muncul dikota al-iskandariah sekelompok orang yang mengatasnamakan sufiah yang mana mereka itu memerintahkan kepada kebaikan”. Begitu juga yang al-masudi sebutkan dikitabnya murujud ad-zahab: “mengkisahkan tentang yahya bin akstam, beliau berkata: bahwa orang-orang mukmin ketika itu sedang duduk-duduk, tiba-tiba ali bin sholeh al-hajib masuk dalam perkumpulan itu, kemudian berkata: wahai amir al-muminin, ada laki-laki yang berdiri didepan pintu mengenakan pakaian putih lagi tebal, memohon masuk untuk berdiskusi, dan aku mengetahui bahwa dia itu sebagian kelompok sufi...dan disebutkan dikitab kasyfu ad-zunun “bahwa orang pertama yang mengaku sebagai sufi adalah abu hasyim as-syufi yang wafat pada tahun 150h”.[7]
Haji kholifah berkata: “ketahuilah bahwa orang-orang muslim setelah wafatnya nabi SAW tidak memberi nama pembesar-pembesar mereka dengan nama khusus kecuali dengan sebutan sahabat Rosulullah SAW karena tidak ada yang lebih utama dari mereka...kemudian muncul kebid’ahan, sehingga muncul pengakuan-pengakuan setiap kelompok, setiap kelompok mengaku bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang zuhud, maka menyendirilah orang yang khusus pengikut sunah yang hanya menampakan diri mereka bersama Allah SWT, menjaga hati mereka dari jalan-jalan kelalaian, (mereka) dinamakan tashowuf.[8]
Dari sini telah jelas bagi kita bahwa tashowuf bukanlah perkara yang baru yang dibuat-buat, tetapi diambil dari perjalanan Rosulullah SAW dan kehidupan sahabat-sahabatnya yang mulia.
Pentingnya ilmu tashowuf (ilmu hati)
Sesungguhnya kewajiban-kewajiban syariat yang diperintahkan kepada manusia kembali kedalam dua bagian: hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan yang dzohir (berhubungan dengan badan dan tubuh manusia), dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan yang batin (berhubungan dengan hati).
Perbuatan-perbuatan badan/dzohir dibagi dua: perintah seperti: sholat, puasa, zakat dll, Dan larangan seperti: membunuh, zina dll. Sedangkan perbuatan-perbuatan hati/batin juga dibagi dua: perintah seperti: beriman kepada Allah, malaikat, jujur dll, dan larangan seperti: ujub, kufur, riya, dll. Dan bagian yang kedua ini lebih penting dari bagian yang pertama menurut syariat, walaupun kedua-duanya sama pentingnya, karena batin/hati itu asasnya dzohir/badan, dan perbuatan hati merupakan pemula untuk berbuat keperbuatan zohir, jika batinnya rusak maka perbuatan-perbuatan zohirnya pun rusak, karena itu Allah berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.[9] Karena itu pula dikala itu Rasulullah SAW selalu mengarahkan kepada para sahabatnya untuk memperbaiki hati-hati mereka, dan menjelaskan kepada mereka bahwa baiknya manusia itu tergantung dengan baiknya hati juga terhindar dari penyakit-penyakit yang tersembunyi, beliau bersabda: “tidaklah, sesungguhnya didalam jasad terdapat segumpalan darah, apabila segumpalan darah itu baik maka semua jasadnya pun baik, jika rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Tidaklah, itu adalah hati”.[10]sebagaimana Rasulullah mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya bahwa tempat yang Allah lihat daripada hambanya itu adalah hati: “sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh kalian, tidak pula rupa wajah kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian”.[11]
Imam sayuti berkata: “adapun ilmu hati dan mempelajari penyakit-penyakitnya seperti iri, ujub, riya, dan semisalnya, maka gozali berpendapat: bahwa mempelajarinya merupakan fardu aini”.[12]
membersihankan hati dan mendidik diri merupakan paling pentingnya kewajiban yang aini dan paling wajibnya perintah tuhan berdasarkan dalil-dalil qur’an, sunah dan pendapat ulama.
1. Dalil dari kitab, firman Allah SWT: “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”[13]dan firman-Nya: “dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi”[14]. Dan perbuatan-perbuatan keji yang tersembunyi sebagaimana ahli tafsir menafsirkannya itu adalah; iri, ria, dengki dan munafiq.
2. Dalil dari sunah, semua hadist yang melarang sifat iri, dengki dan ria, dan semua hadist yang menganjurkan untuk berakhlak baik dan bergaul dengan cara baik. Rasulullah bersabda: “keimanan itu sebagian dari 70 cabang, dan cabang yang paling tinggi adalah perkataan lailaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan penggangu pejalan dari jalanan, dan malu itu sebagian cabang keimanan”[15].
3. Pendapat-pendapat ulama:
Al-alamah ibnu abidin berkata: “sesungguhnya mengetahui keikhlasan, ria, iri merupakan fardu ain hukumnya”[16], ala udin berkata: “telah jelas dalam nash-nash syari’ dan ijma mengenai pengharaman sifat iri juga (diharamkan) mencela orang-orang muslim”[17], berkata pengarang kitab muroqi al-falah: “tidak ada manfaatnya suci secara dzohir kecuali bersamaan dengan suci secara batin, dengan ikhlas..”.
Bab kedua: manhaj bertashowuf
Persahabatan
Sesungguhnya persahabatan itu memiliki bekas yang dalam bagi seseorang baik berupa akhlaknya maupun suluknya, dan teman biasannya itu memperhatikan sifat temannya yang lain kemudian timbul rasa untuk berpanutan kepadanya dan membekaslah kerohaniannya kepadannya, dan manusia juga secara tabiat harus bergaul kepada sesama manusia, diantara mereka pasti terdapat teman dan kawan dekat, jika dia memilih teman yang tergolong rusak dan nakal maka akan menjadi rendahlah akhlaknya dan dia tidak merasakan hal itu sehingga sampai kederajat yang paling rendah dan ia terjatuh, tetapi jika ia berteman dengan golongan yang beriman, bertakwa, istiqomah, dan memiliki marifah kepada Allah, maka meningkatlah akhlaknya, dan dia berprilaku dengan akhlak yang tegak, keimanan yang mantap, sifat yang agung dan ia mengenal aib pada dirinya.
Dalil pentingnya bersahabat: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”[18]. Yang dimaksud orang-orang yang benar adalah: mereka ahli shofwah (suci) dari golongan muslimin yang Allah sifatkan pada firman-Nya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah”[19].
Dalil dari hadist: Rasulullah SAW ditanya: wahai Rasulullah tempat berkumpul mana yang paling baik?, beliau menjawab: “jika kalian melihatnya maka kalian akan mengingat Allah, dan bertambah semangat beribadah kalian, dan perbuatannya mengingatkanmu pada akhirat”.[20]
Ibnu hajar berkata: “selayaknya seorang yang mencari jalan Allah itu sebelum sampai kepada marifat ini, dia taati perintah ustadznya dari dua cabang syariaah dan hakikat, sesungguhnya dia adalah seorang thobib yang paling agung, dengan kemampuannya mengetahui dzauq dan hukum ketuhanan, maka dia akan memberi setiap badan dan diri yang terasa layak dalam mengobatinya, dan lebih baik dalam memberi makannya”.[21]
Abu mudayan berkata: “barang siapa yang tidak mengabil adab kepada orang-orang yang beradab, maka rusaklah orang yang mengikutinya”.[22]
Abu ali astaqofi berkata: “kalau seandainya seseorang memiliki semua ilmu, dan bersahabat dengan suatu kelompok, maka tidaklah ia mencapai drajat yang tinggi kecuali melakukan riyadhoh dengan bimbingan syekh yang beradab yang penuh nasehat.”[23]
Pewaris sunah Muhammad SAW
Terkadang penanya bertanya: bagai mana mencari petunjuk kepadanya?, bagai mana sampai kepada marifatnya, apa syarat-syarat dan sifat-sifatnya?.
Ketika seorang yang sakit yang benar-benar membutuhkan seorang thobib untuk menyembuhkan penyakitnya, maka baginya untuk jujur dengan azamnya, meluruskan niatnya, dan memohon kepada Allah SWT dengan hati yang rapuh, berdoa kepadanya ditengah malam, ketika sujud dan akhir sholatnya: “yaa Allah berilah aku petunjuk kepada seorang petunjuk yang memberi petunjuk kepada jalan-Mu, dan sampaikanlah kepada seorang yang menyampaikan jalan kepada jalan-Mu”.
Carilah dinegaranya, memeriksa dan bertanya mengenai seorang Musyid, carilah dengan teliti dan hati-hati, janganlah lalai, terkadang seseorang merasa kehilangan Mursyid dizaman sekarang.
Jika tidak mendapatkan Mursyid dinegaranya, maka carilah dinegara yang lain, bukankah seorang yang sakit jika tidak mendapatkan dokter dinegaranya, atau mendapatkan tetapi lemah untuk mengobati penyakitnya, maka dia akan pergi ke negara lain untuk mencari dokter yang ahli pada penyakitnya.
Untuk seorang Mursyid harus memiliki empat syarat:
1. Alim atau mengetahui kewajiban-kewajiban seperti sholat, puasa, hukum-hukum Muamalah, dan mengetahui aqidah ahlu sunah wal jamaah.
2. Arif atau mengetahui Allah SWT, dan seyogyanya seorang mursyid memenuhi secara pasti aqidah ahlu sunah wal jamaah dengan perbuatan dan perasaan setelah dia menguasai ilmu dan diroyahnya. Dan bersaksi bahwa Allah SWT esa dzat, sifat dan perbuatan-Nya.
3. Memiliki kemampuan dan skill dijalan thoriqohnya dalam mensucikan diri dan perantara-perantara dalam membina muridnya.
4. Mendapatkan izin dari syekhnya untuk memberi petunjuk, membimbing dan membina muridnya. Seperti izin dengan ijazah. Sebagaimana seorang dokter tidak diizankan mengobati pasiennya kecuali dengan ijazah, begitu juga seorang mursyid, ia tidak diizinkan membimbing muridnya kecuali setelah mendapatkan ijazah dari syekhnya, sebagaiman dokter yang bodoh yang bukan ahlinya tidak diizinkan mengobati pasiennya, maka seorang Mursyid yang tidak memiliki kemampuan dan skill dalam membina muridnya, tidak diperbolehkan irsyad kepada yang lainnya.
Ibnu Sirrin bersabda: “sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah kepada siapa kalian menimba agama kalian”.[24]
Rasulullah SAW bersabda: “wahai ibnu umar agamamu, agamamu, sesungguhnya agamamu itu daging dan darahmu, maka lihatlah kepada siapa engkau menimbanya, ambilah agama kepada orang-orang yang istiqomah,, dan janganlah mengambil kepada orang-orang yang melenceng”.[25]
Kemudian ketahuilah, bahwa seorang Mursyid itu terdapat ciri-ciri yang mungkin kita perhatikan: bahwasannya jika engkau duduk bersamanya, engkau akan merasakan sentuhan keimanan, mabuk kedalam kerohanian, ia tidak berbicara kecuali berbicara tentang Allah, ia tidak berkata kecuali berkata yang baik-baik dan sebuah nasehat, engkau mendapatkan faidah dari persahabatannya sebagaimana engkau mendapatkan faidah dari perkataannya, engkau bermanfaat ketika dekat bersamanya sebagaimana bermanfaat ketika jauh darinya, engkau berfaidah dengan pandangannya sebagaimana berfaidah dengan ucapannya. Dan engkau akan melihat teman-teman dan muridnya sebuah keimanan, ketakwaan, keikhlasan, ketawadu’an. Begitu juga engkau akan melihat murid-muridnya menyerupai tingkatan-tingkatan yang berbeda, sebagaimana kedaan para sahabat kala itu.
Mengambil perjanjian
Sebagaimana firman Allah SWT: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”[26]
Ketika bai’ah (perjanjian) dilakukan dengan cara ikhlas karena Allah semata, maka Allah memperingati kita untuk memenuhinya, Allah berfirman: “dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.[27]
Adapun dalil bai’ah dari hadist nabi SAW, beliau bersabda: “bai’atlah (ambilah perjanjian) aku untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak mendatangi kebohongan yang melemahkan antara kedua tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam kebaikan, maka barang siapa memenuhi janji ini diantara kalian, maka ganjarannya ada pada Allah, barang siapa melanggar salah satu diatas dan diberi hukuman didunia maka hukuman itu penghapus kesalahannya, dan barangsiapa melanggarnya kemudian Allah menyembunyikan kesalahan itu maka itu tanggung jawab Allah, jika Allah berkehendak Allah memaafkannya, atau menghukumnya, maka bai’atlah kami atas perkara tersebut”.[28]
Kesimpulan: bahwa sahabat R.A membai’at Rasulullah SAW dengan keadaan yang berbeda-beda, ada yang dibai’at tentang islam, perbuatan-perbuatan dalam islam, hijrah, kemenangan, jihad, kematian dll.
Kemudian para pewaris nabi dari para Mursyid syufiah mengambil manhaj kenabian dalam hal bai’ah disetiap zaman. Ustadz an-Nadawi berkata: “bahwa syekh abdul qodir jailani membuka pintu bai’ah dan taubat dikedua gerbangnya, masuk kedalamnya orang-orang muslim disetiap penjuru dunia, mereka memperbaharui perjanjian dan kepercayaan kepada Allah, dan berjanji untuk tidak musryik, tidak kufur, tidak berbuat kefasikan...kemudian membaiklah keadaan-keadaan mereka, keislaman mereka, dan syekh selalu menaungi dan mendidik mereka..”[29]
Perpindahan izin
Sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada hari ini, perpindahan izin, talqin dan perjanjian dari seorang Mursyid ke Mursyid berikutnya telah berjalan, sehingga sampailah kepada kita tali rantai itu, para sufiah menyebut perkara ini (izin, talqin dan perjanjian) dengan nama qobdhoh (genggaman), masing-masing saling bertemu, dan saling menggenggam tangan satu dengan yang lainnya, seakan-akan energi positif dan negatif saling bertemu, sehingga munculah aliran listrik dan menyambunglah sanad.
Dan mereka para Mursyid sufiah adalah yang sebagai mana nabi sabdakan: “ulama adalah pewaris para nabi”.[30]
Adab seorang murid
Adab seorang Murid dengan syekhnya/mursidnya ada dua macam: adab secara batin, seperti: menyerahkan dirinya untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang syekhnya, dan tidak menentang kepada thoriqoh yang syekhnya ajarkan, karena syekhnya memiliki kemampuan dan skill yang lebih dari pada muridnya, dan tidak berkeyakinan bahwa syekhnya terhindar dari dosa, karena walaupun mencapai drajat tinggi tetapi beliau tidak terjaga dari dosa, terkadang berbuat salah dengan tidak dirasakan, dan berkeyakinan mengenai kesempurnaan syekhnya dalam mendidik dan memiliki keahlian dalam memberi petunjuk kejalan Allah, dan mensifati syekhnya dengan kejujuran, keikhlasan bersahabat dengan syekhnya, mengagungkannya dan menjaga kehormatannya baik beliau ada atau tidak ada, dan mencintai syekhnya dengan penuh kecintaan tanpa mengurangi kecintaan pada syekh-syekh yang lain, dan tidak mencari syekh lain sehingga terjadi kecemburuan.
Sedangkan adab secara dzohir, seperti: menyetujui perintah dan larangan syekh, duduk dengan sakinah, tenang dan penuh wibawa ketika dimajlisnya, bersegera berkhidmat kepadanya sesuai kemampuannya, selalu hadir dimajlisnya, sabar terhadap bimbingannya dan tidak menukil perkataan syekhnya kepada orang-orang kecuali sebatas apa yang mereka pahami.
Mujahadah (sungguh-sungguh) diri dan bertazkiah (mensucikan diri)
Al-Asfahani berkata: Mujahadah atau jihad adalah menghabiskan seluruh daya dan upaya dalam menolak musuh, jihad ada tiga macam: berjihad melawan musuh yang nyata, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan nafsu, tiga macam ini masuk kedalam firman-Nya ta’ala: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”.[31]
Dalil mujahadah dalam qur’an: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.[32]
Dalil dari hadist: “mujahid adalah yang berjihad melawan nafsunya karena Allah”.[33]
Syekh abdul Ghoni an-Nablisi berkata: “mujahadah melawan nafsu merupakan suatu perbuatan ibadah, tidaklah seorang mendapatkannya kecuali dengan menggunakan ilmu, dan hukumnya fardu aini bagi setiap orang yang mukalaf.
Jalan pertama dalam bermujahadah adalah tidak adanya keridhaan terhadap nafsunya dan mempercayai bahwa nafsu itu memerintahkan kepada kejelekan, dan juga pengetahuannya bahwa nafsu itu paling besarnya permutus hubungan dengan Allah. Ketika bermujahadah dari segi zohir (seperti: menjaga mata, telinga, kedua tangan dan kaki, perut, lisan dan kemaluan dari kemaksiatan dan menggunakannya kepada ketaatan) selesai, maka berlanjut kemujahadah dari segi batin (seperti: mengganti sifat-sifat yang kurang seperti sombong, ria dan marah kepada sifat yang sempurna seperti rendah hati, ikhlash dan kasih sayang).
Abu ustman al-maghribi berkata: “barang siapa yang menyangka dia akan dibukakan hatinya ketika berthoriqoh atau akan diperlihatkan sesuatu yang ghoib dengan tanpa mengharuskan dirinya untuk bermujahadah, maka dia dalam kesalahan”.[34]
Imam juned berkata: “aku mendengar as-sirri as-saqoti berkata: wahai para pemuda bermujahadahlah sebelum berumur seperti umurku sehingga kalian akan lemah dan lalai sebagaimana aku lemah dan lalai (dalam beribadah), ketika itu beliau tidak menemukan para muda yang beribadah”.[35]
Jika dikatakan: bahwa golongan tashowuf mengharamkan apa yang Allah halalkan dari segala macam kenikmatan dan kesenangan, padahal Allah telah berfirman: “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?".[36]
Al-hakim at-tirmidzi menjawab (ringkasannya): “dalil yang mereka pakai ini merupakan suatu kebohongan, karena kita tidak mengharamkan apa yang Allah halalkan, tetapi kita mendidik nafsu, sehingga tau apa yang harus diperbuat, bukankah Allah berfirman: “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”[37], perbuatan keji kepada perkara halal merupakan perbuatan yang haram, membanggakan diri itu haram, ria itu haram, adapun melarang nafsu dari kesenangan dan kenikmatan itu karena hati condong kepadanya sehingga rusaklah hati. Ketika aku tau bahwa nafsu itu memakai semua kenikmatan dunia dengan tujuan berbangga-bangga dan ria, maka sekarang aku telah mencampur antara halal dan haram, sehingga hilanglah rasa syukur, sesungguhnya kita itu diberi rizki untuk bersyukur bukan untuk menjadi kufur, ketika aku melihat kejelekan nafsu, maka aku melarang nafsu untuk melakukan perkara itu, dan tuhanku memperlihatkan kepadaku bagaimana cara bermujahadah yang sesungguhnya, sehingga Dia memberikan petunjuknya kepadaku sebagaimana janji-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.[38]
Sebagian orang menyangka bahwa cara ibadah yang dilakukan dalam ajaran tashowuf itu sebagimana cara yang dibakai agama budha atau hindu dengan bercampur juga kepada ajaran-ajaran nasroni dengan cara mengadzab diri mereka untuk berpuasa, bermujahadah, meninggalkan kesenangan dunia dll, atau mereka seperti tiga orang yang datang kepada nabi, salah satu dari mereka ingin berpuasa seumur hidup, yang satu ingin sholat malam, yang satu ingin tidak menikah, kemudian nabi melarang mereka melakukan hal itu.
Maka jawabannya adalah: ajaran tashowuf itu bukanlah ajaran yang baru, tetapi suatu ajaran yang memperaktekan apa yang ada dalam agama Allah, dan prilaku Rosulullah SAW. Alasan orang yang mengatakan seperti itu, karena mereka mendapatkan bahwa dalam ajaran tashowuf itu ditemukan ajaran-ajaran seperti tazkiah nafs, membimbing diri, dan bermujahadah berdasarkan asas syariah, kemudian mereka mengkiaskan ajaran ini seperti ajaran orang-orang budha dengan qias yang buta tanpa membedakan terlebih dahulu. Dan jika seandainya dalam sejarah didapatkan seorang sufi melakukan ajaran seperti ajaran orang budha, maka dia tergolong orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang jauh dari ajaran tashowuf, maka dari itu seyogyanya dibedakan antara orang sufi dan ajaran tashowuf, tidaklah bisa dijadikan seorang sufi penggambaran ajaran tashowuf, sebagaimana seorang muslim penggambaran agama islam.
Dzikir
Dalil dari qur’an: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”.[39]
Dalil dari hadist: “perumpamaan seorang yang berzikir kepada Allah dengan seorang yang tidak berzikir kepada Allah seperti orang yang hidup dan yang mati”.[40]
Mujahid berkata: “tidaklah seorang tergolong mengingat Allah (ahli dzikir) kecuali jika dia berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring”.[41]
Jika dikatakan: berzikir yang dimaksud adalah mengetahui perkara yang halal dan yang haram. Maka jawabannya: bahwa lafaz dzikri itu lafaz yang musytarok (saling mengikuti) maknanya, antara pengetahuan, qur’an, sholat dan mengingat Allah, tetapi yang dipakai pada lafaz yang musytarok adalah yang paling sering dipakai menurut kebiasaan, dan lafaz musytarok juga dipakai kemakna yang jarang dipakai jika ada qorinah (pembantu) kepada makna tersebut. Sedangkan lafaz zikir kebanyakannya dipakai kedalam makna mengingat Allah.
Imam qusyairi berkata: “dzikir merupakan rukun yang kuat untuk mencapai kebenaran subhanahu wata’ala, bahkan dzikir itu tiangnya thoriqoh ini, tidaklah seseorang sampai kepada Allah ta’ala kecuali dengan selalu berzikir”.[42]
Zikir terbagi dua: zikir sir (pelan/rahasia) dalil: “sebaik-baiknya dzikir adalah zikir secara rahasia”, dan zikir jahar (keras) dalil: “jibril mendatangiku dan berkata: perintahkanlah sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suara dengan bertakbir”[43]. Imam sayuti mengumpulkan 25 hadist kesunahan berzikir dengan keras dirisalahnya natijah al-fikr fil jahr bizikr. Untuk mengumpulkan dua dalil yang saling bertentangan ibnu abidin berkata dihasyiahnya: sesungguhnya hal itu berbeda-beda sesuai tabiat dan keadaan, jika ditakutkan ria, menggangu orang yang sholat atau yang tidur, maka zikir pelan afdhol, tetapi jika tidak ada hal-hal itu maka zikir keras afdhol karena lebih banyak membutuhkan tenaga, juga manfaatnya tersebar kepada pendengarnya dan membangunkan hati pezikir sehingga berkumpulah kemauannya untuk bertafakur, pendengarannya hanya tertuju kepadanya, menolak tidur dan bertambah semangatnya”
Zikir secara berjamaah lebih utama dari pada zikir sendiri, karena dengan berjamaah hati mereka saling bertemu, saling membantu, saling menjawab, yang kuat membantu yang lemah, yang gelap dibantu oleh yang terang yang bodoh ditolong oleh yang alim. Dalil: “apabila kalian melewati taman-taman surga maka perhatikanlah”, sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan taman-taman surga? Nabi menjawab: “halaqoh (lingkaran/perkumpulan) berzikir”.[44]
Dalil kebolehan berzikir dengan nama Allah, “tidaklah terjadi hari qiamat sehingga tidak ada yang mengucapkan dimuka bumi ini kalimat: Allah, Allah”.[45]
Mencium tangan seorang ulama dan orang tua termasuk sebagian dari adab dan penghormatan dan hal itu dibolehkan, sedangkan mencium tangan raja atau pemimpin makruh hukumnya, dalil kebolehan mencium tangan”dari zari’ berkata: “kemudian kami bersegera pergi kemudian kami mencium tangan Rasulullah SAW dan kakinya”.[46]
Berdiri sebagai penghormatan kepada seorang ulama atau orang sholeh boleh hukumnya bahkan tergolong kedalam adab islam. Imam nawawi memiliki risalah khusus mengenai permasalahan ini yang berjudul risalah at-tarkhis bil qiyam liahli fadl Dalil: abu hurairoh berkata: “kami berbincang-bincang bersama Rasulullah, jika beliau berdiri, maka kami berdiri menghadapnya, sehingga kami melihat beliau telah masuk”.[47]
Sedangkan menggerakan kepala atau badan ketika berdzikir merupakan perkara yang bagus, karena membuat tubuh semangat untuk beribadah, dalil: anas R.A berkata: “ketika itu orang-orang habasyah bergoyang-goyang dihadapan Rasulullah SAW, dan berkata dengan bahasa mereka: Muhammad hamba yang sholeh, kemudian nabi bertanya: “apa yang mereka katakan”, dikatakan: “mereka berkata: “Muhammad hamba yang sholeh, ketika beliau melihat mereka melakukan perkara itu, beliau tidak mengingkarinya bahkan mengikrarkannya”.[48]
Bernasyid dan membaca syair dimasjid juga mubah hukumnya, dalil: sai’d bin musyayab berkata: “umar melewati masjid dan ketika itu hasan sedang bernasyid, kemudian umar melihatnya (dengan wajah yang ingkar), kemudian hasan berkata: dulu aku bernasyid, dan disisiku terdapat seorang yang lebih baik darimu (Rasulullah SAW), kemudian aku menghadap abu hurairoh, kemudian beliau berkata: aku mengizinkanmu bernasyid karena Allah, apakah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “jawablah keinginanku, ya Allah kokohkanlah dia (hasan) dengan ruh kudus”?, dia menjawab: iya”.[49]
Menggunakan tasbih untuk berdzikir boleh hukumnya. Ibnu al-jauzi berkata: “sesungguhnya menggunakan tasbih itu sunah hukumnya, berdasarkan hadist sofiah, bahwa beliau bertasbih menggunakan biji korma dan krikil”. Ibnu Allan mengarang risalah yang membahas tentang tasbih dengan judul iqod al-mashobih limasyruiyati itikhodz mashobih.
Wirid adalah kesibukan dari membaca atau yang lain, menurut ahli tashowuf dinamakan juga adzkar, yang mana seorang syekh/mursyid memerintahkan muridnya untuk membaca setiap pagi dan petang. Dan apabila dia lupa membaca wirid ketika malam harinya maka seyogyanya membaca ketika pagi harinya, sebagai mana dijelaskan imam nawawi dikitabnya al-adzkar.
Al-mudzakaroh
Al-mudzakaroh adalah: seorang murid mengabarkan Mursyidnya berupa pertanyaan tentang hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan aqidah yang shohih atau ibadah, atau terjadi suatu pada hatinya, atau dia melakukan sesuatu penyakit hati seperti sombong dan iri, dan seluruh perbuatan yang yang kurang bagus. Atau seorang Murid melakukakan penyelewengan dari thoriqohnya dan meminta hukuman kepada Mursyidnya, atau seorang murid mendapatkan perkara yang baik seperti bermimpi bertemu nabi SAW kemudian bertanya kepada Mursyidnya mengenai tafsir dari mimpinya, dll.
Seorang Murid bermudzakaroh dengan mursyidnya, bagaikan seorang yang sakit menyebutkan gejala-gejala penyakitnya kepada dokter sehingga dokter memberi jalan keluar berupa obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
Dalil dari qur’an: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”,[50] “maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia”[51].
Dalil dari sunah: “orang yang diberi isyarat itu orang yang dipercaya”[52].
Jika ada yang berkata: mudzakaroh itu seperti menampakan kemaksiatan, karena seorang murid menceritakan kesalahan-kesalahannya kepada mursyidnya. Maka jawabannya: al-manawi berkata: “menceritakan kesalahan itu tercela jika dengan tujuan mujaharoh (merasa bangga dengan menampakan kesalahannya), dan hinaan, tetapi tidak tercela jika bertujuan untuk bertanya atau memita fatwa, dengan dalil seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya pada bulan Ramadhon, kemudian dia datang dan menceritakan kepada nabi SAW dan beliau tidak mengingkarinya”.[53] Begitu juga seorang murid yang datang kepada Mursyidnya, mereka menyebutkan kejadian-kejadian yang telah ia lakukan kepada mursyidnya supaya mursyidnya memberi jawaban dan jalan keluar dari masalahnya.
Kholwah (menyendiri)
Syekh ahmad Zarwaq berkata: “kholwah itu lebih khusus dari uzlah, yaitu dilihat dari segi dan penggambarannya itu seperti prilaku i’tikaf, tetapi dilakukan bukan didalam masjid, kemungkinan dahulu dilakukan dimasjid...sunah mengisyaratkan umur 40 tahun berdasarkan mauidah (perjanjian) nabi musa A.S...paling sedikitnya 10 hari karena nabi SAW beri’tikaf 10 hari...maksud berkholwah adalah membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang becampur, dan mengesakan hati hanya untuk berdzikir kepada Allah. ”[54]
Imam Ghozali berkata: “bahwa seorang syekh mengharuskan muridnya untuk mengambil pojokan agar (muridnya) menyendiri (dalam beribadah)..”
Dalil kholwah dari Qur’an: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan”. Abu saud menafsirkannya: “dan terus meneruslah untuk berdzikir kepada Allah SWT pada malam dan siang hari, dari segi apa pun..”[55]
Dalil dari hadist: aisyah berkata: “awal mulanya wahyu adalah bermimpi yang baik, beliau tidak bermimpi kecuali datang seperti terbitnya subuh, kemudian beliau senang berkholwah, ketika itu beliau menyendiri di goa hiro..”[56].
Jika dikatakan: perkara goa ini terjadi sebelum beliau diutus menjadi Rasul, hukum itu tidak berlaku kecuali setelah kerasulan?, maka Muhaddist al-Qostolani menjawab: “bahwa awal wahyu yang datang kepada nabi adalah mimpi yang baik, kemudian beliau senang berkholwah...ini menunjukan bahwa kholwah itu hukum yang tersusun setelah wahyu, karena kalimat kemudian menunjukan susunan, begitu juga kalau seandainya kholwah itu bukan ajaran agama, maka akan dilarang pelaksanaannya, tetapi kholwah itu perantara untuk mendatangkan yang hak..”[57]
Imam syafii berkata: “barang siapa yang ingin Allah bukakan hatinya, dan merizkikannya ilmu, maka berkholwahlah dan sedikitkanlah makan..”[58].
Kholwah dibagi dua: kholwah secara umum yaitu: menyendiri dari orang-orang mumin untuk mengkosongkan hatinya hanya untuk berdzikir kepada Allah, atau membaca qur’an, muhasabah diri, dll. Kedua kholwah secara khusus yaitu: dengan maksud mencapai martabat ihsan, hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan bimbingan seorang Mursyid, yang mengajarkan muridnya untuk berzikir dengan lafaz tertentu, dll.
Bab ketiga: thoriqoh (jalan) mencapai Allah
Taubah
Dalil qur’an: “mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya”.[59]
Dalil dari hadist: “wahai manusia bertobatlah kepada Allah dan meminta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya diriku bertobat setap hari 100 kali”.[60]
Syarat taubat ada tiga: melepas kemaksiatan, menyesal, dan berazam untuk tidak mengulanginya. jika maksiat yang berhubungan dengan makhluk maka ditambah syarat yang keempat, yaitu: melunasi hak-hak pemiliknya, apabila berupa harta maka mengembalikan hartanya, apabila berupa tuduhan atau ghibah maka meminta maaf kepadanya.
Muhasyabah
barang siapa bermuhasyabah (memperhitungkan) dirinya, maka dia tidak akan berjalan kepada kebatilan, karena dia menyibukan dirinya dengan ketaatan, dan dia mencela dirinya jika lalai untuk taat kepada Allah taala. Sayid ahmad ar-rifai berkata: “karena ketakutan (kepada Allah) akan timbul muhasyabah, dengan muhasyabah akan timbul rasa muroqobah (diperhatikan), dengan muroqobah maka dia akan terus menyibukan dirinya kepada Allah ta’ala”.[61]
Khouf (rasa takut)
Dalil qur’an: “tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”[62].
Abu sulaiman ad-daroni berkata: “tidaklah rasa takut berpisah dari hati kecuali ia akan rusak”[63], imam gozali berkata: “ketahuilah bahwa hakikatnya rasa takut adalah pedih dan terbakarnya hati disebabkan terjadinya hal-hal yang makruh dikemudian hari, terkadang hal itu terjadi karena dosanya yang mengalir, dan terkadang rasa takut kepada Allah terjadi karena mengetahui sifatnya Allah SWT yang wajib timbul rasa ketakutan dengan tanpa alasan, sebab kedua ini lebih sempurna dan lengkap, karena barang siapa yang mengetahui Allah maka akan timbul rasa takut dengan sendirinya, maka dari itu Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”[64].
Roja’ (harapan)
Dalil qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[65]
Ibnu ajibah berkata: “harapan yang umum adalah: memperbaiki perbuatan supaya mendapatkan pahala, harapan yang khusus adalah: mendapatkan surga dan kedekatan kepada tuhan, harapan khusus dari yang ksusus adalah: tenang dari persaksian dan bertambahnya drajat pada rahasia-rahasia raja yang disembah”.[66]
Jujur
Dalil qur’an: “Tetapi jikalau mereka benar/jujur (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka”[67].
dalil hadist: “tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran itu merupakan ketenangan, dan kebohongan itu merupakan keraguan”[68].
Imam gozali berkata: “ketahuilah bahwa lafaz kejujuran itu digunakan keenam makna: jujur dalam perkataan, jujur dalam niat, jujur dalam kemauan, jujur dalam berazam, jujur dalam melaksanakan azamnya, jujur dalam perbuatan, jujur dalam memenuhi semua perkara agama, barang siapa memiliki semua sifat jujur tersebut maka dia adalah seorang yang jujur”.[69]
Ikhlas
Dalil qur’an: “Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.[70]
Dalil hadist: “sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, maka beramalah hanya kepada-Nya”.[71]
Abul Qosim al-Qusyairi berkata: “ikhlash adalah mengesakan Allah SWT dalam ketaatan dengan berniat, yaitu ia hanya mau dengan ketaatan ini ia mendapat kedekatan disisi Allah tanpa perkara yang lain”[72].
Ibnu ajibah berkata: “ikhlas terbagi tiga: ikhlas umumnya orang yaitu: melakukan sesuatu hanya karena Allah dengan harapan mendapatkan anugerah di dunia dan di akherat, ikhlasnya orang khusus yaitu: dengan harapan mendapatkan anugerah di akherat, ikhlasnya orang khusus diantara yang khusus yaitu: beribadah hanya kepada Allah, dan ibadahnya kepada-Nya merupakan hak seorang hamba”[73]
Sabar
Dalil qur’an: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”.[74]
Dalil hadist: “tidaklah seorang diberi suatu pemberian lebih baik dan luas dari kesabaran”[75].
Sabar dibagi tiga: sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menahan diri untuk berbuat maksiat, dan sabar karena tertimpa musibah.
Wara’
Sayid al-Jaejani berkata: “Wara’ adalah menghindar dari perkara-perkara syubhat (belum jelas halal haramnya) karena ditakutkan melakukan perkara yang diharamkan”.[76]
Dalil hadist: “keutamaan orang ilmu lebih baik dari pada keutamaan ibadah, dan sebaik-baiknya agama kalian adalah yang bersikap wara’”.[77]
Zuhud
Ibnu al-jala berkata: “zuhud adalah melihat keindahan dunia dengan penglihatan yang rusak (bumi itu akan hancur), agar engkau memandang dunia itu rendah, sehingga memudahkanmu berpaling darinya”[78]. Bukan berarti jika seorang berzuhud dia meninggalkan pekerjaan/mencari uang, dan meninggalkan pencarian nafkah yang halal sehingga keluarganya terbengkalai. Rasulullah telah menjelaskan kepada kita maksud zuhud yng hakiki, beliau bersabda: “berzuhud didunia itu bukan dengan cara mengharamkan yang halal, bukan pula dengan membuang-buang harta, tetapi zuhud yang benar itu yang mana apa yang ada ditangan Allah itu lebih kokoh dari pada apa yang ada ditanganmu, dan menjadikan pahala musibah jika tertimpa musibah lebih engkau cintai, walau disisakan untukmu”[79].
Dalil qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”[80]
Dalil hadist: sahal bin sa’ad as-saidi berkata: datang seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan bertanya: wahai Rasulullah tunjukan kepadaku suatu perbuatan yang membuat Allah dan manusia cinta kepadaku, nabi bersabda: “berzuhudlah didunia maka Allah akan mencintaimu, dan berzuhudlah dengan apa yang ada ditangan manusia maka manusia akan mencintaimu”[81].
Ridho (rela)
Ibnu atho al-iskandari berkata: “ridho adalah: pandangan hati kepada yang qodim (lampau) pilihannya Allah SWT terhadap hambanya, dengan tanpa mengelak”.[82]
Dalil hadist: “termasuk dari kebahagiannya manusia adalah ridho dengan sesuatu yang Allah tetapkan..”[83].
Jika dikatakan: sesungguhnya perbuatan ridho itu menjadikan seorang mukmin menerima perbuatan orang-orang fasiq. Jawabnya: ini merupakan faham yang salah, apakah masuk akal seorang mukmin meruntuhkan hukum dari hukum-hukum Allah, yaitu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, padahal dia tau bahwa Allah itu tidak ridha kepada hambanya yang tidak menegakkan peraturan-Nya.
Jika dikatakan: penyebab ridho adalah seorang hamba meninggalkan doa kepada-Nya, dan melalaikan perantara menuju kebaikan dan mencegah keburukan. Jawabnya: termasuk perbuatan ridho adalah seorang mukmin melakukan perbuatan yang sampai kepada ridho yang dicintainya, dan meninggalkan segala perkara yang bertentangan dari-Nya. Dan salah satu perantara untuk mendapatkan ridho-Nya adalah menjawab perintahnya berdasarkan firmannya: “berdoalah kepadaku niscaya aku kabulkan”[84], kemudian meninggalkan penyebab-penyebab kebaikan merupakan perkara yang bertentangan dari peraturan-Nya, Allah berfirman: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”[85].
Tawakal
As-sayid berkata: “tawakal adalah kokoh dengan apa yang ada disisi Allah, dan cemas dengan apa yang ada ditangan manusia”.[86]
Dalil Qur’an: “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal”.[87]
Daalil Hadist: “datang seorang laki-laki membawa ontanya, kemudian dia bertanya: wahai Rasulullah SAW apakah aku biarkan ontaku kemudian aku bertawakal?, nabi menjawab: “ikatlah ontamu kemudian bertawakallah”.[88]
Imam al-Qusyairi berkata: “tawakal itu tempatnya dihati, dan menampakan daya upaya itu tidak meniadakan tawakal dalam hati, setelah hamba itu yakin bahwa taqdir itu disisi Allah, dan jika dia memperoleh kesulitan maka itu adalah dari taqdir-Nya, jika amalnya sesuai dengan kemauannya maka itu karena dari kemudahan-Nya”.[89]
Syukur
Ibnu ajibah berkata syukur adalah: “gembiranya hati karena memperoleh kenikmatan, dengan menggunakan seluruh anggota badan untuk taat kepada-Nya, dan memperlihatkan kenikmatan pemberi nikmat dengan cara rendah hati’.[90]
Dalil Qur’an: “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.[91]
Dalil Hadist: “tidaklah seseorang bersyukur kepada Allah selama ia tidak bersyukur kepada manusia”.[92]
Syukur ada tiga: syukur lisan, yaitu menceritakan nikmat tersebut, Allah berfirman: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”[93], kedua syukur arkan, yaitu beramal karena Allah, Allah berfirman: “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah).”[94], ketiga syukur hati, yaitu bersaksi bahwa semua nikmat yang diberikan kepadamu dan kepada salah satu hamba itu dari Allah, Allah berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”[95]
Bab keempat: buah hasil dari ilmu tashowuf
Cinta ilahi (Allah)
Dalil Qur’an: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.[96]"
Dalil Hadist: “cintailah Allah karena memberikan nikmatnya kepada kalian, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah”[97].
Penyebab cinta kepada Allah ada sepuluh: membaca qur’an dengan tadabur dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan perkara-perkara yang disunahkan, selalu berdzikir kepada-Nya, melebihi kecintaan kepada-Nya dari pada cinta mu kepada dirimu sendiri, perhatian hatimu kepada nama dan sifat-Nya, bersaksi dengan kebaikan dan nikmat-nya baik yang nampak maupun yang tersembunyi, lemahnya hati jika berada dihadapan-Nya dengan penuh kerendahan dan kehinaan, kholwah, berkumpul dengan orang-orang sholeh, menjauhi perkara-perkara yang menyebabkan jauh dari Allah.
Ciri-ciri kecintaan kepada-Nya adalah: rindu ingin bertemu kepada-Nya, membekasnya apa yang Allah cintai kepada dirinya, selalu memperbanyak berdzikir kepada-Nya, selalu berkholwah dan membaca kitab suci-Nya, selalu menikmati ketaatan, kasih sayang kepada semua hamba Allah, cintanya merupakan rasa takut dengan penuh rasa kewibawaan
Salah seorang sufi melewati seseorang yang menangis didekat pemakaman, kemudian sufi itu bertanya: apa yang membuatmu menangis?, dia menjawab, kekasihku telah mati, sufi itu berkata: engkau telah menzolimi dirimu sendiri, mencintai seseorang yang mati, kalau seandainya engkau mencintai kekasih yang tidak akan pernah mati, maka engkau tidak merasa sedih dengan kepergiannya”
Kasyaf
Sayid berkata: firasat dari segi bahasa bermakna: tetap dan pandangan, sedangkan menurut istilah ahli hakikat: mukasyaf (terbuka) dengan rasa yakin, dan melihat dengan mata telanjang hal yang ghaib”[98].
Kasyaf adalah cahaya yang didapatkan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, yang mana Allah membukakan kepada mereka penutup paca indranya, dan menghilangkan penghalang-penghalang itu dari sisi mereka, ini merupakan hasil bagi mereka dalam bermujahadah, kholwah dan dzikir.
Dalil hadist: “berhati-hatilah dengan firasat orang-orang mukmin (yang sholeh) sesungguhnya mereka melihat dengan cahaya Allah”[99].
Kasyaf yang terjadi pada diri nabi adalah, Rasulullah SAW bersabda: “luruskanlah barisan kalian dan memepetlah kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggung ku”.[100]
Kasyaf yang dikisahkan dalam Qur’an, Allah berfirman: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin”[101].
Kasyaf yang terjadi pada nabi khidir, bahwa kapal yang ditumpanginya akan diambil secara paksa oleh raja yang zolim, kemudian dia membolonginya supaya tidak diambil. Allah berfirman: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”[102].
kasyaf terjadi pada sayduna Umar bin Khotob: taj ad-din as-subuki berkata: “ketika itu umar mengutus pasukan ibnu zanim al-kholji atas tentara muslimin, dan mereka diperintahkan untuk bersiap-siap kenegeri faris, kemudian mereka berada dalam keadaan genting ketika sampai pintu nahawanda, dan pintu itu mengepung mereka, dan musuh-musah mulai membanyak, orang-orang muslim hampir saja kalah, dan ketika itu umar bin khotob berada dimadinah, kemudian beliau naik kemimbar untuk berkhotbah, dan beliau berteriak ditengah-tengah khutbahnya: wahai pasukan! Berlindunglah diatas gunung, barang siapa yang srigalanya memelihara kambing, maka dia melakukan kezoloman”, kemudian Allah memperdengarkan perkataannya kepada seluruh pasukan, dan mereka berada di pintu nahawanda mendengar suara umar, kemudian mereka berlindung diatas gunung, mereka berkata: ini merupakan suara amir al-muminin, kemudian mereka selamat dan memperoleh kemenangan”.
Diriwayatkan dari hasan: “jika sesorang mengetahui kebohongan jika bekata, Maka umarlah orang yang mengetahuinya’[103]
Kasyaf dari seorang wali. Imam syafii dan muhammad bin hasan berkata: “ bahwa mereka berdua berada dihalaman ka’bah, dan datanglah seorang laki-laki berada didepan pintu masjid, salah satu dari mereka berkata: “aku melihat dia adalah seorang tukang kayu, yang satu berkata: bahkan dia seorang tukang besi, kemudian mereka menemui laki-laki itu dan bertanya pekerjaannya, maka dia menjawab: “dulu aku seorang tukang batu dan sekarang profesiku menjadi tukang besi”.[104]
Rasulullah bersabda: “setiap mukmin memiliki firasat, tetapi firasat itu yang mengetahui hanya orang-orang mulia”.
Terkadang kasyaf didapatkan dari keadaan-keadaan orang yang sudah dimakamkan, apakah dia diberi kenikmatan atau diadzab. Abdul Rouf al-minawi berkata ketika mensyarah hadist Rosulullah SAW: “kalau seandainya kalian tidak menguburkan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Dia memperdengarkan kalian bagaimana adzab kubur itu”, ..hadist ini bermakna bahwa kasyaf itu berdasarkan kemampuan masing-masing, barang siapa yang dikasyaf kepada sesuatu yang ia tidak mampu, maka dia akan celaka”.[105]
Ilham
Ilham adalah: pengetahuan yang datang dari hati, yaitu mengajak kepada perbuatan dengan tanpa dalil dari ayat dan dengan tanpa melihat alasan.
Ilham terkadang datangnya dari Allah secara langsung, Allah berfirman: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu[106]”. Bahwa Allah SWT berbicara kepadanya dengan cara ilham dan wahyu, tanpa perantara siapapun. Imam fakhru rozi berkata: “bahwa hal itu terjadi dengan cara peniupan didalam diri dan ilham yang dipertemukan didalam hati, sebagai mana terjadi pada umi Musa A.S pada firman-Nya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa”[107].
Ilham juga terkadang datang dari perantara malaikat. Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).[108]” Fakhru rozi menafsirkan: “ketahuilah bahwa maryam A.S bukanlah dari golongan para nabi, dengan dalil firman-Nya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri”,[109] apabila seperti itu, maka pengutusan jibril kepadanya adalah merupakan suatu karomah baginya, dan hal ini pun bukanlah dikususkan baginya, bahkan banyak sekali orang-orang sholeh yang bercakap-cakap dengan malaikat.
Imam sayuti telah mengarang kitab yang berjudul tanwir al-halak fiimkani ruyati an-nabi wa malak, kitab ini berisikan tentang kemungkinan seseorang melihat nabi dan malaikat.
Karomah dari seorang wali Allah
Dalil dari qur’an: kisah ashab al-kahfi yang tertidur selama 309 tahun dan bangun dalam keadaan sehat, Allah SWT menjaganya dari terik matahari,” Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri” sampai ayat “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua” sampai firman-Nya “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” Imam fakhru rozi berkata: “ashabuna sufiah berdalil dengan ayat ini tentang kebenaran adanya karomah, ini merupakan dalil yang nyata, maka kami berpendapat: yang membuktikan tentang bolehnya terjadi karomah bagi seorang wali adalah al-qur’an, akhbar, astar dan ma’qul. [110]
Kisah maryam, bahwa setiap nabi zakari A.S masuk kekamarnya mendapatkan disisinya rizki, ketika itu tidak ada seorang pun yang masuk kekamarnya kecuali nabi zakaria, Allah berfirman: “Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah[111]”.
Dalil dari sunah: kisah juraij seorang ahli ibadah yang menyebabkan bayi bicara[112], kisah seorang bayi yang berbicara dan memerintahkan ibunya untuk bersabar[113], kisah tiga orang yang memasuki goa, kemudian batu besar itu terbuka setelah menutupi pintu goa.[114]
Dalil dari atsar sahabat: kisah abu bakar R.A bersama tamu-tamunya dengan bertambahnya makanan, bahkan setelah selesai makan, makanan itu bertambah banyak[115], kisah umar R.A ketika itu beliau berada dimadinah kemudian naik keatas mimbar dan berteriak: wahai pasukan berlindunglah diatas gunung”, dan lain sebaginya. Imam yusuf an-nabhani mengarang kitab khusus tentang karomah yang berjudul karomat al-auliya.
Jika dikatakan: kenapa karomah sahabat sangat banyak, sedangkan orang-orang setelahnya sangat sedikit. Imam subuki menjawab dengan menukil pendapat imam ahmad bin hambal: “iman mereka dikala itu sangat kuat, maka tidak perlu menambah sesuatu yang memperkuatnya, dan selain mereka (orang-orang setelah sahabat) itu imannya sangat lemah, mereka belum mencapai keimanan sahabat, maka sangatlah kuat penampakan karomah kepada para sahabat”[116]
Jika dikatakan: sesungguhnya penyebaran agama Allah itu bukan dengan karomah atau hal-hal yang luar biasa, tetapi dengan menegakan bukti dan dalil secara akal. Jawabanya: betul sekali, menyebarkan agama Allah harus dengan bukti dan dalil yang masuk akal, tetapi kefanatikan dan keras kepala mengundang karomah atau hal luar biasa sehingga mereka meyakininya, sebagaimana hikmah Allah memberi mukjizat kepada para nabi, hal ini supaya memperkokoh dakwah para nabi. Perbedaannya jika mukjizat terjadi bagi para nabi, sedangkan karomah terjadi pada para wali.
Bab kelima: meluruskan pemikiran tashowuf
Antara syariah dan hakikat
Telah diriwayatkkan hadist dari Umar bin Khotob mengenai pembagian agama menjadi tiga rukun, berdalil sabdanya nabi kepada sayduna umar: “sesungguhnya dia itu jibril mendatangi kalian, mengajari agama kalian”.
1. Rukun islam: ditinjau dari perbuatan seperti ibadah, muamalah, dan perkara ta’abudiah, tempatnya anggota badan yang nampak, ulama menamainya dengan istilah syariah, dan dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama fiqih.
2. Rukun iman: ditinjau dari keyakinan hati, seperti beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir, qodho dan qodar, dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama tauhid.
3. Rukun ihsan: ditinjau dari kerohanian hati, yaitu engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau melihatnya, walaupun engkau tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu, dan hasil-hasil dari rukun ihsan seperti ahwal, dzauq, wijdaniah, ilmu wahbiah, ulama menamainya dengan istilah hakikat, dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama tashowuf.
Untuk lebih jelas hubungan antara syariah dan hakikat, maka kami beri contoh; seperti pelaksanaan Sholat. memenuhi syarat, rukun, gerakan sholat dan lain sebagainya yang syariah tetapkan, itu merupakan jasadnya sholat. Dan khusu/hadirnya hati bersama Allah dalam sholat itu ditinjau dari hakikatnya, dan khusu merupakan ruhnya sholat. Dan pelaksanaan sholat dengan tanpa kehadiran hati bersama Allah itu bagaikan jasad tanpa ruh, maka apa faidahnya jasad tanpa ruh.
Jika dikatakan: kami menetapkan pembagian ini tetapi kami mengingkari penamaan istilah ini (syariah, thoriqoh, dan hakikat).
Kami menanggapi: istilah-istilah yang tersebut diatas adalah yang mengalir diantara ulama, kemudian mengalir diantara ulama fiqih, maka tidak bisa dijadikan alasan pengingkaran aliran tasowuf karena perbedaan istilah.
Jika dikatakan: kami menetapkan pembagian dan penamaan istilah ini tetapi kami mengingkari tasawuf dari keadaan mereka yang mengandalkan ilmu hati, dzauk (kelezatan) pada yang esa, dan ilmu laduninya.
Kami menanggapi: sesungguhnya semua perkara ini Allah muliakan kepada setiap hambanya yang ikhlas yang DIA cintai karena kejujuran mereka dalam beribadah kepada-NYA, maka tidak adalah tuduhan kepada kemampuan ketuhanan-NYA untuk melakukan hal itu.
Itu hanyalah zauk (kelezatan beribadah), pemahaman, kasf (penerengan), dan fath ( terbukanya hati) yang Allah berikan kepada mereka. rasulullah SAW telah menetapkan pada sabdanya “ilmu itu ada dua; ilmu hati, diriwayat yang lain: ilmu yang menetap dihati, itu merupakan ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu pada lisan, itu merupakan hujahnya Allah yang duberikan kepada ciptaan-NYA”. [117]
Hal itu bisa dibuktikan pula dengan hadist muaz bin jabal R.A dari anas R.A; bahwasannya muaz bin jabal masuk kerumah rasulullah, maka nabi bertanya “bagai mana keadan mu pada pagi hari ini wahai muaz?”, muaz menjawab; keadaan ku pagi hari ini dengan beriman kepada Allah SWT, nabi bertanya “sesungguhnya setiap segala perkataan ada yang di jadikan kejujuran, dan setiap kebenaran ada bukti kebenarannya, apa yang bisa kau buktikan dengan perkataanmu itu?”, muaz menjawab; wahai nabiullah! Tidaklah aku menjumpai pagi hari kecuali aku menduga aku tidak akan menjumpai sore harinya, dan tidak pula aku menjupai sore hari kecuali aku menduga tidak akan menjumpai pagi harinya, dan tidak pula aku melangkah selangkah kecuali aku menduga tidak akan melangkah kelangkah berikutnya, seakan-akan aku melihat setiap umat dalam keberadaan berlutut di panggil dengan buku amal perbuatannya, mereka bersama nabi mereka, dan berhala-berhala mereka yang dulu mereka sembah selain Allah, dan seakan-akan aku melihat hukuman ahli neraka dan ganjajaran bagi ahli surga, nabi bersabda “ kamu telah mengetahui maka bersungguh-sungguhlah”. [118]
Orang-orang sholeh tidak akan mendapat derajat seperti ini (ma’rifah, kasyaf) kecuali mereka berpegang pada kitab dan sunah dan juga mengikuti rasulullah yang agung juga sahabat-sahabat yang mulia, dan mujahadah (kesungguhan) mereka itu melemahkan nafsu yang ada pada diri mereka dengan cara berpuasa, sholat qiamulail, dan zuhud (tidak ada keinginan terhadap dunia) mereka, seperti halnya Allah memulyakan muaz R.A dengan kusyufat (terbukanya hal-hal ghoib) yang nabi ikrarkan dengan sabdanya “kamu telah mengetahui maka bersungguh-sungguhlah”.
Jika dikatakan: jika seandainya thoriqot tasawuf itu disyariatkan, maka otomatis ulama-ulama mujtahid (seperti imam syafii, abu hanifah, malik, ahmad dll) akan mengarang atau menaruh kitab khusus yang membahas tentang ketasowufan, tetapi sampai sekarang ini kita belum melihat karangan mereka mengenai tasowuf?
imam as-Sya’roni R.H menjawabnya: sesungguhnya ulama-ulama mujtahid tidak menaruh kitab khusuh dibidang tasowuf dikaranakan sedikitnya penyakit hati pada masa mereka dan kebanyakan dari mereka selamat dari keriaan dan kemunafikan, kemudian kadar tidak selamatnya pada masa mereka dari penyakit hati, itu bisa didapatkan pada sebagian orang yang jumlahnya sangat sedikit, kebanyakan mereka hatinya bersih dari aib, begitu pula paling besarnya tujuan seorang mujtahid pada waktu itu adalah mengumpulkan dalil-dalil yang tersebar (belum terkumpul) dikota-kota dan desa-desa yang ditempati para tabi’in dan tabi’i tabi’in, yang itu merupakan alat dari semua ilmu, dengan dalil-dalil tersebut kita mengetahui semua hukum dan hal itu lebih penting dari pada menyibukan diri mereka berdiskusi dengan sebagian orang mengenai masalah hati, yang ketika itu belum menampakan syiar agama dan tidak pula masuk kepada hukum asal.
Maka tidak pantaslah seorang berakal mengatakan; sesungguhnya imam abu hanifah, syafii, malik dan ahmad R.A mengetahui pada dirinya terdapat ria, ujub, sombong, dengki, dan munafiq kemudian mereka tidak berijtihad (berseungguh-sungguh) untuk mengendalikan nafsunya dan tidak pula mendiskusikannya sama sekali, walaupun seandainya mereka tidak selamat diri mereka dari penyakit-penyakit itu pasti mereka akan mendahulukan kesibukan mereka dalam mengobati penyakit hati dari pada semua ilmu.
Berpegang dengan kitab dan sunah
Syekh abdul Qodir jailani berkata: “semua hakikat yang tidak diiringi dengan syariat merupakan ciri orang zindik, terbanglah kepada Allah dengan dua sayap kitab dan sunah, masuklah kepada-Nya dan tanganmu berada ditangan Rasulullah”.[119]
Sahal al-Tastari berkata: “pokok ajaran kita itu ada tujuh: berpegang dengan kitab Allah, berpanutan dengan sunah Rasulullah SAW, memakan yang halal, menahan diri dari menyakiti yang lain, menjauhi perbuatan dosa, taubat, dan melaksanakan hak-hak”.[120]
Abu said al-khoroz berkata: “setiap amal batin menyimpang amal zohir maka itu adalah kebatilan”[121].
Berhati-hati dari pemisahan antara syariat dan hakikat
Terdapak sebagian kelompok yang mengaku sebagai ahli batin, tetapi dia adalah seorang pembohong, munafiq yang jauh dari islam, mereka berkata: maksud sebuah agama adalah hakikat saja, mereka merusak hukum-hukum syariat.
Ulama tashowuf telah memperingati kita dengan orang-orang semacam itu, abu yazid al-bustomi berkata: “jika kalian melihat seseorang diberi karomah, bahkan ia bisa terbang diudara, janganlah kaget dengan hal itu, sehingga kalian melihat bagaimana ia memperolehnya, bisa ditinjau dari perintah, larangan, menjaga batasan-batasan dan melaksanakan syariah”[122].
Syekh ahmad zarwaq berkata: “semua syekh yang tidak nampak pada dirinya prilaku sunah, maka tidaklah sah mengikutinya, karena belum pasti mengenai keberadaanya, walaupun ia memiliki sejuta karomah”.[123]
Tipuan/makar yang terjadi pada ilmu-ilmu syariat
Tafsir: seperti masuknya kisah-kisah isroiliah, itu merupakan kebohongan, orang-orang yahudi yang tidak ikhlas dengan islam menyebarkan berita-berita bohong berkaitan dengan para nabi dan Rosul.
Hadist: untuk membenarkan aqidahnya, sebagian kelompok membuat hadist-hadist palsu, kelompok syiah membuat hadist tentang keutamaan sayduna Ali dari yang lain, jika dikatakan kepada mereka: kenapa kalian berbohong dengan nama Nabi, padahal beliau SAW telah bersabda: “barang siapa berbohong dengan namaku maka bersiap-siaplah tempatnya dineraka”.[124] Mereka menjawab: kami berbohong demi kebaikan Rasulullah bukan untuk menjatuhkannya. Sebagaimana sebagian orang membuat hadist supaya dekat dengan para pemimpin.
Sejarah: orang-orang yang sesat menaruh kisah-kisah bohong dalam ilmu sejarah kholifah dan kerajaan-kerajaan, dan banyak kita temukan kebohongan itu seperti dikitab alaf yaum wa lailah, tidak lupa pula orang-orang yang berwajah islam tetapi hati mereka kafir, mereka menceritakan kisah-kisah kebohongan dalam islam.
Tetapi Allah SWT mentakdirkan dan tidak membiarkan hal itu terjadi dalam agama-Nya, sehingga ulama-ulama tafsir, hadist dan tarikh meluruskan dan menjelaskan semua tipuan tersebut.
Tashowuf: sebagai mana ilmu-ilmu yang lain, ilmu tashowuf pula tidak luput dari tipuan itu. Sebagian mereka memasukan pemikiran-pemikiran yang melenceng, dan kalimat-kalimat yang sesat dikitab-kitab tashowuf, sebagian mereka mengatakan perkataan yang keluar dari aqidah islam seperti hulul wa itihad kemudian mereka nisbatkan kepada ulama tashowuf, sebagian mereka menuduh ulama-ulama tashowuf melakukan perbuatan dosa besar sebagai mana kita temukan dikitab thobaqot al-qubro karangan imam sya’roni, sebagian lagi kelompok komunis yang mempelajari ilmu tashowuf kemudian mereka mengarang kitab-kitab tashowuf dengan tujuan tipuan, dan perubahan-perubahan, dan lain sebagainya.
Jika dikatakan: sesungguhnya perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada ulama tashowuf yang menyimpang dari agama, itu merupakan kebenaran, kita menemukannya dikitab-kitab cetakan dan sudah tersebar luas. Jawabannya: tidak semua yang ada dikitab-kitab sufiah di nisbatkan kepada ulama tashowuf , karena hal itu belum terselamatkan dari perubahan-perubahan dan tipuan. Jika seandainya terdapat salah satu sufi menyeleweng dari syariah, maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan penyesatan seluruh orang sufi, karena satu orang bukanlah hujjah bagi jamaah, dan juga syiar tashowuf adalah kitab dan sunah.
Sebagian orang mempelajari kitab-kitab tashowuf yang penuh dengan perubahah-perubahan dan tipuan, dan mereka meyakini bahwa hal itu merupakan suatu kebenaran, kemudian mereka menyerang habis-habisan ajaran tashowuf, kalau seandainya mereka membaca semua kitab-kitab tashowuf yang mana mereka berpegang dengan kitab dan sunah, dan ikatan mereka dengan madzhab-madzhab, dan beraqidah ahlu sunah wal jamaah, maka mereka tidak akan melakukan hal itu.
Kami akan memberi beberapa contoh perubahan dan tipuan yang terjadi dikitab-kitab tashowuf dan ulama. Ibnu al-Faro berkata: “dua orang sholeh mendapat bala dari orang-orang keji: jafar shodiq dan ahmad bin hambal. Kalau jafar shodiq, dinisbatkan perkataan-perkataan yang sangat banyak kepadanya, dibukukan pada fiqih syiah imamiah bahwa ini pendapatnya, dan beliau terbebas dari itu semua. Sedangkan ahmad bin hambal, sebagian hanabilah menisbatkan pendapat kepadanya dalam bidang aqidah yang ia tidak mengatakannya”.[125] Dan yang paling banyak mendapatkkan perubahan dan tipuan adalah kitab at-thobaqot al-kubro karangan imam sya’roni, dan beliau telah menjelaskan perubahan-perubahan itu dikitabnay lathoif al-minan wal akhlak, beliau berkata: “dan termasuk yang telah Allah berikan kepadaku adalah, kesabaranku terhadap orang-orang yang iri dan musuh-musuh yang merubah kitabku dengan perkataan yang menyimpang dari syariat, sehingga mereka berfatwa bahwa aku adalah menyimpang dan pembohong..”[126], imam sya’roni berkata: “orang-orang zindik telah menipu imam ahmad ketika sakit menjelang kematian dibawah bantalnya, berupa aqidah yang menyeleweng, kalau seandainya sahabat-sahabatnya tidak mengetahui kebenaran aqidahnya, maka mereka akan terkena fitnah dengan apa yang mereka temukan dibawah bantalnya”[127]. Ibnu hajar al-haitsami berkata: “dan janganlah kaget dengan apa yang tertera dikitab al-ghunyah karangan imam al-arifin qutbu al-islam wal muslimin syekh abdul qodir jaiilani, sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipuan, yang mana Allah akan membalas tipuan itu, karena beliau terbebas dari hal itu”.[128] Dan lain sebagainya. Tetapi Allah SWT telah menakdirkan –segala puji bagi-Nya- kepada agama ini, ulama-ulama yang siang malam menjelaskan dan membersihkan kitab-kitab islamiah dan menjelaskan tipuan dan kebatilan itu.
Ta’wil perkataan ulama sufiah
Sesungguhnya apa yang kita lihat didalam sebagian kitab-kitab sufiah yang mana secara zohir menyeleweng dari nash-nash syariat dan hukum-hukumnya. Hal itu bisa terjadi karena perubahan atau tipuan sebagai mana yang telah kami jelaskan diatas, atau perkataan itu membutuhkan ta’wilnya, yang mana mereka berkata dengan cara isyaroh, kinayah atau majaz. Sebagai mana kita temukan didalam kitab suci al-Qur’an: ( وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ ) artinya: “bertanyalah kepada penduduk kampung”, bukan bermakna: “bertanyalah kepada kampung”. Begitu juga yang terdapat dalam kitab-kitab sufiah, yang sulit dimengerti kecuali jika kita bersahabat dengan mereka atau mereka yang hanya mengetahui maknanya, maka dari itu sebagian sufi berkata: “kami adalah suatu kaum, haram melihat kitab-kitab kami sebelum dia menjadi ahli thoriqoh kami”[129], karena maksud pembukuan ilmu ini supaya sampai kepada ahlinya, jika seseorang mempelajarinya dan dia bukan tergolong ahlinya, maka dia akan bodoh, kemudian memusuhinya, karena manusia itu menjadi musuh jika dia bodoh.
Bahwa perkataan ulama tashowuf untuk berhati-hati jika menemui istilah-istilah tashowuf yang tidak dipahami bahkan untuk tidak membacanya, bukanlah termasuk menyembunyikan ilmu, tetapi ditakutkan mereka memahami pemahaman yang bukan maksudnya atau menta’wilkan perkataan yang bukan hakikatnya, sehingga terjadilah pengingkaran. Karena maksud pembicaraan adalah apa yang dapat dipahami manusia. Maka dari itu imam ali berkata: “berbicaralah kepada manusia berdasarkan kadar akal mereka, apakah kalian ingin berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya!?”, ma’ruf berkata: “tinggalkanlah apa yang mereka ingkarkan”, yaitu yang samar-samar dalam pemahaman, ini merupakan dalil bahwa mutasyabih (kesamaran) itu tidak layak disebutkan kepada orang awam.
Ibnu arobi berkata: “..tidaklah setiap kelompok yang membawa ilmu seperi ahli mantiq, nahwu, arsitek, perbintangan, kalam, dan filsafat kecuali mereka memiliki istilah yang tidak diketahui meskipun bergabung bersama mereka kecuali setelah bertanya kepada ahlinya, hal itu harus dilakukan. Kecuali thoriqoh tashowuf secara khusus, sesungguhnya seorang murid yang jujur, jika memasuki thoriqoh mereka, ia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui istilah mereka, dan dia duduk berkumpul bersama mereka, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan dari isyarat, maka dia akan faham semua yang mereka katakan, bahkan seakan-akan merekalah orang yang menaruh istilah tersebut”[130].
Ibnu hajar dimintai fatwa mengenai hukum mempelajari kitab ibnu arobi, beliau menjawab: “hukumnya boleh mempelajarinya kitab-kitabnya, bahkan dicintai, betapa banyak buku tersebut mencakup permasalahan yang tidak ada dikitab yang lain..”[131], sedangkan imam sayuti memiliki risalah khusus yang berjudul tanbih al-ghobi bitabriati ibnu arobi, risalah yang menjelaskan dua kelompok yang menetapkan wilayahnya dan yang menyimpang darinya.
Kesimpulan: bahwa terdapat beberapa perkara penting yang harus dipaparkan:
1. Tidak diperbolehkan bagi yang bukan pengikut thoriqoh sufiah, untuk mempelajari kitab-kitab mereka, karena ditakutkan memahami perkara yang bukan maksudnya, dan berbeda apa yang dimaksud pengarangnya, karena dia tidak memahami istilah-istilah mereka. Padahal kitab tashowuf itu secara gelobal dibagi menjadi tiga:
· Membahas tentang kebenaran dalam beribadah, dan kebaikan dalam mendirikannya seperti khusu, hadir bersama Allah, dengan memperhatikan adab-adabnya.
· Membahas tentang mujahadah diri, tazkiah diri, hati dan perbuatan dari perbuatan-perbuatan yang kurang seperti ragu, was-was dll. Bagian pertama dan kedua ini banyak kita temukan dikitab imam gozali seperti ihya ulumuddin, bidayah al-hidayah, dan qutul qulub. dan ilmu ini juga dinamakan ilmu muamalah.
· Membahas tentang pengetahuan-pengetahuan ketuhanan, ilmu wahbiah, dzauq, wijdan, kasyaf , dll. Kebanyakan kita temukan dikitab karangan muhyi ad-din ibnu arobi seperti futuhat al-makiyah, dan fusus. Dan ilmu ini juga dinamakan ilmu mukasyafah.
2. Bahwa tashowuf itu tidak didapatkan hanya dengan membaca kitab atau mengetahui istilah-istilahnya, tetapi harus berjalan dengan syekh-syekh tashowuf dan berkumpul bersama mereka.
3. Bahwa ulama tashowuf menaruh istilah-istilah ini supaya ilmu mereka tidak diambil dengan orang yang bukan berada dijalannya.
4. Bahwa nash-nash yang mengandung kekufuran dan penyimpangan merupakan sebuah tipuan atau perubahan yang dilakukan musuh-musuh islam, sebagaiman yang telah engkau lihat bahwa tashowuf itu berjalan berdasarkan kitab dan sunah.
5. Bahwa perkataan (yang mengandung kekufuran dan penyimpangan) yang dinisbatkan kepada mereka, kemudian mungkin dita’wilkan berdasarkan aqidah ahlu sunah wal jamaah, maka wajib dita’wilkan, karena aqidah mereka ahlu sunah wal jamaah.
6. Bahwa perkataan (yang mengandung kekufuran dan penyimpangan) yang dinisbatkan kepada mereka yang tidak mungkin dita’wilkan, jika hal itu benar ternisbatkan kepada mereka, maka hal itu tertolak bagi pembicaranya, kita tidak meyakininya, bahkan tergolong kufur jika meyakininya, tetapi kita tidak mengkafirkan orang-orang tertentu, karena kita tidak mengetahui bagaimana keadaan aqidahnya diakhir hayatnya.
Wahdatul wujud wal hulul wal itihad
Al-wasiti berkata: “tidak diperbolehkan bagi seorang yang arif mengatakan aku adalah Allah”[132].
Imam sayuti berkata: “ketahuilah, bahwasannya terdapat ibaroh sebagian muhakik lafaz ittihad, ini mengisyaratkan kepada hakekat tauhid, sesungguhnya lafaz ittihad menurut mereka itu bermakna berlebih-lebihan dalam bertauhid...berarti asal ittihad (menyatu dengan tuhan) merupakan suatu kebatilan yang mustahil, tertolak menurut syariat, akal dan kebiasaan berdasarkan kesepakatan para nabi, syekh syekh sufiah dan para ulama muslimin...terkadang lafaz ittihad disebut dengan makna fabna dari hal-hal yang menyimpang dan tetap perkara-perkara yang tidak menyimpang...adapun perkataan abu yazid al-bustomi: ( سبحاني ما أعظم شأني )” itu merupakan suatu hikayah, begitu juga yang mengatakan: ( أنا الحق ) diperkirakan bermakna hikayah, janganlah menduga mereka melakukan hulul wa ittihad…jika terdapat lafaz ittihad dari muhakik sufiah, maka sesungguhnya mereka menginginkan makna fana yang maksudnya menghilangkan nafsu dan menetapkan semua perkara kepada Allah SWT.. “[133].
Ibnu taimiah berkata: “tidak satupun seorang ahli ma’rifah billah, meyakini hulul (masuk)nya tuhan kepada dirinya atau makhluk selainnya, tidakpula menyatu kepadanya, jika terdengar sesuatu tentang hal itu dari pembesar-pembesar para syekh maka kebanyakannya adalah suatu kebohongan”.[134]
Adapun perkataan seorang syair :
ومن أهوى أنا
أنا من أهوى
فظننت أنك أني
غبت بك عني
Adapun maksud syair itu adalah ittihad ma’nawi, sebagaimana menyatunya dua orang kekasih, saling mencintai, saling membenci, dia berbicara sebagaimana pembicaraannya.[135]
Dinukil juga perkataan suatu kaum: ( دخلنا حضرة الله و خرجنا عن حضرة الله ) imam sya’roni berkata: “bukanlah maksud حضرة الله adalah berupa tempat tertentu…adapun maksud merekadengan kehadiran itu adalah jika ditinjau secara mutlak yaitu persaksian salah satu dari mereka, bahwasannya dia berada dihadapan Allah, selama dia bersaksi bahwa dia berada dihadapan tuhannya aza wajalla maka dia berada dikehadirannya..[136]”.
Dinukilkan dari Imam gozali, beliau berkata : ( ليس في الإمكان أبدع مما كان ) maksudnya sepertti apa yang dikatakan imam syaroni adalah: “kemungkinan maksudnya itu adalah, bahwa semua benda yang mungkin itu Allah tampakan berdasarkan gambarnya diilmu-Nya ta’ala yang qodim (terdahulu), dan ilmu-Nya yang qodim tidak menerima penambahan.. “.
Abi yazid berkata: ( خصنا بحرا و قفت الأمبياء بساحله ), Muhammad abu al-mawahib as-syadzili mentakwilkan kata tersebut dengan: “orang-oran arif meluap lautan tauhid dengan dalil terlebih dahulu, setelah itu mereka sampai kemartabat persaksian dan penglihatan, dan para nabi telah berbaris diawal perkara diatas tepi penglihatan, kemudian mereka sampai kepada sesuatu yang disebut dengan irfan, ketika itu permulaan para nabi A.S merupakan akhirnya para arifin”.[137]
Dinukilkan perkataan abul hasan as-syadzili: ( يصل الولي إلى رتبة يزول عنه فيها كلفة التكليف ) maka abul mawahib menjawab maksudnya: “awal mulanya seorang wali memperoleh paksaan berupa kelelahan, apabila dia sampai, maka dia akan memperoleh paksaanberupa kesantaian dan kegembiraan, masuk ke bab sabda nabi SAW “wahai bilal berilah kami kesantaian dengan didirikannya sholat”[138] , itu merupakan tujuan para wali”.[139]
Sedangkan masalah wihdatul wujud , sayid al-alamah mustofa kamal as-syarif mengarang risalah khusus yang berjudul risalah wihdatul wujud.
Antara sufiah dan orang-orang yang mengaku sufiah
Nama tashowuf telah tercoreng dengan sebagian orang yang bertampilan seperti ahli tashowuf dan menisbatkan kepadanya, kemudian mereka membuat kekejian terhadap tashowuf baik berupa perkataan, perbuatan dan perjalanan hidup mereka, dan ilmu tashowuf terbebas dari mereka. Maka harus dibedakan antara ilmu tashowuf dengan orang sufi, bukanlah orang yang berpenampilan tashowuf kemudian melakukan penyimpangan mencirikan ajaran tashowuf, sebagaimana orang islam yang melakukan penyimpangan mencirikan ajaran islam.
Dan pengingkaran sebagian ulama terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang dinisbatkan kepada sufiah, tertuju kepada mereka semua yang menyimpang dan mengaku-ngaku sebagai tashowuf. Dan kami pun mengingkari sebagaimana ulama mengingkari mereka yang mengaku sebagai tashowuf yang menyimpang dari agama Allah, adapun yang berpegang kepada kitab dan sunah, mustaqim dengan syariat Allah maka merekalah yang kami maksud, cukup bagi kita mengikuti astar mereka.
Musuh-musuh tashowuf
1. Musuh dari golongan orang-orang zindiq, komunis dan pengikut-pengikutnya. Yang mana mereka mempelajari ajaran-ajaran islam supaya mengetahui kelemahan islam, terkadang mereka memuji-muji ajaran islam, ketika umat islam merasa tenang mereka menipu dan melakukan perubahan, supaya umat islam ragu dengan aqidahnya. Sayid Muhammad asad telah membongkar kebohongan-kebohongan mereka didalam kitabnya yang berjudul al-islam ala muftaroq at-turuq fi bahst syibhi al-hurub as-solbiahh.
2. Mereka yang bodoh mengenai hakekat tashowuf, mereka tidak mengambil ilmu tashowuf dari ulama tashowuf yang shiddiqin (jujur) dan mukhlishin (ikhlas), bahkan mereka melihat dangan penglihatan yang mengapung tanpa meresapi dan mencari penjelasannya. Bagian kedua ini dibagi menjadi tiga kelompok :
Ø kelompok yang mengambil ajaran tashowuf dari sebagian orang yang mengaku-ngaku sebagai ahli tashowuf tanpa membedakan antara ajaran tashowuf yang hakiki dengan sebagian kejadian-kejadian yang menyeleweng yang muncul dari orang-orang yang berpenampilan sufi tetapi jiwa mereka bukan berjiwa tashowuf.
Ø kelompok yang tertipu dengan apa yang mereka dapatkan disebagian kitab-kitab tashowuf yang sudah banyak dirubah atau yang penuh dengan kemakaran, kemudian mereka mempercayainya, atau mereka memahami istilah-istilah tashowuf dengan pemahaman yang salah, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada ulama tashowuf atau merujuk kepada perkataan-perkataan sufi.
Ø Kelompok yang terselewengkan dan tertipu, mereka mengambil kepercayaan dan ilmu-ilmu mereka dari para komunis sebagai mana yang telah kami jelaskan diatas, kemudian mereka mengangkat pengakuan-pengakuan dan kebatilan-kebatilan itu, seakan-akan turun dari langit, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Mereka belum mengetahui hakikat para komunis, yang mana mereka ingin meruntuhkan islam dengan cara merusak dan menusuk langsung ruh islam yaitu ilmu tashowuf.
Tetapi umat islam ini, masih memiliki sekelompok orang yang menampakan kebenaran “tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menipu mereka, tidak pula orang-orang yang menyimpang dari mereka, sampai datang perintah Allah”[140], mereka ingin memadamkan cahaya islam, tetapi Allah menambah cahaya itu, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.”[141]
Persaksian ulama islam tentang ilmu tashowuf
Imam malik bin anas (wafat tahun 179h)
Beliau berkata: “barang siapa yang faqih tetapi tidak memiliki tashowuf maka dia adalah orang fasiq, dan barang siapa bertashowuf tetapi tidak faqih maka dia adalah orang zindik, barang siapa yang mengumpulkan keduanya maka dia telah mendapat kebenaran”[142]
Imam syafii (wafat tahun 204h)
Beliau berkata: “pagi hari bersama para sufi, aku tidak mendapatkan faidah kecuali tiga kalimat: waktu bagaikan pedang jika engkau tidak memotongnya maka ia akan memotongmu..”[143].
Imam ahmad bin hambal (wafat tahun 241h)
Dari ibrohim bin Abdullah al-Qolanisi, bahwa imam ahmad bin hambal berkata mengenai tashowuf : “aku tidak tau apakah ada suatu kaum yang lebih utama dari mereka (ahlu tashawuf)”.[144]
Imam al-qusayri (wafat tahun 465h)
Beliau berkata tentang sufiah: “Allah SWT telah menjadikan kolompok ini barisan dari para walinya, dan Allah telah mengutamakan mereka dari kebanyakan hamba-hambanya setelah kerosulan dan kenabian SAW..”.[145]
Abdul qohir al-baghdadi (wafat tahun 429)
Beliau berkata: “ketahuilah bahwa ahlu sunah wal jamaah terdiri dari delapan kelompok...kelompok keenam, mereka adalah para zahid sufiah...”[146]
Imam fakhru ad-din ar-rozi (wafat tahun 606h)
Beliau berkata: “ketahuilah bahwa kebanyakan kelompok tidak menyebutkan kelompok sufiah, ini merupakan suatu kesalahan, karena kesimpulan perkataan para sufiah adalah bahwa jalan menuju marifah Allah itu dengan cara pemurnian dan melepaskan dari hubungan-hubungan badan, dan ini merupakan thoriqoh yang baik..”.[147]
Imam al-ghozali (wafat tahun 505h)
Beliau berkata: “dan aku sangat yakin sekali, bahwa para sufiah mereka adalah para salikin (pejalan) menuju jalan Allah SWT secara khusus, dan perjalanan mereka adalah sebaik-baiknya jalan, dan thoriqoh mereka adalah sebaik-baiknya thoriqoh, dan akhlak mereka sesuci-sucinya Akhlaq..”.[148]
Al-iz bin abdi as-salam (wafat tahun 660h)
Beliau berkata: “Kaum sufiah berdiri berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang tidak meruntuhkan dunia dan akherat..”.[149]
Imam nawawi (wafat tahun 676h)
Beliau berkata: “inti thoriqoh tashowuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik dalam kesepian maupun dikeramaian..”.[150]
Ibnu taimiah
Beliau berkata: “Dan adapun orang-orang yang istiqomah dari para penempuh jalan Allah seperti syekh-syekh salaf, misalnya: al-fudhail bin iyad, ibrohim bin adham, abi sulaiman ad-daroni ma’ruf al-karkhi, siri as-saqoti, junaid bin Muhammad dan lain sebaginya dari golongan terdahulu, dan semisal syekh abdul Qodir jailani, Syekh hammad, syekh abil bayan, dan lain sebagainya dari golongan terakhir..”[151]
Imam as-syatobi (wafat tahun 790h)
Disebutkan dimajalah al-muslim majalah al-asyiroh al-muhamadiah , dengan judul “imam asy-syatobi seorang sufi salafi karangan sayid abi al-tuqo ahmad kholil, beliau berkata: “..imam asy-syatobi telah menulis dikitabnya (al-i’tishom) bab yang mulia tentang tashowuf islami, dan beliau menetapkan bahwa tashowuf merupakan murni dari agama, bukan termasuk perkara baru..”.[152]
Ibnu kholdun (wafat tahun 808h)
“ilmu ini (pen: tashowuf) termasuk ilmu yang baru didalam islam, dan asalnya, bahwa thoriqoh (cara/jalan) mereka itu masih seperti orang salaf dan pembesar-pembesar sahabat dan tabiin, dan setelahnya, ini merupakan thoriqoh yang hak dan berpetunjuk...dan ketika meluasnya kecintaan manusia pada dunia ketika abad ke 2h dan setelahnya, dan manusia dipermudah untuk bercampur dengan keduniaan, maka orang-orang yang cinta kepada ibadah mengkhususkan diri dengan nama sufiah.[153]
Taz ad-din as-subuki (wafat tahun 771h)
Beliau berkata pada bab tashowuf: “...kesimpulan, bahwa mereka (ahli tashowuf) itu adalah ahlullah dan kekhususan-Nya, yang diharapkan turunnya rohmah ketika menyebut mereka...”[154]
Jalaluddin as-sayuti (wafat tahun 911h)
Beliau berkata: “sesungguhnya tashowuf itu merupakan ilmu yang mulia, dan sesungguhnya ajarannya itu mengikuti kitab dan sunah...”.[155]
Ibnu abidin (wafat tahun 1252h)
Beliau berkata: “tidak perlu dibicarakan lagi mengenai orang-orang yang jujur dari tuan-tuan kita para sufiah, yang terbebas dari macam-macam kerendahan..”.[156]
Alhamdulillah selesai ringkasan hakekat tashowuf. Ditulis diribat fatah wal imdad, hauthah, yaman hadromaut. Santri pon.pes bahrul maghfiroh malang. Selesai pada tanggal 20 maret 2013 hari rabu.
Penulis:
Al-faqir Maarif Aziz bin Rajiman Al-lampungi
Catatan: terkadang al-faqir menukil secara makna pendapat-pendapat ulama, dan kebanyakan al-faqir ketika menukil pendapat-pendapat ulama, al-faqir hanya mengambil inti permasalahan. Tulisan ini diringkas dari kitab aslinya yang berjudul haqoiq an at-tashowuf karangan syekh abdul qodir isa.
[1] Catatan kaki Risalah al-qusyairiah hal:7
[2] Qowaid at-tashowuf hal 6 karangan abul Abas ahmad as-Syahir bazarwaq al-Fasi
[3] Nusroh an-nabawiyah hal 22 karangan Musthofa al-Madani
[4] Nur at-tahqiq hal 93 karangan al-alamah hamid shaqir
[5] Al-intishor lithoriq as-sufiah hal 6
[6] Muqodimah ibnu kholdun hal 329
[7] Al-intishor lithorik as-sufiah 17-18
[8] Kasfu dzunnun juz 1/hal 414
[9] Q.S al-Kahfi 110
[10] H.R bukhori pada bab iman
[11] H.R Muslim pada bab kebaikan dan silaturohim
[12] Asbah wa an-nadzoir hal 504
[13] Q.S al-a’rof:33
[14] Q.S al-anfal: 151
[15][15] H.R bukhori dan Muslim
[16] Hasyiah ibnu abidin juz 1/hal 31
[17] Al-hidayah al-alaiyah hal 310
[18] Q.S at-taubah: 119
[19] AQ. Al-ahzab: 23
[20] H.R abu ya’la
[21] Al-fatawa al-hadistah: 55
[22] An-nusroh an-nabawiyah: 13
[23] Thobaqot sufiah: 365
[24] H.R Muslim
[25] H.R ibnu adiy
[26] Q.S al-fatah:10
[27] Q.S al-isro: 34
[28] H.R bukhori
[29] Rijal al-fikri wa da’wah fil islam hal: 248
[30] H.R turmudzi bab ilmu
[31] Q.S al-haj: 78, al-mufrodat fi ghorib al-quran hal:101
[32] Q.S al-ankabut: 69
[33] H.R turmudzi bab fadhoil al-jihad
[34] Ar-risalah al-qusyairiah 48-50
[35] Ar-risalah al-qusyairiah 48-50
[36] Q.S al-a’rof 32
[37] Q.S al-a’rof 33
[38] Q.S al-ankabut: 69, ar-riyadhoh wa adab an-nafs: 124
[39] Q.S al-baqoroh 152
[40] H.R bukhori
[41] Al-futuhat robaniah al al-azkar nabawiyah hal: 106
[42] Al wabil as-shoib min al-kalam at-toyib : 52
[43] H.R ahmad, abu daud, turmudzi
[44] H.R turmudzi bab da’awat
[45] H.R muslim
[46] H.R abu daud
[47] H.R abu daud
[48] H.R ahmad, hafiz al-muqodasi
[49] H.R Muslim
[50] Q.S an-nahl: 43
[51] Q.S al-furqon: 59
[52] H.R turmudzi pada bab adab dan H.R bukhori
[53] Faidud al-qodir syarah al-jami as-shoghir juz:5/hal: 12
[54] Qowaid tashowuf hal: 39
[55] Tafsir al-alamah abu saud, catatan kaki pada tafsir rozi juz 8/hal: 338
[56] H.R bukhori bab kaifa kana badaal wahyu
[57] Irsyadu as-sari lisyarah sohih bukhori juz 1/hal 23
[58] Bustan al-arifin hal: 47
[59] Q.S hud: 52
[60] H.R muslim
[61] Al-burhan al-muayyad hal: 52
[62] Q.S al-imron: 175
[63] Ar-risalah al-qusyairiah hal: 60
[64] Q.S al-fathir: 28
[65] Q.S al-baqoroh: 218
[66] Miroj at-tashowuf hal: 6
[67] Q.S Muhammad: 21
[68] H.R turmudzi
[69] Ihya ulumuddin: juz 4/ hal 334
[70] Q.S az-zumar: 11
[71] H.R abu daud
[72] Risalah al-Qusyairi hal: 95
[73] Iqoz al-himam fi ayarah al-hikam juz 1/ hal: 25
[74] Q.S luqman: 17
[75] H.R bukhori, muslim, nasai, abu daud
[76] Ta’rifat hal: 170
[77] H.R thobroni
[78] Ar-risalah al-qusyairiah: 52
[79] H.R turmudzi:
[80] Q.S fathir: 5
[81] H.R ibnu majah bab zuhud
[82] Risalah qusyairiah 89
[83] H.R turmudzi
[84] Q.S ghofir: 60
[85] Q.S taubah 105
[86] T’rifat: 48
[87] Q.S ibrohim: 11
[88] H.R turmudzi
[89] Ar-risalah al-qusyairiah 76
[90] Miroj at-tasyawuf hal 7
[91] Q.S Luqman: 14
[92] H.R abu daud
[93] Q.S ad duha: 11
[94] Q.S as-saba 13
[95] Q.S an-nahl: 53
[96] Q.S ali imron 31
[97] H.R turmudzi
[98] Tarifat hal: 110
[99] H.R turmudzi
[100] H.R bukhori
[101] Q.S al-an’am 75
[102] Q.S al-kahfi 79
[103] Tarikh khulafa 127
[104] Tafsir qurtubi
[105] Faid al=qodir ayarah jami as-shoghir juz 5/hal 342
[106] Q.S maryam: 25-26
[107] Q.S al-qoshos 7. Tafsir rozi juz 2 hal 669
[108] Q.S ali imron 42
[109] Q.S yusuf 109
[110] Tafsir rozi juz 5 hal 682
[111] Q.S al-imron 34
[112] H.R Bukhori dan Muslim
[113] H.R Bukhori dan muslim
[114] H.R bukhori
[115] H.R bukhori
[116] Jami karomah al-auliya juz 1 hal 20
[117] H.R al-hafiz abu bakar al-Khotib dikitab tarikhnya dengan sanad yang hasan
[118] H.R abu Naim dikitabnya hilyah.
[119] Al-fatah ar-robbani 29
[120] Thobaqot sufiah hal:210
[121] Ar-Risalah al-Qusyairiah hal 27
[122] Ar-Risalah Al-Qusyairiah hal 16
[123] Qowaid tashowuf 72
[124] H.R bukhori
[125] At-tashowuf al-islami hal 82
[126] Lathoif al-minan wa akhlaq hal 190-191
[127] Al-yawaqit wal jawahir fibayan aqoid al-kabair juz 1/hal 8
[128] Al-fatawa al-hadistah hal 149
[129] Al-yawaqit wal jawahir hal: 22
[130] Futuhat bab 54
[131] Al-fatawa al-hadistah hal 216
[132] Al-futuhat al-makiyah , yawaqit al jawahir juz 1 hal 80
[133] Al-hawi lilfatawa juz 2 hal 134
[134] Majmu fatawa juz 11/hal 73
[135] Majmu fatawa ibnu taimiah Hal 52
[136] Lathoif al-minan wa akhlak juz 1/ hal 127
[137] Qowanin hukmi al-isyroq ila kaffati sufiah fi jamiil afaq hal 58
[138] H.R ahmad
[139] Qowanin hukmi al-isyroq hal: 59
[140] H.R Bukhori
[141] Q.S Shof 8
[142] Syarah ainul ilmi wa zainu al hilmi juz 1/hal 33
[143] Tayid al-haqiqoh al-aliyah 15
[144] Ghoda al-albab syarah mandzumah al-adab juz 1/ hal 120
[145] Risalah Al-Qusyairiah hal 2
[146] Al-farqu bainal firoq hal:189
[147] I’tiqodat firoq al-muslimin wal musyrikin hal 72
[148] Al-munqidz mina dolal hal: 131
[149] Nur at-tahqiq 96
[150] Maqosid hal: 22
[151] Majmu’ fatawa juz 10/ hal 516
[152] Al-muslim majalah al-asyiroh al-muhamadiah tahun 1373h bulan dzul qo’dah
[153] Muqodimah ibnu kholdun hal 329
[154] Muid an-naim wa mubid an-naqom hal 119
[155] Ta’yid al—haqiqoh al-aliyah hal: 57
[156] Syifa al-alil wa balul al-golil fi hukmil wasiah bil khotamat wat tahalil hal 172
Kata tashowuf itu mustaq dari shufah ( الصُوْفَة ) karena kemurnian bersama Allah seperti kemurnian yang terbuang, karena penyerahan dirinya hanya semata-mata untuk Allah.
Sebagian berpendapat: mustaq dari shifah ( الصِّفَة ), karena keseluruhannya membahas sifat-sifat kebaikan dan meninggalkan sifat-sifat tercela.
Sebagian berpendapat yaitu yang dipilih abul Fatah al-Basti: mustaq dari shofa ( الصفاء ).
Sebagian derpendapat: mustaq dari shuffah ( الصُفّة ) karena pelakunya mengikuti ahli shuffah.
Imam al-Qusairi berpendapat: mustaq dari shofwah ( الصّفْوة ).
Ada yang berpendapat: mustaq dari shof ( الصَّف ) seakan-akan mereka berada dibarisan pertama, karena kehadiran hati mereka bersama Allah SWT, dan mereka selalu paling awal dari semua ketaatan.
Ada yang berpendapat: mustaq dari tasowuf ( التَصَوُف ), penisbatan kepada pemakaian baju dari bulu domba yang tebal, karena ketika itu para sufi mengenakan pakaian yang rendah untuk hidup sengsara dan tidak bermewah-mewahan.
Dan pengingkaran sebagian orang dengan mengatakan bahwa kata atau istilah tashowuf itu belum ada pada zaman kenabian merupakan pengingkaran yang batil, karena sangat banyak istilah-istilah yang muncul setelah masa kenabian kemudian tidak diingkari seperti nahwu, mantiq, dan fiqih.
Dan kita tidak terlalu mempentingkan istilah-istilah diatas, dan yang terpenting ilmu tashowuf itu membahas tentang tazkiah nufus, pemurnian hati, pembenahan akhlak, dan penyampaian kepada martabat yang baik, kemudian kami beri nama ilmu tashowuf. Dan jika mereka ingin memberi nama dengan nama selain tashowuf, maka tidak masalah bagi kami, tetapi ulama umat dari turun temurun telah menamakannya ilmu tashowuf.
Perkembangan ilmu tashowuf
Dokter Ahmad alwasy berkata: banyak manusia bertanya-tanya: kenapa dakwah tashowuf tidak berkembang pada permulaan islam, dan tidak nampaknya dakwah ini pada masa sahabat dan tabiin. Untuk menjawab pertanyaan ini: bahwasannya dakwah tashowuf pada kala itu terasa belum dibutuhkan, karena ahli pada zaman itu tergolong ahli taqwa, wara’, para mujahadah, dan menerima perkara ibadah berdasarkan tabiat mereka dan dikarenakan pula hubungan mereka yang dekat dengan Rasulullah SAW. Mereka selalu berlomba-lomba untuk berpanutan kepada nabi disetiap perbuatannya. Maka dakwah tashowuf terasa belum dibutuhkan, sepertihalnya bahasa arab, mereka sehari-harinya selalu bercakap-cakap dengan bahasa arab yang fashih, bahkan sebagian mereka berbicara dengan gaya bahasa dengan penuh balaghoh yang tinggi, hal itu mereka dapatkan berdasarkan warisan dari bapak-bapaknya tanpa belajar ilmu nahwu, shorof, balghoh dll. Tetapi ilmu nahwu dan bahasa terasa dibutuhkan ketika rusaknya gaya bahasa arab yang murni dan lemahnya mengungkapkan atau orang-orang ajam ingin mempelajarinya, atau ilmu ini terasa penting dibukukan. Begitu juga ilmu-ilmu yang lain seperti tafsir, hadist, fiqih dan tashowuf, ketika terasa dan penting dibukukan, maka ulama-ulama yang ahli dibidangnya sibuk membukukan ilmu tersebut.
Begitu juga pada tiga masa ini, mereka tergolong paling sucinya umat islam dan paling baiknya masa, maka dari itu nabi SAW bersabda: “sebaik-baiknya masa adalah masaku ini, kemudian setelahnya, dan setelahnya”. H.R Bukhori
Ketika wilayah islam semakin luas, semakin banyak umat islam, semakin luas pula wilayah keilmuan, maka orang-orang yang memiliki keahlian mulai membagi-bagi untuk membukukan berbagai bidang study. Munculah pembukuan ilmu fiqih pada masa pertama, kemudian tauhid, hadist, usuluddin, tafsir, mantiq, mustholah hadis, ilmu usul, faroid dll.
Kemudian muncul setelah itu kelamahan rohaniah mereka sedikit demi sedikit, dan kebanyakan orang lalai untuk menyambut dalam beribadah kepada Allah, sehingga orang-orang yang selalu riyadoh dan penuh kejuhudan merasa terpanggil untuk membukukan ilmu tashowuf, dan menetapkan kemulyaan, keagungan ilmu tashowuf dibanding ilmu yang lain. Bahkan mereka menyempurnakan kelemahan-kelemahan itu sehingga terjadilah saling membantu dalam memperoleh kebaikan dan ketakwaan.
Sayid Muhammad Siddiq al-Ghimari berkata: “..ketahuilah bahwa Thoriqoh itu asasnya merupakan wahyu samawi, yang terkumpul didalam asas agama, yaitu tidak diragukaan lagi bahwa thoriqoh itu merupakan ihsan, salah satu arkan ad-din (tiang-tiang agama) yang tiga, yang nabi menjadikannya din (agama) setelah menjelaskan satu persatu, dengan sabdanya: “ini adalah jibril yang datang kepada kalian mengajari perkara agama kalian”. Islam merupakan ketaatan dan ibadah, dan iman merupakan cahaya dan aqidah, sedangkan ihsan merupakan maqom muroqobah (perhatian) dan musyahadah (persaksian): “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, walaupun engkau tidak meihat-Nya tetapi Dia melihatmu”.[5]
Ibnu kholdun berkata: “ilmu ini (pen: tashowuf) termasuk ilmu yang baru didalam islam, dan asalnya, bahwa thoriqoh (cara/jalan) mereka itu masih seperti orang salaf dan pembesar-pembesar sahabat dan tabiin, dan setelahnya merupakan thoriqoh yang hak dan berpetunjuk...dan ketika meluasnya kecintaan manusia pada dunia ketika abad ke 2h dan setelahnya, dan manusia dipermudah untuk bercampur dengan keduniaan, maka orang-orang yang cinta kepada ibadah mengkhususkan diri dengan nama sufiah.[6]
Abu Abdullah Muhammad al-ghimari berkata: “dan pendapat yang mendukung pendapatnya ibnu kkholdun mengenai munculnya nama tashowuf adalah, apa yang al-kindah (hidup pada abad ke 4h) sebutkan dikitabnya wulatumisri: “kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun ke 200h: bahwasannya telah muncul dikota al-iskandariah sekelompok orang yang mengatasnamakan sufiah yang mana mereka itu memerintahkan kepada kebaikan”. Begitu juga yang al-masudi sebutkan dikitabnya murujud ad-zahab: “mengkisahkan tentang yahya bin akstam, beliau berkata: bahwa orang-orang mukmin ketika itu sedang duduk-duduk, tiba-tiba ali bin sholeh al-hajib masuk dalam perkumpulan itu, kemudian berkata: wahai amir al-muminin, ada laki-laki yang berdiri didepan pintu mengenakan pakaian putih lagi tebal, memohon masuk untuk berdiskusi, dan aku mengetahui bahwa dia itu sebagian kelompok sufi...dan disebutkan dikitab kasyfu ad-zunun “bahwa orang pertama yang mengaku sebagai sufi adalah abu hasyim as-syufi yang wafat pada tahun 150h”.[7]
Haji kholifah berkata: “ketahuilah bahwa orang-orang muslim setelah wafatnya nabi SAW tidak memberi nama pembesar-pembesar mereka dengan nama khusus kecuali dengan sebutan sahabat Rosulullah SAW karena tidak ada yang lebih utama dari mereka...kemudian muncul kebid’ahan, sehingga muncul pengakuan-pengakuan setiap kelompok, setiap kelompok mengaku bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang zuhud, maka menyendirilah orang yang khusus pengikut sunah yang hanya menampakan diri mereka bersama Allah SWT, menjaga hati mereka dari jalan-jalan kelalaian, (mereka) dinamakan tashowuf.[8]
Dari sini telah jelas bagi kita bahwa tashowuf bukanlah perkara yang baru yang dibuat-buat, tetapi diambil dari perjalanan Rosulullah SAW dan kehidupan sahabat-sahabatnya yang mulia.
Pentingnya ilmu tashowuf (ilmu hati)
Sesungguhnya kewajiban-kewajiban syariat yang diperintahkan kepada manusia kembali kedalam dua bagian: hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan yang dzohir (berhubungan dengan badan dan tubuh manusia), dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan yang batin (berhubungan dengan hati).
Perbuatan-perbuatan badan/dzohir dibagi dua: perintah seperti: sholat, puasa, zakat dll, Dan larangan seperti: membunuh, zina dll. Sedangkan perbuatan-perbuatan hati/batin juga dibagi dua: perintah seperti: beriman kepada Allah, malaikat, jujur dll, dan larangan seperti: ujub, kufur, riya, dll. Dan bagian yang kedua ini lebih penting dari bagian yang pertama menurut syariat, walaupun kedua-duanya sama pentingnya, karena batin/hati itu asasnya dzohir/badan, dan perbuatan hati merupakan pemula untuk berbuat keperbuatan zohir, jika batinnya rusak maka perbuatan-perbuatan zohirnya pun rusak, karena itu Allah berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.[9] Karena itu pula dikala itu Rasulullah SAW selalu mengarahkan kepada para sahabatnya untuk memperbaiki hati-hati mereka, dan menjelaskan kepada mereka bahwa baiknya manusia itu tergantung dengan baiknya hati juga terhindar dari penyakit-penyakit yang tersembunyi, beliau bersabda: “tidaklah, sesungguhnya didalam jasad terdapat segumpalan darah, apabila segumpalan darah itu baik maka semua jasadnya pun baik, jika rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Tidaklah, itu adalah hati”.[10]sebagaimana Rasulullah mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya bahwa tempat yang Allah lihat daripada hambanya itu adalah hati: “sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh kalian, tidak pula rupa wajah kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian”.[11]
Imam sayuti berkata: “adapun ilmu hati dan mempelajari penyakit-penyakitnya seperti iri, ujub, riya, dan semisalnya, maka gozali berpendapat: bahwa mempelajarinya merupakan fardu aini”.[12]
membersihankan hati dan mendidik diri merupakan paling pentingnya kewajiban yang aini dan paling wajibnya perintah tuhan berdasarkan dalil-dalil qur’an, sunah dan pendapat ulama.
1. Dalil dari kitab, firman Allah SWT: “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”[13]dan firman-Nya: “dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi”[14]. Dan perbuatan-perbuatan keji yang tersembunyi sebagaimana ahli tafsir menafsirkannya itu adalah; iri, ria, dengki dan munafiq.
2. Dalil dari sunah, semua hadist yang melarang sifat iri, dengki dan ria, dan semua hadist yang menganjurkan untuk berakhlak baik dan bergaul dengan cara baik. Rasulullah bersabda: “keimanan itu sebagian dari 70 cabang, dan cabang yang paling tinggi adalah perkataan lailaha illa Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan penggangu pejalan dari jalanan, dan malu itu sebagian cabang keimanan”[15].
3. Pendapat-pendapat ulama:
Al-alamah ibnu abidin berkata: “sesungguhnya mengetahui keikhlasan, ria, iri merupakan fardu ain hukumnya”[16], ala udin berkata: “telah jelas dalam nash-nash syari’ dan ijma mengenai pengharaman sifat iri juga (diharamkan) mencela orang-orang muslim”[17], berkata pengarang kitab muroqi al-falah: “tidak ada manfaatnya suci secara dzohir kecuali bersamaan dengan suci secara batin, dengan ikhlas..”.
Bab kedua: manhaj bertashowuf
Persahabatan
Sesungguhnya persahabatan itu memiliki bekas yang dalam bagi seseorang baik berupa akhlaknya maupun suluknya, dan teman biasannya itu memperhatikan sifat temannya yang lain kemudian timbul rasa untuk berpanutan kepadanya dan membekaslah kerohaniannya kepadannya, dan manusia juga secara tabiat harus bergaul kepada sesama manusia, diantara mereka pasti terdapat teman dan kawan dekat, jika dia memilih teman yang tergolong rusak dan nakal maka akan menjadi rendahlah akhlaknya dan dia tidak merasakan hal itu sehingga sampai kederajat yang paling rendah dan ia terjatuh, tetapi jika ia berteman dengan golongan yang beriman, bertakwa, istiqomah, dan memiliki marifah kepada Allah, maka meningkatlah akhlaknya, dan dia berprilaku dengan akhlak yang tegak, keimanan yang mantap, sifat yang agung dan ia mengenal aib pada dirinya.
Dalil pentingnya bersahabat: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”[18]. Yang dimaksud orang-orang yang benar adalah: mereka ahli shofwah (suci) dari golongan muslimin yang Allah sifatkan pada firman-Nya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah”[19].
Dalil dari hadist: Rasulullah SAW ditanya: wahai Rasulullah tempat berkumpul mana yang paling baik?, beliau menjawab: “jika kalian melihatnya maka kalian akan mengingat Allah, dan bertambah semangat beribadah kalian, dan perbuatannya mengingatkanmu pada akhirat”.[20]
Ibnu hajar berkata: “selayaknya seorang yang mencari jalan Allah itu sebelum sampai kepada marifat ini, dia taati perintah ustadznya dari dua cabang syariaah dan hakikat, sesungguhnya dia adalah seorang thobib yang paling agung, dengan kemampuannya mengetahui dzauq dan hukum ketuhanan, maka dia akan memberi setiap badan dan diri yang terasa layak dalam mengobatinya, dan lebih baik dalam memberi makannya”.[21]
Abu mudayan berkata: “barang siapa yang tidak mengabil adab kepada orang-orang yang beradab, maka rusaklah orang yang mengikutinya”.[22]
Abu ali astaqofi berkata: “kalau seandainya seseorang memiliki semua ilmu, dan bersahabat dengan suatu kelompok, maka tidaklah ia mencapai drajat yang tinggi kecuali melakukan riyadhoh dengan bimbingan syekh yang beradab yang penuh nasehat.”[23]
Pewaris sunah Muhammad SAW
Terkadang penanya bertanya: bagai mana mencari petunjuk kepadanya?, bagai mana sampai kepada marifatnya, apa syarat-syarat dan sifat-sifatnya?.
Ketika seorang yang sakit yang benar-benar membutuhkan seorang thobib untuk menyembuhkan penyakitnya, maka baginya untuk jujur dengan azamnya, meluruskan niatnya, dan memohon kepada Allah SWT dengan hati yang rapuh, berdoa kepadanya ditengah malam, ketika sujud dan akhir sholatnya: “yaa Allah berilah aku petunjuk kepada seorang petunjuk yang memberi petunjuk kepada jalan-Mu, dan sampaikanlah kepada seorang yang menyampaikan jalan kepada jalan-Mu”.
Carilah dinegaranya, memeriksa dan bertanya mengenai seorang Musyid, carilah dengan teliti dan hati-hati, janganlah lalai, terkadang seseorang merasa kehilangan Mursyid dizaman sekarang.
Jika tidak mendapatkan Mursyid dinegaranya, maka carilah dinegara yang lain, bukankah seorang yang sakit jika tidak mendapatkan dokter dinegaranya, atau mendapatkan tetapi lemah untuk mengobati penyakitnya, maka dia akan pergi ke negara lain untuk mencari dokter yang ahli pada penyakitnya.
Untuk seorang Mursyid harus memiliki empat syarat:
1. Alim atau mengetahui kewajiban-kewajiban seperti sholat, puasa, hukum-hukum Muamalah, dan mengetahui aqidah ahlu sunah wal jamaah.
2. Arif atau mengetahui Allah SWT, dan seyogyanya seorang mursyid memenuhi secara pasti aqidah ahlu sunah wal jamaah dengan perbuatan dan perasaan setelah dia menguasai ilmu dan diroyahnya. Dan bersaksi bahwa Allah SWT esa dzat, sifat dan perbuatan-Nya.
3. Memiliki kemampuan dan skill dijalan thoriqohnya dalam mensucikan diri dan perantara-perantara dalam membina muridnya.
4. Mendapatkan izin dari syekhnya untuk memberi petunjuk, membimbing dan membina muridnya. Seperti izin dengan ijazah. Sebagaimana seorang dokter tidak diizankan mengobati pasiennya kecuali dengan ijazah, begitu juga seorang mursyid, ia tidak diizinkan membimbing muridnya kecuali setelah mendapatkan ijazah dari syekhnya, sebagaiman dokter yang bodoh yang bukan ahlinya tidak diizinkan mengobati pasiennya, maka seorang Mursyid yang tidak memiliki kemampuan dan skill dalam membina muridnya, tidak diperbolehkan irsyad kepada yang lainnya.
Ibnu Sirrin bersabda: “sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah kepada siapa kalian menimba agama kalian”.[24]
Rasulullah SAW bersabda: “wahai ibnu umar agamamu, agamamu, sesungguhnya agamamu itu daging dan darahmu, maka lihatlah kepada siapa engkau menimbanya, ambilah agama kepada orang-orang yang istiqomah,, dan janganlah mengambil kepada orang-orang yang melenceng”.[25]
Kemudian ketahuilah, bahwa seorang Mursyid itu terdapat ciri-ciri yang mungkin kita perhatikan: bahwasannya jika engkau duduk bersamanya, engkau akan merasakan sentuhan keimanan, mabuk kedalam kerohanian, ia tidak berbicara kecuali berbicara tentang Allah, ia tidak berkata kecuali berkata yang baik-baik dan sebuah nasehat, engkau mendapatkan faidah dari persahabatannya sebagaimana engkau mendapatkan faidah dari perkataannya, engkau bermanfaat ketika dekat bersamanya sebagaimana bermanfaat ketika jauh darinya, engkau berfaidah dengan pandangannya sebagaimana berfaidah dengan ucapannya. Dan engkau akan melihat teman-teman dan muridnya sebuah keimanan, ketakwaan, keikhlasan, ketawadu’an. Begitu juga engkau akan melihat murid-muridnya menyerupai tingkatan-tingkatan yang berbeda, sebagaimana kedaan para sahabat kala itu.
Mengambil perjanjian
Sebagaimana firman Allah SWT: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”[26]
Ketika bai’ah (perjanjian) dilakukan dengan cara ikhlas karena Allah semata, maka Allah memperingati kita untuk memenuhinya, Allah berfirman: “dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.[27]
Adapun dalil bai’ah dari hadist nabi SAW, beliau bersabda: “bai’atlah (ambilah perjanjian) aku untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak mendatangi kebohongan yang melemahkan antara kedua tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam kebaikan, maka barang siapa memenuhi janji ini diantara kalian, maka ganjarannya ada pada Allah, barang siapa melanggar salah satu diatas dan diberi hukuman didunia maka hukuman itu penghapus kesalahannya, dan barangsiapa melanggarnya kemudian Allah menyembunyikan kesalahan itu maka itu tanggung jawab Allah, jika Allah berkehendak Allah memaafkannya, atau menghukumnya, maka bai’atlah kami atas perkara tersebut”.[28]
Kesimpulan: bahwa sahabat R.A membai’at Rasulullah SAW dengan keadaan yang berbeda-beda, ada yang dibai’at tentang islam, perbuatan-perbuatan dalam islam, hijrah, kemenangan, jihad, kematian dll.
Kemudian para pewaris nabi dari para Mursyid syufiah mengambil manhaj kenabian dalam hal bai’ah disetiap zaman. Ustadz an-Nadawi berkata: “bahwa syekh abdul qodir jailani membuka pintu bai’ah dan taubat dikedua gerbangnya, masuk kedalamnya orang-orang muslim disetiap penjuru dunia, mereka memperbaharui perjanjian dan kepercayaan kepada Allah, dan berjanji untuk tidak musryik, tidak kufur, tidak berbuat kefasikan...kemudian membaiklah keadaan-keadaan mereka, keislaman mereka, dan syekh selalu menaungi dan mendidik mereka..”[29]
Perpindahan izin
Sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada hari ini, perpindahan izin, talqin dan perjanjian dari seorang Mursyid ke Mursyid berikutnya telah berjalan, sehingga sampailah kepada kita tali rantai itu, para sufiah menyebut perkara ini (izin, talqin dan perjanjian) dengan nama qobdhoh (genggaman), masing-masing saling bertemu, dan saling menggenggam tangan satu dengan yang lainnya, seakan-akan energi positif dan negatif saling bertemu, sehingga munculah aliran listrik dan menyambunglah sanad.
Dan mereka para Mursyid sufiah adalah yang sebagai mana nabi sabdakan: “ulama adalah pewaris para nabi”.[30]
Adab seorang murid
Adab seorang Murid dengan syekhnya/mursidnya ada dua macam: adab secara batin, seperti: menyerahkan dirinya untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang syekhnya, dan tidak menentang kepada thoriqoh yang syekhnya ajarkan, karena syekhnya memiliki kemampuan dan skill yang lebih dari pada muridnya, dan tidak berkeyakinan bahwa syekhnya terhindar dari dosa, karena walaupun mencapai drajat tinggi tetapi beliau tidak terjaga dari dosa, terkadang berbuat salah dengan tidak dirasakan, dan berkeyakinan mengenai kesempurnaan syekhnya dalam mendidik dan memiliki keahlian dalam memberi petunjuk kejalan Allah, dan mensifati syekhnya dengan kejujuran, keikhlasan bersahabat dengan syekhnya, mengagungkannya dan menjaga kehormatannya baik beliau ada atau tidak ada, dan mencintai syekhnya dengan penuh kecintaan tanpa mengurangi kecintaan pada syekh-syekh yang lain, dan tidak mencari syekh lain sehingga terjadi kecemburuan.
Sedangkan adab secara dzohir, seperti: menyetujui perintah dan larangan syekh, duduk dengan sakinah, tenang dan penuh wibawa ketika dimajlisnya, bersegera berkhidmat kepadanya sesuai kemampuannya, selalu hadir dimajlisnya, sabar terhadap bimbingannya dan tidak menukil perkataan syekhnya kepada orang-orang kecuali sebatas apa yang mereka pahami.
Mujahadah (sungguh-sungguh) diri dan bertazkiah (mensucikan diri)
Al-Asfahani berkata: Mujahadah atau jihad adalah menghabiskan seluruh daya dan upaya dalam menolak musuh, jihad ada tiga macam: berjihad melawan musuh yang nyata, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan nafsu, tiga macam ini masuk kedalam firman-Nya ta’ala: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”.[31]
Dalil mujahadah dalam qur’an: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.[32]
Dalil dari hadist: “mujahid adalah yang berjihad melawan nafsunya karena Allah”.[33]
Syekh abdul Ghoni an-Nablisi berkata: “mujahadah melawan nafsu merupakan suatu perbuatan ibadah, tidaklah seorang mendapatkannya kecuali dengan menggunakan ilmu, dan hukumnya fardu aini bagi setiap orang yang mukalaf.
Jalan pertama dalam bermujahadah adalah tidak adanya keridhaan terhadap nafsunya dan mempercayai bahwa nafsu itu memerintahkan kepada kejelekan, dan juga pengetahuannya bahwa nafsu itu paling besarnya permutus hubungan dengan Allah. Ketika bermujahadah dari segi zohir (seperti: menjaga mata, telinga, kedua tangan dan kaki, perut, lisan dan kemaluan dari kemaksiatan dan menggunakannya kepada ketaatan) selesai, maka berlanjut kemujahadah dari segi batin (seperti: mengganti sifat-sifat yang kurang seperti sombong, ria dan marah kepada sifat yang sempurna seperti rendah hati, ikhlash dan kasih sayang).
Abu ustman al-maghribi berkata: “barang siapa yang menyangka dia akan dibukakan hatinya ketika berthoriqoh atau akan diperlihatkan sesuatu yang ghoib dengan tanpa mengharuskan dirinya untuk bermujahadah, maka dia dalam kesalahan”.[34]
Imam juned berkata: “aku mendengar as-sirri as-saqoti berkata: wahai para pemuda bermujahadahlah sebelum berumur seperti umurku sehingga kalian akan lemah dan lalai sebagaimana aku lemah dan lalai (dalam beribadah), ketika itu beliau tidak menemukan para muda yang beribadah”.[35]
Jika dikatakan: bahwa golongan tashowuf mengharamkan apa yang Allah halalkan dari segala macam kenikmatan dan kesenangan, padahal Allah telah berfirman: “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?".[36]
Al-hakim at-tirmidzi menjawab (ringkasannya): “dalil yang mereka pakai ini merupakan suatu kebohongan, karena kita tidak mengharamkan apa yang Allah halalkan, tetapi kita mendidik nafsu, sehingga tau apa yang harus diperbuat, bukankah Allah berfirman: “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”[37], perbuatan keji kepada perkara halal merupakan perbuatan yang haram, membanggakan diri itu haram, ria itu haram, adapun melarang nafsu dari kesenangan dan kenikmatan itu karena hati condong kepadanya sehingga rusaklah hati. Ketika aku tau bahwa nafsu itu memakai semua kenikmatan dunia dengan tujuan berbangga-bangga dan ria, maka sekarang aku telah mencampur antara halal dan haram, sehingga hilanglah rasa syukur, sesungguhnya kita itu diberi rizki untuk bersyukur bukan untuk menjadi kufur, ketika aku melihat kejelekan nafsu, maka aku melarang nafsu untuk melakukan perkara itu, dan tuhanku memperlihatkan kepadaku bagaimana cara bermujahadah yang sesungguhnya, sehingga Dia memberikan petunjuknya kepadaku sebagaimana janji-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”.[38]
Sebagian orang menyangka bahwa cara ibadah yang dilakukan dalam ajaran tashowuf itu sebagimana cara yang dibakai agama budha atau hindu dengan bercampur juga kepada ajaran-ajaran nasroni dengan cara mengadzab diri mereka untuk berpuasa, bermujahadah, meninggalkan kesenangan dunia dll, atau mereka seperti tiga orang yang datang kepada nabi, salah satu dari mereka ingin berpuasa seumur hidup, yang satu ingin sholat malam, yang satu ingin tidak menikah, kemudian nabi melarang mereka melakukan hal itu.
Maka jawabannya adalah: ajaran tashowuf itu bukanlah ajaran yang baru, tetapi suatu ajaran yang memperaktekan apa yang ada dalam agama Allah, dan prilaku Rosulullah SAW. Alasan orang yang mengatakan seperti itu, karena mereka mendapatkan bahwa dalam ajaran tashowuf itu ditemukan ajaran-ajaran seperti tazkiah nafs, membimbing diri, dan bermujahadah berdasarkan asas syariah, kemudian mereka mengkiaskan ajaran ini seperti ajaran orang-orang budha dengan qias yang buta tanpa membedakan terlebih dahulu. Dan jika seandainya dalam sejarah didapatkan seorang sufi melakukan ajaran seperti ajaran orang budha, maka dia tergolong orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang jauh dari ajaran tashowuf, maka dari itu seyogyanya dibedakan antara orang sufi dan ajaran tashowuf, tidaklah bisa dijadikan seorang sufi penggambaran ajaran tashowuf, sebagaimana seorang muslim penggambaran agama islam.
Dzikir
Dalil dari qur’an: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”.[39]
Dalil dari hadist: “perumpamaan seorang yang berzikir kepada Allah dengan seorang yang tidak berzikir kepada Allah seperti orang yang hidup dan yang mati”.[40]
Mujahid berkata: “tidaklah seorang tergolong mengingat Allah (ahli dzikir) kecuali jika dia berzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring”.[41]
Jika dikatakan: berzikir yang dimaksud adalah mengetahui perkara yang halal dan yang haram. Maka jawabannya: bahwa lafaz dzikri itu lafaz yang musytarok (saling mengikuti) maknanya, antara pengetahuan, qur’an, sholat dan mengingat Allah, tetapi yang dipakai pada lafaz yang musytarok adalah yang paling sering dipakai menurut kebiasaan, dan lafaz musytarok juga dipakai kemakna yang jarang dipakai jika ada qorinah (pembantu) kepada makna tersebut. Sedangkan lafaz zikir kebanyakannya dipakai kedalam makna mengingat Allah.
Imam qusyairi berkata: “dzikir merupakan rukun yang kuat untuk mencapai kebenaran subhanahu wata’ala, bahkan dzikir itu tiangnya thoriqoh ini, tidaklah seseorang sampai kepada Allah ta’ala kecuali dengan selalu berzikir”.[42]
Zikir terbagi dua: zikir sir (pelan/rahasia) dalil: “sebaik-baiknya dzikir adalah zikir secara rahasia”, dan zikir jahar (keras) dalil: “jibril mendatangiku dan berkata: perintahkanlah sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suara dengan bertakbir”[43]. Imam sayuti mengumpulkan 25 hadist kesunahan berzikir dengan keras dirisalahnya natijah al-fikr fil jahr bizikr. Untuk mengumpulkan dua dalil yang saling bertentangan ibnu abidin berkata dihasyiahnya: sesungguhnya hal itu berbeda-beda sesuai tabiat dan keadaan, jika ditakutkan ria, menggangu orang yang sholat atau yang tidur, maka zikir pelan afdhol, tetapi jika tidak ada hal-hal itu maka zikir keras afdhol karena lebih banyak membutuhkan tenaga, juga manfaatnya tersebar kepada pendengarnya dan membangunkan hati pezikir sehingga berkumpulah kemauannya untuk bertafakur, pendengarannya hanya tertuju kepadanya, menolak tidur dan bertambah semangatnya”
Zikir secara berjamaah lebih utama dari pada zikir sendiri, karena dengan berjamaah hati mereka saling bertemu, saling membantu, saling menjawab, yang kuat membantu yang lemah, yang gelap dibantu oleh yang terang yang bodoh ditolong oleh yang alim. Dalil: “apabila kalian melewati taman-taman surga maka perhatikanlah”, sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan taman-taman surga? Nabi menjawab: “halaqoh (lingkaran/perkumpulan) berzikir”.[44]
Dalil kebolehan berzikir dengan nama Allah, “tidaklah terjadi hari qiamat sehingga tidak ada yang mengucapkan dimuka bumi ini kalimat: Allah, Allah”.[45]
Mencium tangan seorang ulama dan orang tua termasuk sebagian dari adab dan penghormatan dan hal itu dibolehkan, sedangkan mencium tangan raja atau pemimpin makruh hukumnya, dalil kebolehan mencium tangan”dari zari’ berkata: “kemudian kami bersegera pergi kemudian kami mencium tangan Rasulullah SAW dan kakinya”.[46]
Berdiri sebagai penghormatan kepada seorang ulama atau orang sholeh boleh hukumnya bahkan tergolong kedalam adab islam. Imam nawawi memiliki risalah khusus mengenai permasalahan ini yang berjudul risalah at-tarkhis bil qiyam liahli fadl Dalil: abu hurairoh berkata: “kami berbincang-bincang bersama Rasulullah, jika beliau berdiri, maka kami berdiri menghadapnya, sehingga kami melihat beliau telah masuk”.[47]
Sedangkan menggerakan kepala atau badan ketika berdzikir merupakan perkara yang bagus, karena membuat tubuh semangat untuk beribadah, dalil: anas R.A berkata: “ketika itu orang-orang habasyah bergoyang-goyang dihadapan Rasulullah SAW, dan berkata dengan bahasa mereka: Muhammad hamba yang sholeh, kemudian nabi bertanya: “apa yang mereka katakan”, dikatakan: “mereka berkata: “Muhammad hamba yang sholeh, ketika beliau melihat mereka melakukan perkara itu, beliau tidak mengingkarinya bahkan mengikrarkannya”.[48]
Bernasyid dan membaca syair dimasjid juga mubah hukumnya, dalil: sai’d bin musyayab berkata: “umar melewati masjid dan ketika itu hasan sedang bernasyid, kemudian umar melihatnya (dengan wajah yang ingkar), kemudian hasan berkata: dulu aku bernasyid, dan disisiku terdapat seorang yang lebih baik darimu (Rasulullah SAW), kemudian aku menghadap abu hurairoh, kemudian beliau berkata: aku mengizinkanmu bernasyid karena Allah, apakah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “jawablah keinginanku, ya Allah kokohkanlah dia (hasan) dengan ruh kudus”?, dia menjawab: iya”.[49]
Menggunakan tasbih untuk berdzikir boleh hukumnya. Ibnu al-jauzi berkata: “sesungguhnya menggunakan tasbih itu sunah hukumnya, berdasarkan hadist sofiah, bahwa beliau bertasbih menggunakan biji korma dan krikil”. Ibnu Allan mengarang risalah yang membahas tentang tasbih dengan judul iqod al-mashobih limasyruiyati itikhodz mashobih.
Wirid adalah kesibukan dari membaca atau yang lain, menurut ahli tashowuf dinamakan juga adzkar, yang mana seorang syekh/mursyid memerintahkan muridnya untuk membaca setiap pagi dan petang. Dan apabila dia lupa membaca wirid ketika malam harinya maka seyogyanya membaca ketika pagi harinya, sebagai mana dijelaskan imam nawawi dikitabnya al-adzkar.
Al-mudzakaroh
Al-mudzakaroh adalah: seorang murid mengabarkan Mursyidnya berupa pertanyaan tentang hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan aqidah yang shohih atau ibadah, atau terjadi suatu pada hatinya, atau dia melakukan sesuatu penyakit hati seperti sombong dan iri, dan seluruh perbuatan yang yang kurang bagus. Atau seorang Murid melakukakan penyelewengan dari thoriqohnya dan meminta hukuman kepada Mursyidnya, atau seorang murid mendapatkan perkara yang baik seperti bermimpi bertemu nabi SAW kemudian bertanya kepada Mursyidnya mengenai tafsir dari mimpinya, dll.
Seorang Murid bermudzakaroh dengan mursyidnya, bagaikan seorang yang sakit menyebutkan gejala-gejala penyakitnya kepada dokter sehingga dokter memberi jalan keluar berupa obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
Dalil dari qur’an: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”,[50] “maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia”[51].
Dalil dari sunah: “orang yang diberi isyarat itu orang yang dipercaya”[52].
Jika ada yang berkata: mudzakaroh itu seperti menampakan kemaksiatan, karena seorang murid menceritakan kesalahan-kesalahannya kepada mursyidnya. Maka jawabannya: al-manawi berkata: “menceritakan kesalahan itu tercela jika dengan tujuan mujaharoh (merasa bangga dengan menampakan kesalahannya), dan hinaan, tetapi tidak tercela jika bertujuan untuk bertanya atau memita fatwa, dengan dalil seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya pada bulan Ramadhon, kemudian dia datang dan menceritakan kepada nabi SAW dan beliau tidak mengingkarinya”.[53] Begitu juga seorang murid yang datang kepada Mursyidnya, mereka menyebutkan kejadian-kejadian yang telah ia lakukan kepada mursyidnya supaya mursyidnya memberi jawaban dan jalan keluar dari masalahnya.
Kholwah (menyendiri)
Syekh ahmad Zarwaq berkata: “kholwah itu lebih khusus dari uzlah, yaitu dilihat dari segi dan penggambarannya itu seperti prilaku i’tikaf, tetapi dilakukan bukan didalam masjid, kemungkinan dahulu dilakukan dimasjid...sunah mengisyaratkan umur 40 tahun berdasarkan mauidah (perjanjian) nabi musa A.S...paling sedikitnya 10 hari karena nabi SAW beri’tikaf 10 hari...maksud berkholwah adalah membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang becampur, dan mengesakan hati hanya untuk berdzikir kepada Allah. ”[54]
Imam Ghozali berkata: “bahwa seorang syekh mengharuskan muridnya untuk mengambil pojokan agar (muridnya) menyendiri (dalam beribadah)..”
Dalil kholwah dari Qur’an: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan”. Abu saud menafsirkannya: “dan terus meneruslah untuk berdzikir kepada Allah SWT pada malam dan siang hari, dari segi apa pun..”[55]
Dalil dari hadist: aisyah berkata: “awal mulanya wahyu adalah bermimpi yang baik, beliau tidak bermimpi kecuali datang seperti terbitnya subuh, kemudian beliau senang berkholwah, ketika itu beliau menyendiri di goa hiro..”[56].
Jika dikatakan: perkara goa ini terjadi sebelum beliau diutus menjadi Rasul, hukum itu tidak berlaku kecuali setelah kerasulan?, maka Muhaddist al-Qostolani menjawab: “bahwa awal wahyu yang datang kepada nabi adalah mimpi yang baik, kemudian beliau senang berkholwah...ini menunjukan bahwa kholwah itu hukum yang tersusun setelah wahyu, karena kalimat kemudian menunjukan susunan, begitu juga kalau seandainya kholwah itu bukan ajaran agama, maka akan dilarang pelaksanaannya, tetapi kholwah itu perantara untuk mendatangkan yang hak..”[57]
Imam syafii berkata: “barang siapa yang ingin Allah bukakan hatinya, dan merizkikannya ilmu, maka berkholwahlah dan sedikitkanlah makan..”[58].
Kholwah dibagi dua: kholwah secara umum yaitu: menyendiri dari orang-orang mumin untuk mengkosongkan hatinya hanya untuk berdzikir kepada Allah, atau membaca qur’an, muhasabah diri, dll. Kedua kholwah secara khusus yaitu: dengan maksud mencapai martabat ihsan, hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan bimbingan seorang Mursyid, yang mengajarkan muridnya untuk berzikir dengan lafaz tertentu, dll.
Bab ketiga: thoriqoh (jalan) mencapai Allah
Taubah
Dalil qur’an: “mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya”.[59]
Dalil dari hadist: “wahai manusia bertobatlah kepada Allah dan meminta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya diriku bertobat setap hari 100 kali”.[60]
Syarat taubat ada tiga: melepas kemaksiatan, menyesal, dan berazam untuk tidak mengulanginya. jika maksiat yang berhubungan dengan makhluk maka ditambah syarat yang keempat, yaitu: melunasi hak-hak pemiliknya, apabila berupa harta maka mengembalikan hartanya, apabila berupa tuduhan atau ghibah maka meminta maaf kepadanya.
Muhasyabah
barang siapa bermuhasyabah (memperhitungkan) dirinya, maka dia tidak akan berjalan kepada kebatilan, karena dia menyibukan dirinya dengan ketaatan, dan dia mencela dirinya jika lalai untuk taat kepada Allah taala. Sayid ahmad ar-rifai berkata: “karena ketakutan (kepada Allah) akan timbul muhasyabah, dengan muhasyabah akan timbul rasa muroqobah (diperhatikan), dengan muroqobah maka dia akan terus menyibukan dirinya kepada Allah ta’ala”.[61]
Khouf (rasa takut)
Dalil qur’an: “tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”[62].
Abu sulaiman ad-daroni berkata: “tidaklah rasa takut berpisah dari hati kecuali ia akan rusak”[63], imam gozali berkata: “ketahuilah bahwa hakikatnya rasa takut adalah pedih dan terbakarnya hati disebabkan terjadinya hal-hal yang makruh dikemudian hari, terkadang hal itu terjadi karena dosanya yang mengalir, dan terkadang rasa takut kepada Allah terjadi karena mengetahui sifatnya Allah SWT yang wajib timbul rasa ketakutan dengan tanpa alasan, sebab kedua ini lebih sempurna dan lengkap, karena barang siapa yang mengetahui Allah maka akan timbul rasa takut dengan sendirinya, maka dari itu Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”[64].
Roja’ (harapan)
Dalil qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[65]
Ibnu ajibah berkata: “harapan yang umum adalah: memperbaiki perbuatan supaya mendapatkan pahala, harapan yang khusus adalah: mendapatkan surga dan kedekatan kepada tuhan, harapan khusus dari yang ksusus adalah: tenang dari persaksian dan bertambahnya drajat pada rahasia-rahasia raja yang disembah”.[66]
Jujur
Dalil qur’an: “Tetapi jikalau mereka benar/jujur (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka”[67].
dalil hadist: “tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran itu merupakan ketenangan, dan kebohongan itu merupakan keraguan”[68].
Imam gozali berkata: “ketahuilah bahwa lafaz kejujuran itu digunakan keenam makna: jujur dalam perkataan, jujur dalam niat, jujur dalam kemauan, jujur dalam berazam, jujur dalam melaksanakan azamnya, jujur dalam perbuatan, jujur dalam memenuhi semua perkara agama, barang siapa memiliki semua sifat jujur tersebut maka dia adalah seorang yang jujur”.[69]
Ikhlas
Dalil qur’an: “Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.[70]
Dalil hadist: “sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, maka beramalah hanya kepada-Nya”.[71]
Abul Qosim al-Qusyairi berkata: “ikhlash adalah mengesakan Allah SWT dalam ketaatan dengan berniat, yaitu ia hanya mau dengan ketaatan ini ia mendapat kedekatan disisi Allah tanpa perkara yang lain”[72].
Ibnu ajibah berkata: “ikhlas terbagi tiga: ikhlas umumnya orang yaitu: melakukan sesuatu hanya karena Allah dengan harapan mendapatkan anugerah di dunia dan di akherat, ikhlasnya orang khusus yaitu: dengan harapan mendapatkan anugerah di akherat, ikhlasnya orang khusus diantara yang khusus yaitu: beribadah hanya kepada Allah, dan ibadahnya kepada-Nya merupakan hak seorang hamba”[73]
Sabar
Dalil qur’an: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”.[74]
Dalil hadist: “tidaklah seorang diberi suatu pemberian lebih baik dan luas dari kesabaran”[75].
Sabar dibagi tiga: sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menahan diri untuk berbuat maksiat, dan sabar karena tertimpa musibah.
Wara’
Sayid al-Jaejani berkata: “Wara’ adalah menghindar dari perkara-perkara syubhat (belum jelas halal haramnya) karena ditakutkan melakukan perkara yang diharamkan”.[76]
Dalil hadist: “keutamaan orang ilmu lebih baik dari pada keutamaan ibadah, dan sebaik-baiknya agama kalian adalah yang bersikap wara’”.[77]
Zuhud
Ibnu al-jala berkata: “zuhud adalah melihat keindahan dunia dengan penglihatan yang rusak (bumi itu akan hancur), agar engkau memandang dunia itu rendah, sehingga memudahkanmu berpaling darinya”[78]. Bukan berarti jika seorang berzuhud dia meninggalkan pekerjaan/mencari uang, dan meninggalkan pencarian nafkah yang halal sehingga keluarganya terbengkalai. Rasulullah telah menjelaskan kepada kita maksud zuhud yng hakiki, beliau bersabda: “berzuhud didunia itu bukan dengan cara mengharamkan yang halal, bukan pula dengan membuang-buang harta, tetapi zuhud yang benar itu yang mana apa yang ada ditangan Allah itu lebih kokoh dari pada apa yang ada ditanganmu, dan menjadikan pahala musibah jika tertimpa musibah lebih engkau cintai, walau disisakan untukmu”[79].
Dalil qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”[80]
Dalil hadist: sahal bin sa’ad as-saidi berkata: datang seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan bertanya: wahai Rasulullah tunjukan kepadaku suatu perbuatan yang membuat Allah dan manusia cinta kepadaku, nabi bersabda: “berzuhudlah didunia maka Allah akan mencintaimu, dan berzuhudlah dengan apa yang ada ditangan manusia maka manusia akan mencintaimu”[81].
Ridho (rela)
Ibnu atho al-iskandari berkata: “ridho adalah: pandangan hati kepada yang qodim (lampau) pilihannya Allah SWT terhadap hambanya, dengan tanpa mengelak”.[82]
Dalil hadist: “termasuk dari kebahagiannya manusia adalah ridho dengan sesuatu yang Allah tetapkan..”[83].
Jika dikatakan: sesungguhnya perbuatan ridho itu menjadikan seorang mukmin menerima perbuatan orang-orang fasiq. Jawabnya: ini merupakan faham yang salah, apakah masuk akal seorang mukmin meruntuhkan hukum dari hukum-hukum Allah, yaitu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, padahal dia tau bahwa Allah itu tidak ridha kepada hambanya yang tidak menegakkan peraturan-Nya.
Jika dikatakan: penyebab ridho adalah seorang hamba meninggalkan doa kepada-Nya, dan melalaikan perantara menuju kebaikan dan mencegah keburukan. Jawabnya: termasuk perbuatan ridho adalah seorang mukmin melakukan perbuatan yang sampai kepada ridho yang dicintainya, dan meninggalkan segala perkara yang bertentangan dari-Nya. Dan salah satu perantara untuk mendapatkan ridho-Nya adalah menjawab perintahnya berdasarkan firmannya: “berdoalah kepadaku niscaya aku kabulkan”[84], kemudian meninggalkan penyebab-penyebab kebaikan merupakan perkara yang bertentangan dari peraturan-Nya, Allah berfirman: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”[85].
Tawakal
As-sayid berkata: “tawakal adalah kokoh dengan apa yang ada disisi Allah, dan cemas dengan apa yang ada ditangan manusia”.[86]
Dalil Qur’an: “Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal”.[87]
Daalil Hadist: “datang seorang laki-laki membawa ontanya, kemudian dia bertanya: wahai Rasulullah SAW apakah aku biarkan ontaku kemudian aku bertawakal?, nabi menjawab: “ikatlah ontamu kemudian bertawakallah”.[88]
Imam al-Qusyairi berkata: “tawakal itu tempatnya dihati, dan menampakan daya upaya itu tidak meniadakan tawakal dalam hati, setelah hamba itu yakin bahwa taqdir itu disisi Allah, dan jika dia memperoleh kesulitan maka itu adalah dari taqdir-Nya, jika amalnya sesuai dengan kemauannya maka itu karena dari kemudahan-Nya”.[89]
Syukur
Ibnu ajibah berkata syukur adalah: “gembiranya hati karena memperoleh kenikmatan, dengan menggunakan seluruh anggota badan untuk taat kepada-Nya, dan memperlihatkan kenikmatan pemberi nikmat dengan cara rendah hati’.[90]
Dalil Qur’an: “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.[91]
Dalil Hadist: “tidaklah seseorang bersyukur kepada Allah selama ia tidak bersyukur kepada manusia”.[92]
Syukur ada tiga: syukur lisan, yaitu menceritakan nikmat tersebut, Allah berfirman: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”[93], kedua syukur arkan, yaitu beramal karena Allah, Allah berfirman: “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah).”[94], ketiga syukur hati, yaitu bersaksi bahwa semua nikmat yang diberikan kepadamu dan kepada salah satu hamba itu dari Allah, Allah berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”[95]
Bab keempat: buah hasil dari ilmu tashowuf
Cinta ilahi (Allah)
Dalil Qur’an: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.[96]"
Dalil Hadist: “cintailah Allah karena memberikan nikmatnya kepada kalian, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah”[97].
Penyebab cinta kepada Allah ada sepuluh: membaca qur’an dengan tadabur dan memahami maknanya, mendekatkan diri kepada Allah dengan perkara-perkara yang disunahkan, selalu berdzikir kepada-Nya, melebihi kecintaan kepada-Nya dari pada cinta mu kepada dirimu sendiri, perhatian hatimu kepada nama dan sifat-Nya, bersaksi dengan kebaikan dan nikmat-nya baik yang nampak maupun yang tersembunyi, lemahnya hati jika berada dihadapan-Nya dengan penuh kerendahan dan kehinaan, kholwah, berkumpul dengan orang-orang sholeh, menjauhi perkara-perkara yang menyebabkan jauh dari Allah.
Ciri-ciri kecintaan kepada-Nya adalah: rindu ingin bertemu kepada-Nya, membekasnya apa yang Allah cintai kepada dirinya, selalu memperbanyak berdzikir kepada-Nya, selalu berkholwah dan membaca kitab suci-Nya, selalu menikmati ketaatan, kasih sayang kepada semua hamba Allah, cintanya merupakan rasa takut dengan penuh rasa kewibawaan
Salah seorang sufi melewati seseorang yang menangis didekat pemakaman, kemudian sufi itu bertanya: apa yang membuatmu menangis?, dia menjawab, kekasihku telah mati, sufi itu berkata: engkau telah menzolimi dirimu sendiri, mencintai seseorang yang mati, kalau seandainya engkau mencintai kekasih yang tidak akan pernah mati, maka engkau tidak merasa sedih dengan kepergiannya”
Kasyaf
Sayid berkata: firasat dari segi bahasa bermakna: tetap dan pandangan, sedangkan menurut istilah ahli hakikat: mukasyaf (terbuka) dengan rasa yakin, dan melihat dengan mata telanjang hal yang ghaib”[98].
Kasyaf adalah cahaya yang didapatkan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju Allah, yang mana Allah membukakan kepada mereka penutup paca indranya, dan menghilangkan penghalang-penghalang itu dari sisi mereka, ini merupakan hasil bagi mereka dalam bermujahadah, kholwah dan dzikir.
Dalil hadist: “berhati-hatilah dengan firasat orang-orang mukmin (yang sholeh) sesungguhnya mereka melihat dengan cahaya Allah”[99].
Kasyaf yang terjadi pada diri nabi adalah, Rasulullah SAW bersabda: “luruskanlah barisan kalian dan memepetlah kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggung ku”.[100]
Kasyaf yang dikisahkan dalam Qur’an, Allah berfirman: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin”[101].
Kasyaf yang terjadi pada nabi khidir, bahwa kapal yang ditumpanginya akan diambil secara paksa oleh raja yang zolim, kemudian dia membolonginya supaya tidak diambil. Allah berfirman: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”[102].
kasyaf terjadi pada sayduna Umar bin Khotob: taj ad-din as-subuki berkata: “ketika itu umar mengutus pasukan ibnu zanim al-kholji atas tentara muslimin, dan mereka diperintahkan untuk bersiap-siap kenegeri faris, kemudian mereka berada dalam keadaan genting ketika sampai pintu nahawanda, dan pintu itu mengepung mereka, dan musuh-musah mulai membanyak, orang-orang muslim hampir saja kalah, dan ketika itu umar bin khotob berada dimadinah, kemudian beliau naik kemimbar untuk berkhotbah, dan beliau berteriak ditengah-tengah khutbahnya: wahai pasukan! Berlindunglah diatas gunung, barang siapa yang srigalanya memelihara kambing, maka dia melakukan kezoloman”, kemudian Allah memperdengarkan perkataannya kepada seluruh pasukan, dan mereka berada di pintu nahawanda mendengar suara umar, kemudian mereka berlindung diatas gunung, mereka berkata: ini merupakan suara amir al-muminin, kemudian mereka selamat dan memperoleh kemenangan”.
Diriwayatkan dari hasan: “jika sesorang mengetahui kebohongan jika bekata, Maka umarlah orang yang mengetahuinya’[103]
Kasyaf dari seorang wali. Imam syafii dan muhammad bin hasan berkata: “ bahwa mereka berdua berada dihalaman ka’bah, dan datanglah seorang laki-laki berada didepan pintu masjid, salah satu dari mereka berkata: “aku melihat dia adalah seorang tukang kayu, yang satu berkata: bahkan dia seorang tukang besi, kemudian mereka menemui laki-laki itu dan bertanya pekerjaannya, maka dia menjawab: “dulu aku seorang tukang batu dan sekarang profesiku menjadi tukang besi”.[104]
Rasulullah bersabda: “setiap mukmin memiliki firasat, tetapi firasat itu yang mengetahui hanya orang-orang mulia”.
Terkadang kasyaf didapatkan dari keadaan-keadaan orang yang sudah dimakamkan, apakah dia diberi kenikmatan atau diadzab. Abdul Rouf al-minawi berkata ketika mensyarah hadist Rosulullah SAW: “kalau seandainya kalian tidak menguburkan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Dia memperdengarkan kalian bagaimana adzab kubur itu”, ..hadist ini bermakna bahwa kasyaf itu berdasarkan kemampuan masing-masing, barang siapa yang dikasyaf kepada sesuatu yang ia tidak mampu, maka dia akan celaka”.[105]
Ilham
Ilham adalah: pengetahuan yang datang dari hati, yaitu mengajak kepada perbuatan dengan tanpa dalil dari ayat dan dengan tanpa melihat alasan.
Ilham terkadang datangnya dari Allah secara langsung, Allah berfirman: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu[106]”. Bahwa Allah SWT berbicara kepadanya dengan cara ilham dan wahyu, tanpa perantara siapapun. Imam fakhru rozi berkata: “bahwa hal itu terjadi dengan cara peniupan didalam diri dan ilham yang dipertemukan didalam hati, sebagai mana terjadi pada umi Musa A.S pada firman-Nya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa”[107].
Ilham juga terkadang datang dari perantara malaikat. Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).[108]” Fakhru rozi menafsirkan: “ketahuilah bahwa maryam A.S bukanlah dari golongan para nabi, dengan dalil firman-Nya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri”,[109] apabila seperti itu, maka pengutusan jibril kepadanya adalah merupakan suatu karomah baginya, dan hal ini pun bukanlah dikususkan baginya, bahkan banyak sekali orang-orang sholeh yang bercakap-cakap dengan malaikat.
Imam sayuti telah mengarang kitab yang berjudul tanwir al-halak fiimkani ruyati an-nabi wa malak, kitab ini berisikan tentang kemungkinan seseorang melihat nabi dan malaikat.
Karomah dari seorang wali Allah
Dalil dari qur’an: kisah ashab al-kahfi yang tertidur selama 309 tahun dan bangun dalam keadaan sehat, Allah SWT menjaganya dari terik matahari,” Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri” sampai ayat “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua” sampai firman-Nya “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” Imam fakhru rozi berkata: “ashabuna sufiah berdalil dengan ayat ini tentang kebenaran adanya karomah, ini merupakan dalil yang nyata, maka kami berpendapat: yang membuktikan tentang bolehnya terjadi karomah bagi seorang wali adalah al-qur’an, akhbar, astar dan ma’qul. [110]
Kisah maryam, bahwa setiap nabi zakari A.S masuk kekamarnya mendapatkan disisinya rizki, ketika itu tidak ada seorang pun yang masuk kekamarnya kecuali nabi zakaria, Allah berfirman: “Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah[111]”.
Dalil dari sunah: kisah juraij seorang ahli ibadah yang menyebabkan bayi bicara[112], kisah seorang bayi yang berbicara dan memerintahkan ibunya untuk bersabar[113], kisah tiga orang yang memasuki goa, kemudian batu besar itu terbuka setelah menutupi pintu goa.[114]
Dalil dari atsar sahabat: kisah abu bakar R.A bersama tamu-tamunya dengan bertambahnya makanan, bahkan setelah selesai makan, makanan itu bertambah banyak[115], kisah umar R.A ketika itu beliau berada dimadinah kemudian naik keatas mimbar dan berteriak: wahai pasukan berlindunglah diatas gunung”, dan lain sebaginya. Imam yusuf an-nabhani mengarang kitab khusus tentang karomah yang berjudul karomat al-auliya.
Jika dikatakan: kenapa karomah sahabat sangat banyak, sedangkan orang-orang setelahnya sangat sedikit. Imam subuki menjawab dengan menukil pendapat imam ahmad bin hambal: “iman mereka dikala itu sangat kuat, maka tidak perlu menambah sesuatu yang memperkuatnya, dan selain mereka (orang-orang setelah sahabat) itu imannya sangat lemah, mereka belum mencapai keimanan sahabat, maka sangatlah kuat penampakan karomah kepada para sahabat”[116]
Jika dikatakan: sesungguhnya penyebaran agama Allah itu bukan dengan karomah atau hal-hal yang luar biasa, tetapi dengan menegakan bukti dan dalil secara akal. Jawabanya: betul sekali, menyebarkan agama Allah harus dengan bukti dan dalil yang masuk akal, tetapi kefanatikan dan keras kepala mengundang karomah atau hal luar biasa sehingga mereka meyakininya, sebagaimana hikmah Allah memberi mukjizat kepada para nabi, hal ini supaya memperkokoh dakwah para nabi. Perbedaannya jika mukjizat terjadi bagi para nabi, sedangkan karomah terjadi pada para wali.
Bab kelima: meluruskan pemikiran tashowuf
Antara syariah dan hakikat
Telah diriwayatkkan hadist dari Umar bin Khotob mengenai pembagian agama menjadi tiga rukun, berdalil sabdanya nabi kepada sayduna umar: “sesungguhnya dia itu jibril mendatangi kalian, mengajari agama kalian”.
1. Rukun islam: ditinjau dari perbuatan seperti ibadah, muamalah, dan perkara ta’abudiah, tempatnya anggota badan yang nampak, ulama menamainya dengan istilah syariah, dan dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama fiqih.
2. Rukun iman: ditinjau dari keyakinan hati, seperti beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir, qodho dan qodar, dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama tauhid.
3. Rukun ihsan: ditinjau dari kerohanian hati, yaitu engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau melihatnya, walaupun engkau tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu, dan hasil-hasil dari rukun ihsan seperti ahwal, dzauq, wijdaniah, ilmu wahbiah, ulama menamainya dengan istilah hakikat, dikhususkan pembelajarannya oleh ulama-ulama tashowuf.
Untuk lebih jelas hubungan antara syariah dan hakikat, maka kami beri contoh; seperti pelaksanaan Sholat. memenuhi syarat, rukun, gerakan sholat dan lain sebagainya yang syariah tetapkan, itu merupakan jasadnya sholat. Dan khusu/hadirnya hati bersama Allah dalam sholat itu ditinjau dari hakikatnya, dan khusu merupakan ruhnya sholat. Dan pelaksanaan sholat dengan tanpa kehadiran hati bersama Allah itu bagaikan jasad tanpa ruh, maka apa faidahnya jasad tanpa ruh.
Jika dikatakan: kami menetapkan pembagian ini tetapi kami mengingkari penamaan istilah ini (syariah, thoriqoh, dan hakikat).
Kami menanggapi: istilah-istilah yang tersebut diatas adalah yang mengalir diantara ulama, kemudian mengalir diantara ulama fiqih, maka tidak bisa dijadikan alasan pengingkaran aliran tasowuf karena perbedaan istilah.
Jika dikatakan: kami menetapkan pembagian dan penamaan istilah ini tetapi kami mengingkari tasawuf dari keadaan mereka yang mengandalkan ilmu hati, dzauk (kelezatan) pada yang esa, dan ilmu laduninya.
Kami menanggapi: sesungguhnya semua perkara ini Allah muliakan kepada setiap hambanya yang ikhlas yang DIA cintai karena kejujuran mereka dalam beribadah kepada-NYA, maka tidak adalah tuduhan kepada kemampuan ketuhanan-NYA untuk melakukan hal itu.
Itu hanyalah zauk (kelezatan beribadah), pemahaman, kasf (penerengan), dan fath ( terbukanya hati) yang Allah berikan kepada mereka. rasulullah SAW telah menetapkan pada sabdanya “ilmu itu ada dua; ilmu hati, diriwayat yang lain: ilmu yang menetap dihati, itu merupakan ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu pada lisan, itu merupakan hujahnya Allah yang duberikan kepada ciptaan-NYA”. [117]
Hal itu bisa dibuktikan pula dengan hadist muaz bin jabal R.A dari anas R.A; bahwasannya muaz bin jabal masuk kerumah rasulullah, maka nabi bertanya “bagai mana keadan mu pada pagi hari ini wahai muaz?”, muaz menjawab; keadaan ku pagi hari ini dengan beriman kepada Allah SWT, nabi bertanya “sesungguhnya setiap segala perkataan ada yang di jadikan kejujuran, dan setiap kebenaran ada bukti kebenarannya, apa yang bisa kau buktikan dengan perkataanmu itu?”, muaz menjawab; wahai nabiullah! Tidaklah aku menjumpai pagi hari kecuali aku menduga aku tidak akan menjumpai sore harinya, dan tidak pula aku menjupai sore hari kecuali aku menduga tidak akan menjumpai pagi harinya, dan tidak pula aku melangkah selangkah kecuali aku menduga tidak akan melangkah kelangkah berikutnya, seakan-akan aku melihat setiap umat dalam keberadaan berlutut di panggil dengan buku amal perbuatannya, mereka bersama nabi mereka, dan berhala-berhala mereka yang dulu mereka sembah selain Allah, dan seakan-akan aku melihat hukuman ahli neraka dan ganjajaran bagi ahli surga, nabi bersabda “ kamu telah mengetahui maka bersungguh-sungguhlah”. [118]
Orang-orang sholeh tidak akan mendapat derajat seperti ini (ma’rifah, kasyaf) kecuali mereka berpegang pada kitab dan sunah dan juga mengikuti rasulullah yang agung juga sahabat-sahabat yang mulia, dan mujahadah (kesungguhan) mereka itu melemahkan nafsu yang ada pada diri mereka dengan cara berpuasa, sholat qiamulail, dan zuhud (tidak ada keinginan terhadap dunia) mereka, seperti halnya Allah memulyakan muaz R.A dengan kusyufat (terbukanya hal-hal ghoib) yang nabi ikrarkan dengan sabdanya “kamu telah mengetahui maka bersungguh-sungguhlah”.
Jika dikatakan: jika seandainya thoriqot tasawuf itu disyariatkan, maka otomatis ulama-ulama mujtahid (seperti imam syafii, abu hanifah, malik, ahmad dll) akan mengarang atau menaruh kitab khusus yang membahas tentang ketasowufan, tetapi sampai sekarang ini kita belum melihat karangan mereka mengenai tasowuf?
imam as-Sya’roni R.H menjawabnya: sesungguhnya ulama-ulama mujtahid tidak menaruh kitab khusuh dibidang tasowuf dikaranakan sedikitnya penyakit hati pada masa mereka dan kebanyakan dari mereka selamat dari keriaan dan kemunafikan, kemudian kadar tidak selamatnya pada masa mereka dari penyakit hati, itu bisa didapatkan pada sebagian orang yang jumlahnya sangat sedikit, kebanyakan mereka hatinya bersih dari aib, begitu pula paling besarnya tujuan seorang mujtahid pada waktu itu adalah mengumpulkan dalil-dalil yang tersebar (belum terkumpul) dikota-kota dan desa-desa yang ditempati para tabi’in dan tabi’i tabi’in, yang itu merupakan alat dari semua ilmu, dengan dalil-dalil tersebut kita mengetahui semua hukum dan hal itu lebih penting dari pada menyibukan diri mereka berdiskusi dengan sebagian orang mengenai masalah hati, yang ketika itu belum menampakan syiar agama dan tidak pula masuk kepada hukum asal.
Maka tidak pantaslah seorang berakal mengatakan; sesungguhnya imam abu hanifah, syafii, malik dan ahmad R.A mengetahui pada dirinya terdapat ria, ujub, sombong, dengki, dan munafiq kemudian mereka tidak berijtihad (berseungguh-sungguh) untuk mengendalikan nafsunya dan tidak pula mendiskusikannya sama sekali, walaupun seandainya mereka tidak selamat diri mereka dari penyakit-penyakit itu pasti mereka akan mendahulukan kesibukan mereka dalam mengobati penyakit hati dari pada semua ilmu.
Berpegang dengan kitab dan sunah
Syekh abdul Qodir jailani berkata: “semua hakikat yang tidak diiringi dengan syariat merupakan ciri orang zindik, terbanglah kepada Allah dengan dua sayap kitab dan sunah, masuklah kepada-Nya dan tanganmu berada ditangan Rasulullah”.[119]
Sahal al-Tastari berkata: “pokok ajaran kita itu ada tujuh: berpegang dengan kitab Allah, berpanutan dengan sunah Rasulullah SAW, memakan yang halal, menahan diri dari menyakiti yang lain, menjauhi perbuatan dosa, taubat, dan melaksanakan hak-hak”.[120]
Abu said al-khoroz berkata: “setiap amal batin menyimpang amal zohir maka itu adalah kebatilan”[121].
Berhati-hati dari pemisahan antara syariat dan hakikat
Terdapak sebagian kelompok yang mengaku sebagai ahli batin, tetapi dia adalah seorang pembohong, munafiq yang jauh dari islam, mereka berkata: maksud sebuah agama adalah hakikat saja, mereka merusak hukum-hukum syariat.
Ulama tashowuf telah memperingati kita dengan orang-orang semacam itu, abu yazid al-bustomi berkata: “jika kalian melihat seseorang diberi karomah, bahkan ia bisa terbang diudara, janganlah kaget dengan hal itu, sehingga kalian melihat bagaimana ia memperolehnya, bisa ditinjau dari perintah, larangan, menjaga batasan-batasan dan melaksanakan syariah”[122].
Syekh ahmad zarwaq berkata: “semua syekh yang tidak nampak pada dirinya prilaku sunah, maka tidaklah sah mengikutinya, karena belum pasti mengenai keberadaanya, walaupun ia memiliki sejuta karomah”.[123]
Tipuan/makar yang terjadi pada ilmu-ilmu syariat
Tafsir: seperti masuknya kisah-kisah isroiliah, itu merupakan kebohongan, orang-orang yahudi yang tidak ikhlas dengan islam menyebarkan berita-berita bohong berkaitan dengan para nabi dan Rosul.
Hadist: untuk membenarkan aqidahnya, sebagian kelompok membuat hadist-hadist palsu, kelompok syiah membuat hadist tentang keutamaan sayduna Ali dari yang lain, jika dikatakan kepada mereka: kenapa kalian berbohong dengan nama Nabi, padahal beliau SAW telah bersabda: “barang siapa berbohong dengan namaku maka bersiap-siaplah tempatnya dineraka”.[124] Mereka menjawab: kami berbohong demi kebaikan Rasulullah bukan untuk menjatuhkannya. Sebagaimana sebagian orang membuat hadist supaya dekat dengan para pemimpin.
Sejarah: orang-orang yang sesat menaruh kisah-kisah bohong dalam ilmu sejarah kholifah dan kerajaan-kerajaan, dan banyak kita temukan kebohongan itu seperti dikitab alaf yaum wa lailah, tidak lupa pula orang-orang yang berwajah islam tetapi hati mereka kafir, mereka menceritakan kisah-kisah kebohongan dalam islam.
Tetapi Allah SWT mentakdirkan dan tidak membiarkan hal itu terjadi dalam agama-Nya, sehingga ulama-ulama tafsir, hadist dan tarikh meluruskan dan menjelaskan semua tipuan tersebut.
Tashowuf: sebagai mana ilmu-ilmu yang lain, ilmu tashowuf pula tidak luput dari tipuan itu. Sebagian mereka memasukan pemikiran-pemikiran yang melenceng, dan kalimat-kalimat yang sesat dikitab-kitab tashowuf, sebagian mereka mengatakan perkataan yang keluar dari aqidah islam seperti hulul wa itihad kemudian mereka nisbatkan kepada ulama tashowuf, sebagian mereka menuduh ulama-ulama tashowuf melakukan perbuatan dosa besar sebagai mana kita temukan dikitab thobaqot al-qubro karangan imam sya’roni, sebagian lagi kelompok komunis yang mempelajari ilmu tashowuf kemudian mereka mengarang kitab-kitab tashowuf dengan tujuan tipuan, dan perubahan-perubahan, dan lain sebagainya.
Jika dikatakan: sesungguhnya perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada ulama tashowuf yang menyimpang dari agama, itu merupakan kebenaran, kita menemukannya dikitab-kitab cetakan dan sudah tersebar luas. Jawabannya: tidak semua yang ada dikitab-kitab sufiah di nisbatkan kepada ulama tashowuf , karena hal itu belum terselamatkan dari perubahan-perubahan dan tipuan. Jika seandainya terdapat salah satu sufi menyeleweng dari syariah, maka hal itu tidak bisa dijadikan alasan penyesatan seluruh orang sufi, karena satu orang bukanlah hujjah bagi jamaah, dan juga syiar tashowuf adalah kitab dan sunah.
Sebagian orang mempelajari kitab-kitab tashowuf yang penuh dengan perubahah-perubahan dan tipuan, dan mereka meyakini bahwa hal itu merupakan suatu kebenaran, kemudian mereka menyerang habis-habisan ajaran tashowuf, kalau seandainya mereka membaca semua kitab-kitab tashowuf yang mana mereka berpegang dengan kitab dan sunah, dan ikatan mereka dengan madzhab-madzhab, dan beraqidah ahlu sunah wal jamaah, maka mereka tidak akan melakukan hal itu.
Kami akan memberi beberapa contoh perubahan dan tipuan yang terjadi dikitab-kitab tashowuf dan ulama. Ibnu al-Faro berkata: “dua orang sholeh mendapat bala dari orang-orang keji: jafar shodiq dan ahmad bin hambal. Kalau jafar shodiq, dinisbatkan perkataan-perkataan yang sangat banyak kepadanya, dibukukan pada fiqih syiah imamiah bahwa ini pendapatnya, dan beliau terbebas dari itu semua. Sedangkan ahmad bin hambal, sebagian hanabilah menisbatkan pendapat kepadanya dalam bidang aqidah yang ia tidak mengatakannya”.[125] Dan yang paling banyak mendapatkkan perubahan dan tipuan adalah kitab at-thobaqot al-kubro karangan imam sya’roni, dan beliau telah menjelaskan perubahan-perubahan itu dikitabnay lathoif al-minan wal akhlak, beliau berkata: “dan termasuk yang telah Allah berikan kepadaku adalah, kesabaranku terhadap orang-orang yang iri dan musuh-musuh yang merubah kitabku dengan perkataan yang menyimpang dari syariat, sehingga mereka berfatwa bahwa aku adalah menyimpang dan pembohong..”[126], imam sya’roni berkata: “orang-orang zindik telah menipu imam ahmad ketika sakit menjelang kematian dibawah bantalnya, berupa aqidah yang menyeleweng, kalau seandainya sahabat-sahabatnya tidak mengetahui kebenaran aqidahnya, maka mereka akan terkena fitnah dengan apa yang mereka temukan dibawah bantalnya”[127]. Ibnu hajar al-haitsami berkata: “dan janganlah kaget dengan apa yang tertera dikitab al-ghunyah karangan imam al-arifin qutbu al-islam wal muslimin syekh abdul qodir jaiilani, sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipuan, yang mana Allah akan membalas tipuan itu, karena beliau terbebas dari hal itu”.[128] Dan lain sebagainya. Tetapi Allah SWT telah menakdirkan –segala puji bagi-Nya- kepada agama ini, ulama-ulama yang siang malam menjelaskan dan membersihkan kitab-kitab islamiah dan menjelaskan tipuan dan kebatilan itu.
Ta’wil perkataan ulama sufiah
Sesungguhnya apa yang kita lihat didalam sebagian kitab-kitab sufiah yang mana secara zohir menyeleweng dari nash-nash syariat dan hukum-hukumnya. Hal itu bisa terjadi karena perubahan atau tipuan sebagai mana yang telah kami jelaskan diatas, atau perkataan itu membutuhkan ta’wilnya, yang mana mereka berkata dengan cara isyaroh, kinayah atau majaz. Sebagai mana kita temukan didalam kitab suci al-Qur’an: ( وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ ) artinya: “bertanyalah kepada penduduk kampung”, bukan bermakna: “bertanyalah kepada kampung”. Begitu juga yang terdapat dalam kitab-kitab sufiah, yang sulit dimengerti kecuali jika kita bersahabat dengan mereka atau mereka yang hanya mengetahui maknanya, maka dari itu sebagian sufi berkata: “kami adalah suatu kaum, haram melihat kitab-kitab kami sebelum dia menjadi ahli thoriqoh kami”[129], karena maksud pembukuan ilmu ini supaya sampai kepada ahlinya, jika seseorang mempelajarinya dan dia bukan tergolong ahlinya, maka dia akan bodoh, kemudian memusuhinya, karena manusia itu menjadi musuh jika dia bodoh.
Bahwa perkataan ulama tashowuf untuk berhati-hati jika menemui istilah-istilah tashowuf yang tidak dipahami bahkan untuk tidak membacanya, bukanlah termasuk menyembunyikan ilmu, tetapi ditakutkan mereka memahami pemahaman yang bukan maksudnya atau menta’wilkan perkataan yang bukan hakikatnya, sehingga terjadilah pengingkaran. Karena maksud pembicaraan adalah apa yang dapat dipahami manusia. Maka dari itu imam ali berkata: “berbicaralah kepada manusia berdasarkan kadar akal mereka, apakah kalian ingin berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya!?”, ma’ruf berkata: “tinggalkanlah apa yang mereka ingkarkan”, yaitu yang samar-samar dalam pemahaman, ini merupakan dalil bahwa mutasyabih (kesamaran) itu tidak layak disebutkan kepada orang awam.
Ibnu arobi berkata: “..tidaklah setiap kelompok yang membawa ilmu seperi ahli mantiq, nahwu, arsitek, perbintangan, kalam, dan filsafat kecuali mereka memiliki istilah yang tidak diketahui meskipun bergabung bersama mereka kecuali setelah bertanya kepada ahlinya, hal itu harus dilakukan. Kecuali thoriqoh tashowuf secara khusus, sesungguhnya seorang murid yang jujur, jika memasuki thoriqoh mereka, ia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui istilah mereka, dan dia duduk berkumpul bersama mereka, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan dari isyarat, maka dia akan faham semua yang mereka katakan, bahkan seakan-akan merekalah orang yang menaruh istilah tersebut”[130].
Ibnu hajar dimintai fatwa mengenai hukum mempelajari kitab ibnu arobi, beliau menjawab: “hukumnya boleh mempelajarinya kitab-kitabnya, bahkan dicintai, betapa banyak buku tersebut mencakup permasalahan yang tidak ada dikitab yang lain..”[131], sedangkan imam sayuti memiliki risalah khusus yang berjudul tanbih al-ghobi bitabriati ibnu arobi, risalah yang menjelaskan dua kelompok yang menetapkan wilayahnya dan yang menyimpang darinya.
Kesimpulan: bahwa terdapat beberapa perkara penting yang harus dipaparkan:
1. Tidak diperbolehkan bagi yang bukan pengikut thoriqoh sufiah, untuk mempelajari kitab-kitab mereka, karena ditakutkan memahami perkara yang bukan maksudnya, dan berbeda apa yang dimaksud pengarangnya, karena dia tidak memahami istilah-istilah mereka. Padahal kitab tashowuf itu secara gelobal dibagi menjadi tiga:
· Membahas tentang kebenaran dalam beribadah, dan kebaikan dalam mendirikannya seperti khusu, hadir bersama Allah, dengan memperhatikan adab-adabnya.
· Membahas tentang mujahadah diri, tazkiah diri, hati dan perbuatan dari perbuatan-perbuatan yang kurang seperti ragu, was-was dll. Bagian pertama dan kedua ini banyak kita temukan dikitab imam gozali seperti ihya ulumuddin, bidayah al-hidayah, dan qutul qulub. dan ilmu ini juga dinamakan ilmu muamalah.
· Membahas tentang pengetahuan-pengetahuan ketuhanan, ilmu wahbiah, dzauq, wijdan, kasyaf , dll. Kebanyakan kita temukan dikitab karangan muhyi ad-din ibnu arobi seperti futuhat al-makiyah, dan fusus. Dan ilmu ini juga dinamakan ilmu mukasyafah.
2. Bahwa tashowuf itu tidak didapatkan hanya dengan membaca kitab atau mengetahui istilah-istilahnya, tetapi harus berjalan dengan syekh-syekh tashowuf dan berkumpul bersama mereka.
3. Bahwa ulama tashowuf menaruh istilah-istilah ini supaya ilmu mereka tidak diambil dengan orang yang bukan berada dijalannya.
4. Bahwa nash-nash yang mengandung kekufuran dan penyimpangan merupakan sebuah tipuan atau perubahan yang dilakukan musuh-musuh islam, sebagaiman yang telah engkau lihat bahwa tashowuf itu berjalan berdasarkan kitab dan sunah.
5. Bahwa perkataan (yang mengandung kekufuran dan penyimpangan) yang dinisbatkan kepada mereka, kemudian mungkin dita’wilkan berdasarkan aqidah ahlu sunah wal jamaah, maka wajib dita’wilkan, karena aqidah mereka ahlu sunah wal jamaah.
6. Bahwa perkataan (yang mengandung kekufuran dan penyimpangan) yang dinisbatkan kepada mereka yang tidak mungkin dita’wilkan, jika hal itu benar ternisbatkan kepada mereka, maka hal itu tertolak bagi pembicaranya, kita tidak meyakininya, bahkan tergolong kufur jika meyakininya, tetapi kita tidak mengkafirkan orang-orang tertentu, karena kita tidak mengetahui bagaimana keadaan aqidahnya diakhir hayatnya.
Wahdatul wujud wal hulul wal itihad
Al-wasiti berkata: “tidak diperbolehkan bagi seorang yang arif mengatakan aku adalah Allah”[132].
Imam sayuti berkata: “ketahuilah, bahwasannya terdapat ibaroh sebagian muhakik lafaz ittihad, ini mengisyaratkan kepada hakekat tauhid, sesungguhnya lafaz ittihad menurut mereka itu bermakna berlebih-lebihan dalam bertauhid...berarti asal ittihad (menyatu dengan tuhan) merupakan suatu kebatilan yang mustahil, tertolak menurut syariat, akal dan kebiasaan berdasarkan kesepakatan para nabi, syekh syekh sufiah dan para ulama muslimin...terkadang lafaz ittihad disebut dengan makna fabna dari hal-hal yang menyimpang dan tetap perkara-perkara yang tidak menyimpang...adapun perkataan abu yazid al-bustomi: ( سبحاني ما أعظم شأني )” itu merupakan suatu hikayah, begitu juga yang mengatakan: ( أنا الحق ) diperkirakan bermakna hikayah, janganlah menduga mereka melakukan hulul wa ittihad…jika terdapat lafaz ittihad dari muhakik sufiah, maka sesungguhnya mereka menginginkan makna fana yang maksudnya menghilangkan nafsu dan menetapkan semua perkara kepada Allah SWT.. “[133].
Ibnu taimiah berkata: “tidak satupun seorang ahli ma’rifah billah, meyakini hulul (masuk)nya tuhan kepada dirinya atau makhluk selainnya, tidakpula menyatu kepadanya, jika terdengar sesuatu tentang hal itu dari pembesar-pembesar para syekh maka kebanyakannya adalah suatu kebohongan”.[134]
Adapun perkataan seorang syair :
ومن أهوى أنا
أنا من أهوى
فظننت أنك أني
غبت بك عني
Adapun maksud syair itu adalah ittihad ma’nawi, sebagaimana menyatunya dua orang kekasih, saling mencintai, saling membenci, dia berbicara sebagaimana pembicaraannya.[135]
Dinukil juga perkataan suatu kaum: ( دخلنا حضرة الله و خرجنا عن حضرة الله ) imam sya’roni berkata: “bukanlah maksud حضرة الله adalah berupa tempat tertentu…adapun maksud merekadengan kehadiran itu adalah jika ditinjau secara mutlak yaitu persaksian salah satu dari mereka, bahwasannya dia berada dihadapan Allah, selama dia bersaksi bahwa dia berada dihadapan tuhannya aza wajalla maka dia berada dikehadirannya..[136]”.
Dinukilkan dari Imam gozali, beliau berkata : ( ليس في الإمكان أبدع مما كان ) maksudnya sepertti apa yang dikatakan imam syaroni adalah: “kemungkinan maksudnya itu adalah, bahwa semua benda yang mungkin itu Allah tampakan berdasarkan gambarnya diilmu-Nya ta’ala yang qodim (terdahulu), dan ilmu-Nya yang qodim tidak menerima penambahan.. “.
Abi yazid berkata: ( خصنا بحرا و قفت الأمبياء بساحله ), Muhammad abu al-mawahib as-syadzili mentakwilkan kata tersebut dengan: “orang-oran arif meluap lautan tauhid dengan dalil terlebih dahulu, setelah itu mereka sampai kemartabat persaksian dan penglihatan, dan para nabi telah berbaris diawal perkara diatas tepi penglihatan, kemudian mereka sampai kepada sesuatu yang disebut dengan irfan, ketika itu permulaan para nabi A.S merupakan akhirnya para arifin”.[137]
Dinukilkan perkataan abul hasan as-syadzili: ( يصل الولي إلى رتبة يزول عنه فيها كلفة التكليف ) maka abul mawahib menjawab maksudnya: “awal mulanya seorang wali memperoleh paksaan berupa kelelahan, apabila dia sampai, maka dia akan memperoleh paksaanberupa kesantaian dan kegembiraan, masuk ke bab sabda nabi SAW “wahai bilal berilah kami kesantaian dengan didirikannya sholat”[138] , itu merupakan tujuan para wali”.[139]
Sedangkan masalah wihdatul wujud , sayid al-alamah mustofa kamal as-syarif mengarang risalah khusus yang berjudul risalah wihdatul wujud.
Antara sufiah dan orang-orang yang mengaku sufiah
Nama tashowuf telah tercoreng dengan sebagian orang yang bertampilan seperti ahli tashowuf dan menisbatkan kepadanya, kemudian mereka membuat kekejian terhadap tashowuf baik berupa perkataan, perbuatan dan perjalanan hidup mereka, dan ilmu tashowuf terbebas dari mereka. Maka harus dibedakan antara ilmu tashowuf dengan orang sufi, bukanlah orang yang berpenampilan tashowuf kemudian melakukan penyimpangan mencirikan ajaran tashowuf, sebagaimana orang islam yang melakukan penyimpangan mencirikan ajaran islam.
Dan pengingkaran sebagian ulama terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang dinisbatkan kepada sufiah, tertuju kepada mereka semua yang menyimpang dan mengaku-ngaku sebagai tashowuf. Dan kami pun mengingkari sebagaimana ulama mengingkari mereka yang mengaku sebagai tashowuf yang menyimpang dari agama Allah, adapun yang berpegang kepada kitab dan sunah, mustaqim dengan syariat Allah maka merekalah yang kami maksud, cukup bagi kita mengikuti astar mereka.
Musuh-musuh tashowuf
1. Musuh dari golongan orang-orang zindiq, komunis dan pengikut-pengikutnya. Yang mana mereka mempelajari ajaran-ajaran islam supaya mengetahui kelemahan islam, terkadang mereka memuji-muji ajaran islam, ketika umat islam merasa tenang mereka menipu dan melakukan perubahan, supaya umat islam ragu dengan aqidahnya. Sayid Muhammad asad telah membongkar kebohongan-kebohongan mereka didalam kitabnya yang berjudul al-islam ala muftaroq at-turuq fi bahst syibhi al-hurub as-solbiahh.
2. Mereka yang bodoh mengenai hakekat tashowuf, mereka tidak mengambil ilmu tashowuf dari ulama tashowuf yang shiddiqin (jujur) dan mukhlishin (ikhlas), bahkan mereka melihat dangan penglihatan yang mengapung tanpa meresapi dan mencari penjelasannya. Bagian kedua ini dibagi menjadi tiga kelompok :
Ø kelompok yang mengambil ajaran tashowuf dari sebagian orang yang mengaku-ngaku sebagai ahli tashowuf tanpa membedakan antara ajaran tashowuf yang hakiki dengan sebagian kejadian-kejadian yang menyeleweng yang muncul dari orang-orang yang berpenampilan sufi tetapi jiwa mereka bukan berjiwa tashowuf.
Ø kelompok yang tertipu dengan apa yang mereka dapatkan disebagian kitab-kitab tashowuf yang sudah banyak dirubah atau yang penuh dengan kemakaran, kemudian mereka mempercayainya, atau mereka memahami istilah-istilah tashowuf dengan pemahaman yang salah, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada ulama tashowuf atau merujuk kepada perkataan-perkataan sufi.
Ø Kelompok yang terselewengkan dan tertipu, mereka mengambil kepercayaan dan ilmu-ilmu mereka dari para komunis sebagai mana yang telah kami jelaskan diatas, kemudian mereka mengangkat pengakuan-pengakuan dan kebatilan-kebatilan itu, seakan-akan turun dari langit, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Mereka belum mengetahui hakikat para komunis, yang mana mereka ingin meruntuhkan islam dengan cara merusak dan menusuk langsung ruh islam yaitu ilmu tashowuf.
Tetapi umat islam ini, masih memiliki sekelompok orang yang menampakan kebenaran “tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menipu mereka, tidak pula orang-orang yang menyimpang dari mereka, sampai datang perintah Allah”[140], mereka ingin memadamkan cahaya islam, tetapi Allah menambah cahaya itu, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.”[141]
Persaksian ulama islam tentang ilmu tashowuf
Imam malik bin anas (wafat tahun 179h)
Beliau berkata: “barang siapa yang faqih tetapi tidak memiliki tashowuf maka dia adalah orang fasiq, dan barang siapa bertashowuf tetapi tidak faqih maka dia adalah orang zindik, barang siapa yang mengumpulkan keduanya maka dia telah mendapat kebenaran”[142]
Imam syafii (wafat tahun 204h)
Beliau berkata: “pagi hari bersama para sufi, aku tidak mendapatkan faidah kecuali tiga kalimat: waktu bagaikan pedang jika engkau tidak memotongnya maka ia akan memotongmu..”[143].
Imam ahmad bin hambal (wafat tahun 241h)
Dari ibrohim bin Abdullah al-Qolanisi, bahwa imam ahmad bin hambal berkata mengenai tashowuf : “aku tidak tau apakah ada suatu kaum yang lebih utama dari mereka (ahlu tashawuf)”.[144]
Imam al-qusayri (wafat tahun 465h)
Beliau berkata tentang sufiah: “Allah SWT telah menjadikan kolompok ini barisan dari para walinya, dan Allah telah mengutamakan mereka dari kebanyakan hamba-hambanya setelah kerosulan dan kenabian SAW..”.[145]
Abdul qohir al-baghdadi (wafat tahun 429)
Beliau berkata: “ketahuilah bahwa ahlu sunah wal jamaah terdiri dari delapan kelompok...kelompok keenam, mereka adalah para zahid sufiah...”[146]
Imam fakhru ad-din ar-rozi (wafat tahun 606h)
Beliau berkata: “ketahuilah bahwa kebanyakan kelompok tidak menyebutkan kelompok sufiah, ini merupakan suatu kesalahan, karena kesimpulan perkataan para sufiah adalah bahwa jalan menuju marifah Allah itu dengan cara pemurnian dan melepaskan dari hubungan-hubungan badan, dan ini merupakan thoriqoh yang baik..”.[147]
Imam al-ghozali (wafat tahun 505h)
Beliau berkata: “dan aku sangat yakin sekali, bahwa para sufiah mereka adalah para salikin (pejalan) menuju jalan Allah SWT secara khusus, dan perjalanan mereka adalah sebaik-baiknya jalan, dan thoriqoh mereka adalah sebaik-baiknya thoriqoh, dan akhlak mereka sesuci-sucinya Akhlaq..”.[148]
Al-iz bin abdi as-salam (wafat tahun 660h)
Beliau berkata: “Kaum sufiah berdiri berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang tidak meruntuhkan dunia dan akherat..”.[149]
Imam nawawi (wafat tahun 676h)
Beliau berkata: “inti thoriqoh tashowuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik dalam kesepian maupun dikeramaian..”.[150]
Ibnu taimiah
Beliau berkata: “Dan adapun orang-orang yang istiqomah dari para penempuh jalan Allah seperti syekh-syekh salaf, misalnya: al-fudhail bin iyad, ibrohim bin adham, abi sulaiman ad-daroni ma’ruf al-karkhi, siri as-saqoti, junaid bin Muhammad dan lain sebaginya dari golongan terdahulu, dan semisal syekh abdul Qodir jailani, Syekh hammad, syekh abil bayan, dan lain sebagainya dari golongan terakhir..”[151]
Imam as-syatobi (wafat tahun 790h)
Disebutkan dimajalah al-muslim majalah al-asyiroh al-muhamadiah , dengan judul “imam asy-syatobi seorang sufi salafi karangan sayid abi al-tuqo ahmad kholil, beliau berkata: “..imam asy-syatobi telah menulis dikitabnya (al-i’tishom) bab yang mulia tentang tashowuf islami, dan beliau menetapkan bahwa tashowuf merupakan murni dari agama, bukan termasuk perkara baru..”.[152]
Ibnu kholdun (wafat tahun 808h)
“ilmu ini (pen: tashowuf) termasuk ilmu yang baru didalam islam, dan asalnya, bahwa thoriqoh (cara/jalan) mereka itu masih seperti orang salaf dan pembesar-pembesar sahabat dan tabiin, dan setelahnya, ini merupakan thoriqoh yang hak dan berpetunjuk...dan ketika meluasnya kecintaan manusia pada dunia ketika abad ke 2h dan setelahnya, dan manusia dipermudah untuk bercampur dengan keduniaan, maka orang-orang yang cinta kepada ibadah mengkhususkan diri dengan nama sufiah.[153]
Taz ad-din as-subuki (wafat tahun 771h)
Beliau berkata pada bab tashowuf: “...kesimpulan, bahwa mereka (ahli tashowuf) itu adalah ahlullah dan kekhususan-Nya, yang diharapkan turunnya rohmah ketika menyebut mereka...”[154]
Jalaluddin as-sayuti (wafat tahun 911h)
Beliau berkata: “sesungguhnya tashowuf itu merupakan ilmu yang mulia, dan sesungguhnya ajarannya itu mengikuti kitab dan sunah...”.[155]
Ibnu abidin (wafat tahun 1252h)
Beliau berkata: “tidak perlu dibicarakan lagi mengenai orang-orang yang jujur dari tuan-tuan kita para sufiah, yang terbebas dari macam-macam kerendahan..”.[156]
Alhamdulillah selesai ringkasan hakekat tashowuf. Ditulis diribat fatah wal imdad, hauthah, yaman hadromaut. Santri pon.pes bahrul maghfiroh malang. Selesai pada tanggal 20 maret 2013 hari rabu.
Penulis:
Al-faqir Maarif Aziz bin Rajiman Al-lampungi
Catatan: terkadang al-faqir menukil secara makna pendapat-pendapat ulama, dan kebanyakan al-faqir ketika menukil pendapat-pendapat ulama, al-faqir hanya mengambil inti permasalahan. Tulisan ini diringkas dari kitab aslinya yang berjudul haqoiq an at-tashowuf karangan syekh abdul qodir isa.
[1] Catatan kaki Risalah al-qusyairiah hal:7
[2] Qowaid at-tashowuf hal 6 karangan abul Abas ahmad as-Syahir bazarwaq al-Fasi
[3] Nusroh an-nabawiyah hal 22 karangan Musthofa al-Madani
[4] Nur at-tahqiq hal 93 karangan al-alamah hamid shaqir
[5] Al-intishor lithoriq as-sufiah hal 6
[6] Muqodimah ibnu kholdun hal 329
[7] Al-intishor lithorik as-sufiah 17-18
[8] Kasfu dzunnun juz 1/hal 414
[9] Q.S al-Kahfi 110
[10] H.R bukhori pada bab iman
[11] H.R Muslim pada bab kebaikan dan silaturohim
[12] Asbah wa an-nadzoir hal 504
[13] Q.S al-a’rof:33
[14] Q.S al-anfal: 151
[15][15] H.R bukhori dan Muslim
[16] Hasyiah ibnu abidin juz 1/hal 31
[17] Al-hidayah al-alaiyah hal 310
[18] Q.S at-taubah: 119
[19] AQ. Al-ahzab: 23
[20] H.R abu ya’la
[21] Al-fatawa al-hadistah: 55
[22] An-nusroh an-nabawiyah: 13
[23] Thobaqot sufiah: 365
[24] H.R Muslim
[25] H.R ibnu adiy
[26] Q.S al-fatah:10
[27] Q.S al-isro: 34
[28] H.R bukhori
[29] Rijal al-fikri wa da’wah fil islam hal: 248
[30] H.R turmudzi bab ilmu
[31] Q.S al-haj: 78, al-mufrodat fi ghorib al-quran hal:101
[32] Q.S al-ankabut: 69
[33] H.R turmudzi bab fadhoil al-jihad
[34] Ar-risalah al-qusyairiah 48-50
[35] Ar-risalah al-qusyairiah 48-50
[36] Q.S al-a’rof 32
[37] Q.S al-a’rof 33
[38] Q.S al-ankabut: 69, ar-riyadhoh wa adab an-nafs: 124
[39] Q.S al-baqoroh 152
[40] H.R bukhori
[41] Al-futuhat robaniah al al-azkar nabawiyah hal: 106
[42] Al wabil as-shoib min al-kalam at-toyib : 52
[43] H.R ahmad, abu daud, turmudzi
[44] H.R turmudzi bab da’awat
[45] H.R muslim
[46] H.R abu daud
[47] H.R abu daud
[48] H.R ahmad, hafiz al-muqodasi
[49] H.R Muslim
[50] Q.S an-nahl: 43
[51] Q.S al-furqon: 59
[52] H.R turmudzi pada bab adab dan H.R bukhori
[53] Faidud al-qodir syarah al-jami as-shoghir juz:5/hal: 12
[54] Qowaid tashowuf hal: 39
[55] Tafsir al-alamah abu saud, catatan kaki pada tafsir rozi juz 8/hal: 338
[56] H.R bukhori bab kaifa kana badaal wahyu
[57] Irsyadu as-sari lisyarah sohih bukhori juz 1/hal 23
[58] Bustan al-arifin hal: 47
[59] Q.S hud: 52
[60] H.R muslim
[61] Al-burhan al-muayyad hal: 52
[62] Q.S al-imron: 175
[63] Ar-risalah al-qusyairiah hal: 60
[64] Q.S al-fathir: 28
[65] Q.S al-baqoroh: 218
[66] Miroj at-tashowuf hal: 6
[67] Q.S Muhammad: 21
[68] H.R turmudzi
[69] Ihya ulumuddin: juz 4/ hal 334
[70] Q.S az-zumar: 11
[71] H.R abu daud
[72] Risalah al-Qusyairi hal: 95
[73] Iqoz al-himam fi ayarah al-hikam juz 1/ hal: 25
[74] Q.S luqman: 17
[75] H.R bukhori, muslim, nasai, abu daud
[76] Ta’rifat hal: 170
[77] H.R thobroni
[78] Ar-risalah al-qusyairiah: 52
[79] H.R turmudzi:
[80] Q.S fathir: 5
[81] H.R ibnu majah bab zuhud
[82] Risalah qusyairiah 89
[83] H.R turmudzi
[84] Q.S ghofir: 60
[85] Q.S taubah 105
[86] T’rifat: 48
[87] Q.S ibrohim: 11
[88] H.R turmudzi
[89] Ar-risalah al-qusyairiah 76
[90] Miroj at-tasyawuf hal 7
[91] Q.S Luqman: 14
[92] H.R abu daud
[93] Q.S ad duha: 11
[94] Q.S as-saba 13
[95] Q.S an-nahl: 53
[96] Q.S ali imron 31
[97] H.R turmudzi
[98] Tarifat hal: 110
[99] H.R turmudzi
[100] H.R bukhori
[101] Q.S al-an’am 75
[102] Q.S al-kahfi 79
[103] Tarikh khulafa 127
[104] Tafsir qurtubi
[105] Faid al=qodir ayarah jami as-shoghir juz 5/hal 342
[106] Q.S maryam: 25-26
[107] Q.S al-qoshos 7. Tafsir rozi juz 2 hal 669
[108] Q.S ali imron 42
[109] Q.S yusuf 109
[110] Tafsir rozi juz 5 hal 682
[111] Q.S al-imron 34
[112] H.R Bukhori dan Muslim
[113] H.R Bukhori dan muslim
[114] H.R bukhori
[115] H.R bukhori
[116] Jami karomah al-auliya juz 1 hal 20
[117] H.R al-hafiz abu bakar al-Khotib dikitab tarikhnya dengan sanad yang hasan
[118] H.R abu Naim dikitabnya hilyah.
[119] Al-fatah ar-robbani 29
[120] Thobaqot sufiah hal:210
[121] Ar-Risalah al-Qusyairiah hal 27
[122] Ar-Risalah Al-Qusyairiah hal 16
[123] Qowaid tashowuf 72
[124] H.R bukhori
[125] At-tashowuf al-islami hal 82
[126] Lathoif al-minan wa akhlaq hal 190-191
[127] Al-yawaqit wal jawahir fibayan aqoid al-kabair juz 1/hal 8
[128] Al-fatawa al-hadistah hal 149
[129] Al-yawaqit wal jawahir hal: 22
[130] Futuhat bab 54
[131] Al-fatawa al-hadistah hal 216
[132] Al-futuhat al-makiyah , yawaqit al jawahir juz 1 hal 80
[133] Al-hawi lilfatawa juz 2 hal 134
[134] Majmu fatawa juz 11/hal 73
[135] Majmu fatawa ibnu taimiah Hal 52
[136] Lathoif al-minan wa akhlak juz 1/ hal 127
[137] Qowanin hukmi al-isyroq ila kaffati sufiah fi jamiil afaq hal 58
[138] H.R ahmad
[139] Qowanin hukmi al-isyroq hal: 59
[140] H.R Bukhori
[141] Q.S Shof 8
[142] Syarah ainul ilmi wa zainu al hilmi juz 1/hal 33
[143] Tayid al-haqiqoh al-aliyah 15
[144] Ghoda al-albab syarah mandzumah al-adab juz 1/ hal 120
[145] Risalah Al-Qusyairiah hal 2
[146] Al-farqu bainal firoq hal:189
[147] I’tiqodat firoq al-muslimin wal musyrikin hal 72
[148] Al-munqidz mina dolal hal: 131
[149] Nur at-tahqiq 96
[150] Maqosid hal: 22
[151] Majmu’ fatawa juz 10/ hal 516
[152] Al-muslim majalah al-asyiroh al-muhamadiah tahun 1373h bulan dzul qo’dah
[153] Muqodimah ibnu kholdun hal 329
[154] Muid an-naim wa mubid an-naqom hal 119
[155] Ta’yid al—haqiqoh al-aliyah hal: 57
[156] Syifa al-alil wa balul al-golil fi hukmil wasiah bil khotamat wat tahalil hal 172